Share

Istri Yang Terbuang
Istri Yang Terbuang
Penulis: Maey Angel

Harus bersabar

“Kamu mau ngapain, Al?”

Kemunculan Tini dari pintu belakang mengagetkan Aldo, hingga gelas plastik yang ada di tangan lelaki itu terjatuh. Air yang belum habis di minum oleh Aldo tumpah di lantai yang ia pijak sebagian mengenai sepatunya.

“I-Ibu ngagetin aja,” ujar Aldo terbata seraya memungut gelas di lantai dan meletakkan di wastafel.

Laki-laki itu kemudian mendekati meja makan dan membuka tudung saji, lalu terdengar helaan napas panjang darinya. Nasi dingin, tempe goreng dan kuah sayur yang terhidang membuat selera makan Aldo menguar begitu saja.

“Kamu baru pulang, Al?” tanya Tini yang tak lain adalah ibu kandung Aldo.

Aldo mengangguk. “Makanan cuma ini, Bu?”

“Adanya itu. Kayak nggak tau istrimu aja.” Tini menjawab dengan nada tak suka. Tentu bukan ia tujukan pada Aldo, melainkan pada sang menantu yang kini entah di mana keberadaanya.

“Ini, nih, kebiasaan!” Tini melihat wastafel yang terdapat beberapa piring kotor. “Tau suami mau pulang kerja bukannya cepet beberes dan masak, malah nggak jelas lagi di mana?!” lanjut wanita itu ketus.

“Memangnya Kinan ke mana, Bu?” tanya Aldo yang memang belum melihat istrinya sedari ia pulang kerja belum lama tadi.

“Istrimu itu kalo nggak kelayapan, ya ngeram di kamar!”

Sekali lagi terdengar Aldo menghembus napas panjang. Sebagai suami sebenarnya Aldo sudah sering menegur Kinan yang menurut cerita ibunya sering keluar rumah saat ia bekerja, pun untuk kebiasaanya mengurung diri di kamar. Namun, sepertinya suara Aldo hanya di dengar oleh Kinan tanpa wanita itu lakukan.

“Heran Ibu sama istrimu itu, Al. Sebenernya kalian simpan apa di kamar, betah si Kinan seharian di sana. Kayak yang punya tongkat emas aja, di tungguin terus. Sampai kerjaan rumah pun nggak ke urus!” Masih ketus Tini mengomeli menantunya yang justru ia sampaikan pada sang anak lelaki.

“Memangnya Kinan nggak masak lagi hari ini, Bu?” Aldo yang sebenarnya sedang sumpek karena di tempat kerjanya sedang ada masalah merasa semakin gerah saat mendengar omelan ibunya.

“Hari ini masak. Tapi, sampah udah numpuk nggak di buang. Ini aja barusan Ibu yang buang. Kinan itu bukan baru kemarin jadi istri kamu, Al. Tapi apa-apa kok masih harus di suruh, masih harus diingetin. Kalo nggak, ya nggak dikerjakan!”

“Mungkin dia lupa, Bu. Maklumin ajalah.” Aldo malas berdebat, ia merasa tak enak hati pada ibunya yang mengeluhkan sikap Kinan.

“Lupa kok tiap hari. Memang dasarnya istrimu itu nggak bisa di andalkan! Bukannya meringankan kerja orang tua, malah jadi beban di rumah ini. Lihat, tuh! Udah mau hujan pakaian belum di beresin dari jemuran! Duh, punya mantu serasa jadi tuan putri!” omel Tini seraya berlalu hendak mengangkat pakaiannya yang sudah kering di belakang rumah.

Aldo menyugar rambutnya yang lepek. Kepalanya sedikit pening karena seharian tadi cukup banyak pekerjaan yang membuat otaknya berpikir keras. Adanya dugaan kasus penggelapan uang yang dilakukan oleh salah satu karyawan yang berada di devisinya membuat Aldo terkena imbas juga.

Seakan masalah di kantor belum cukup, kini kepalanya dibuat hampir meledak karena aduan dari Tini tentang perangai istrinya. Badan letih, otak lelah, perut lapar, hati galau, lengkaplah sudah yang Aldo rasakan.

Harapannya setiba di rumah disambut oleh Kinan di depan pintu kemudian ditemani makan, tetapi yang terjadi ia justru harus mendengar omelan Tini yang panjang seperti rel kereta api tak berujung. Meninggalkan dapur Aldo melangkah menuju kamarnya.

Pintu terkuak, ia melihat Kinan duduk di bibir ranjang. Mungkin istrinya itu barusaja bangun tidur, pikir Aldo.

“Udah pulang, Mas. Tumben cepet, biasanya jam setengah lima baru sampai rumah,” sapa Kinan sembari mengulas senyum pada laki-laki yang sudah tiga tahun menjadi suaminya.

