Nekad. Dengan menggunakan topi yang kebetulan ada di mobil Romeo Sofi melakukan reservasi, sebelumnya dia mengunci mobil dan membiarkan Romeo yang masih merancau tak jelas ada di sana dengan sedikit bujuk rayu akhirnya Sofi berhasil bertemu dengan manager hotel yang berjanji akan merahasiakan keberadaannya di sini hari ini. Sofi tidak sok geer sih, tapi pernikahannya dengan Romeo membuat banyak orang yang mengenalnya terutama para kawula muda penggemar Romeo.Ini hotel mewah dan Sofi percaya kalau manager hotel akan menepati janjinya. “Dan satu lagi bisakah saya meminta bantuan untuk memapah suami saya ke kamar, dia sedikit tidak enak badan.” Ada keterkejutan di mata sang manager tapi dia langsung menutupinya dengan baik. Sofi menghela napas lega setelah seorang belboy yang membantunya keluar dari kamar. “Ara kemarilah sayang, aku begitu merindukanmu.” Ada sengatan cemburu di dada Sofi saat sang suami tiba-tiba memeluknya dan menyebut nama wanita lain. “Ini aku Sofi bukan
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
Ana tidak pernah menyukai pesta.Hingar bingar musik langsung menyambutnya begitu dia menginjakkan kaki di gedung ini, meski keningnya mengernyit tak suka, tapi sebagai seorang artis profesional dia tetap saja menampilkan senyum lebar khasnya. ini pesta yang khusus diadakan untuk dirinya sangat konyol kalau dia terlihat tidak bahagia. Ana mencoba menarik turun gaun malam yang dia pakai, kalung mutiara yang tadi terlihat sangat cantik serasa mencekiknya. Ana mencari sosok penting yang berada di balik kemeriahan pesta kali ini. “Itu Pak Ridwan, sapa dia dulu,” bisik Adam, sang manager yang mendampinginya. “Setelah ini apa aku bisa pergi?” tanya Ana dengan penuh harap. “Memangnya kamu mau ke mana?” “Toilet, kemana lagi, setidaknya di sana tidak berisik seperti di sini,” kata Ana. Adam langsung memutar bola matanya dengan malas. “Jangan bilang kamu akan melarikan diri lagi, kalau sampai itu kamu lakukan, aku akan mengikatmu,” ancamnya. “Ya… ya aku tahu apa yang akan kamu katakan
Dua hari yang lalu di apartemen Ana.Mata Ana mengerjap mendengar suara gedoran di pintu dengan brutal, digelengkannya kepala mengusir kantuk dan rasa pening yang masih setia menemaninya. Dilihatnya jam berbentuk hello kitty di atas nakas. Astaga dia baru tidur satu jam, siapa yang menggedor pintunya?Terseok-seok Ana melangkah ke arah pintu, bahkan dia hanya menggunakan sebelah sandal hello kitty kesayangannya itu. "Aku akan mencekik siapapun orang yang seenaknya menggangguku kalau tidak penting." "Anaaa!" Pelukan erat itu hampir saja membuat Ana terjengkang kalau saja tangannya tidak sigap memegang daun pintu yang masih terbuka. "Mas Adam, apa-apaan, sih," sentaknya antara kaget juga kesal. Bukannya merasa bersalah laki-laki di depannya itu malah tertawa dengan riangnya. "Mas Adam mabuk ya," tuduh Ana. "Enak saja, ada berita gembira untukmu," katanya tak terpengaruh oleh sikap Ana tadi. Mendengar itu, Ana langsung duduk di samping Adam dan mengamati wajah managernya yang
Media cetak dan elektronik semuanya dihiasi oleh wajah Rafael dan Ana saat tertangkap basah kemarin malam, banyak para ahli dadakan yang menganalisa apa foto itu asli atau hanya sekedar rekayasa saja. Bukannya hanya itu akun media sosial Ana dan juga manajemen yang menaunginya banjir oleh komentar, terpaksa mereka harus menonaktifkan kolom komentar. Dalam semalam hancur sudah karier yang dia bangun dengan tetesan keringat dan air mata, Ana sangat berharap kalau ini hanya sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ini melemparkan selimutnya dan terbangun. “Nyesel aku dulu mengidolakan dia ternyata dia pelakor, tapi nggak heran orang jaman sekarang melakukan segala cara untuk kaya lebih cepat, kabarnya laki-laki itu Direktur XAM, pasti duitnya banyak.” “Dasar murahan boikot saja filmnya.” “Mukanya polos tapi ternyata jalang juga.” “Kukira berbakat, ternyata....”“Tutup Laptopnya tidak perlu melihat komentar yang akan membuatmu semakin terjatuh.” Sang manajer berkata dengan
Ana menatap sang manajer dengan dada berdebar, perbuatannya malam itu akan berakibat sangat buruk pada perjalanan karirnya, kerja kerasnya akan musnah, Ana menggigil saat membayangkan semuanya akan hancur dan neneknya… wanita yang susah payah membesarkannya, akan sangat kecewa, belum lagi cemoohan para tetangga yang pastinya akan dengan senang hati menggunjingkannya. “Apa yang harus aku lakukan, Mas, aku tahu kesalahanku sangat fatal.”Sejenak Adam terdiam, bibir sang manajer memang tersenyum, tapi Ana bisa melihat tidak ada binar bahagia di wajah sang manajer, dan itu berarti satu hal… buruk. akan tetapi dalam keadaan seperti ini mereka memang harus memilih hal yang buruk untuk menghindari hal yang lebih buruk lagi. “Kamu harus menikah dengan Rafael, itu keputusan manajemen,” kata Adam lirih. “Mas Adam bercanda?” tanya Ana tak yakin dengan jawaban Adam. “Dia sudah beristri dan aku akan menjadi pelakor,” lanjutnya dengan nada yang sangat lemah di kata terakhir yang dia ucapkan.