“Kamu baru bangun tidur, Ki?”

“Nggak sengaja ketiduran, Mas. Badanku hari ini rasanya capek banget, pegel-pegel. Kalau Mas ada waktu nanti tolong antar ke tukang pijat yang biasa itu ya, Mas?” Kinan memijat tengkuknya yang terasa berat.

Seharian ini ia melakukan banyak pekerjaan di rumah. Sedari membuka mata hingga Ashar menjelang Kinan tak berhenti menangkap apa-apa saja yang tidak beres. Menyapu, mengepel, memasak, mencuci pakaian dan seluruh gorgen. Menyetrika pakaian dan memasak juga tak luput dari sentuhan tangannya. Akibatnya sekarang ia merasa sangat kelelahan, otot-ototnya serasa tegang dan kaku.

“Kamu capek ngapain, Ki? Capek tiduran maksudmu?” Aldo melempar asal kemeja yang sudah ia lepas ke dalam keranjang pakaian kotor di dekat lemari.

Kening Kinan mengernyit mendengar ucapan Aldo yang terdengar meremehkan pekerjaan seorang wanita. Bisa-bisanya Aldo berkata demikian padahal sekarang Kinan memang sedang merasa lelah badannya.

“Kok kamu ngomong gitu, sih, Mas? Aku di rumah nggak cuma tidur, lho,” sanggah Kinan yang kini menyadari raut suaminya berbeda sejak masuk kamar tadi. Apa yang membuat air muka Aldo keruh? Kinan bertanya-tanya dalam benak.

“Terus kamu ngapain?”

“Aku beres-beres, Mas. Aku masak, cuci pakaian, nyapu, ngepel …. “

“Beres-beres apa? Itu piring kotor masih setumpuk. Lantai rumah kasar kena pasir kamu bilang udah di pel. Kuah sayur aja yang kamu siapkan buat aku, itu yang kamu bilang masak? Di ruang tengah mainan tercecer di mana-mana. Mana yang kamu bilang beres?” sergah Aldo mendikte apa saja yang nampak tidak benar di matanya.

“Aku nggak tau lagi harus ngomong ke kamu gimana, Ki. Kita ini masih tinggal di rumah ibuku, apa nggak bisa sedikit aja kamu ngerti keadaan sebagai orang yang numpang? Kamu enak-enakan leha-leha di kamar, sementara ibuku ngerjakan ini itu. Tolonglah, Ki. Ibuku udah tua, jangan begini,” lanjut Aldo yang kini telah menghadap istrinya.

Kinan diam. Ia yang paham ke mana arah pembicaraan Aldo merasa tersinggung karena seolah-olah di sini dirinya disalahkan membiarkan mertuanya melakukan semuanya sendiri. Padahal yang terjadi adalah kebalikannya. Setiap hari Kinanlah yang berpeluh-peluh berkutat dengan segudang pekerjaan rumah yang tak ada habisnya, sementara Tini hanya ungkang-ungkang kaki dan menyuruh saja.

Akan tetapi, semua yang Kinan lakukan seolah tak pernah terlihat oleh ibunya Aldo. Justru sebaliknya, ia selalu mengadukan hal yang tidak benar pada Aldo. Tabiat buruk mertuanya terkadang membuat Kinan jengah dengan keadaan, sering ia terlibat keributan dengan Aldo karena aduan wanita itu.

“Mas, aku dari tadi di rumah nggak diam, ya. Kalau sekarang kamu lihat rumah keadaanya berantakan itu bukan salah aku dan bukan karena aku yang nggak beres-beres. Di rumah ini nggak cuma kita berdua yang tinggal. Kakak-kakakmu dan cucu-cucu Ibu bisa bebas keluar masuk di sini. Kamu bayangkan aja yang beres-beres satu yang ngotorin banyak, ya gimana mau rapi ini rumah!” sahut Kinan yang bosan selalu disalahkan.

“Udahlah, Ki, jangan cari pembelaan diri terus. Aku capek ribut terus sama kamu, masalahnya ini-ini aja.”

“Aku lebih capek, Mas!” sahut Kinan cepat. “Aku lebih capek jiwa dan raga. Aku capek menghadapi kalian yang nggak pernah bisa ngerti aku. Semua yang aku lakukan nggak pernah kalian lihat. Kamu cuma percaya omongan Ibu tanpa mau tahu apa yang udah aku lakuin buat mereka. Aku capek disebut-sebut jadi istri benalu buat kamu. Aku capek, Mas!”

Brak!

Selesai melampiaskan kekesalan hatinya Kinan berlalu begitu saja dari hadapan Aldo. Pintu kamar ia tutup dengan kuat, suara daun pintu membentur kusennya mengelegar di seluruh rumah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marimar
waduh, ketemu mertua macam begitu di tuker tambah sama masako se sapinya aja Ki...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status