Share

Bab 6

"Barusan teman sekolah mengundangku ke acara reuni, dia juga minta agar aku ajak kamu, sekalian mengenalkan kamu sama teman-temanku. Kalau kamu keberatan aku gak akan ikut," ucap Nadine ragu-ragu menyampaikannya.

"Kapan?" tanya Sadam tanpa menoleh ke arah Nadine lawan bicaranya.

"Lusa." Nadine merasa lega saat Sadam merespon perkataannya.

"Aku akan menemani kamu ke acara itu." Sadam menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan layar laptopnya.

Senyuman terbit di sudut bibir Nadine, hatinya makin terasa lega. Dia pikir Sadam akan menolak pergi bersamanya ke acara reuni nanti, tapi ternyata Sadam mau ikut dengannya.

"Ngapain masih berdiri di situ?" Sadam membuyarkan lamunan Nadine yang terlihat tersenyum-senyum sendiri.

"Jangan ge-er dulu karena aku mau mengantarmu ke acara reuni. Aku hanya tak ingin orang lain curiga dengan hubungan kita yang kacau. Biarkan mereka menganggap kita ini sepasang suami istri yang harmonis," oceh Sadam sambil tersenyum miring.

Baru saja Nadine merasa bahagia karena dia pikir Sadam kembali seperti Sadam yang dia kenal, tapi ternyata Nadine salah. Seketika senyum wanita itu pun luntur.

"Pergi sana! Kerjakan pekerjaan kamu," titah Sadam dengan nada ketus.

"Pekerjaan apa?" Nadine bingung.

Sadam menoleh menatapnya tajam, bangkit berdiri dan berada tepat di hadapan Nadine. Dengan jarak yang begitu dekat Sadam menatap raut wajah yang terlihat gugup itu.

"Kamu lupa kalau tugasmu di sini adalah membantu pekerjaan Mbak Nur?"

"Aku gak menyangka kamu mengatakan hal itu dengan serius, aku pikir … "

"Kamu pikir aku main-main? Aku ingin membuatmu menderita di rumah ini, paham?"

"Baik. Aku akan mengerjakan apa yang harus aku kerjakan di rumah ini, tapi ingat Mas, aku melakukan semua itu semata-mata karena aku ingin menjadi istri yang baik untukmu, aku ingin menurut dan mengabdi padamu, aku harap kamu berubah setelah ini," timpal Nadine segera berlalu dari hadapan Sadam.

Pria itu menatap nanar punggung istrinya. Berada dekat dengan Nadine membuat sesuatu dalam hatinya terasa berdesir. Bohong jika dia bilang tak cinta pada Nadine, namun rasa benci menyelimuti perasaan itu. Kedua rasa yang sama besarnya dan datang di waktu yang bersamaan.

Masalah Sadam ingin mengantarkan Nadine ke acara reuni pun sebenarnya dia takut jika di sana banyak pria yang akan menggoda istrinya. Namun Sadam terlalu gengsi mengakui hal itu. Dia menyembunyikan perasaan cinta dengan sebuah amarah dan rasa benci.

Sadam sangat kecewa pada Nadine, dia merasa tertipu. Berulang kali dia menepis perasaan cintanya yang terselip antara belenggu kebencian, namun tak bisa dia lakukan.

"Sadam!" Tiba-tiba Saras masuk ke kamarnya.

"Ibu?"

"Apa benar yang kamu katakan tadi? Kalau ternyata Nadine sudah tidak perawan lagi?" tanya Saras memicingkan mata.

"Ibu tau dari mana? Ibu menguping pembicaraan kami?" Sadam sebenarnya tak ingin siapapun tau masalah Nadine, biar dia sendiri yang menghukum dan membuat Nadine menderita.

"Iya, ibu gak sengaja lewat dan mendengar obrolan kalian," jawab Saras.

"Kalau memang benar dia tak perawan lagi, kenapa kamu tidak menceraikannya saja?" Lanjut Saras.

"Tidak, Bu. Aku tak akan pernah menceraikan dia," bantah Sadam.

"Kenapa? Kamu cinta sama dia? Ck … pantas saja aku tak pernah setuju pada pernikahan kalian. Ternyata firasatku benar kalau dia bukan wanita baik, tapi anehnya kamu masih saja ingin mempertahankan wanita itu," tukas Saras.

"Aku ingin membuatnya menderita, jadi sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikan Nadine, Bu!" tegas Sadam.

"Terserah! Tapi suatu saat jika ibu menemukan wanita yang cocok untukmu, maka kamu harus menikah dengan wanita pilihan ibu dan tinggalkan wanita sampah bernama Nadine itu!" Saras melenggang pergi meninggalkan Sadam yang masih mematung berdiri mencerna ucapan ibunya.

Sadam dilema. Satu sisi dia membenci Nadine dan ingin melihatnya menderita, tapi sisi lain dia pun sangat mencintai Nadine, maka tak mungkin membuka hati untuk wanita lain. Sadam merutuk diri, merasa bodoh dan marah pada diri sendiri yang bisa-bisanya mencintai Nadine.

Dia menjatuhkan diri di atas kursi, menjambak kasar rambutnya dan terlihat begitu frustasi.

**

Saras melangkah ke dapur, melihat Nadine yang sedang sibuk memasak bersama Mbak Nur asisten rumah tangga di rumah itu.

Mbak Nur tampak membersamai wanita itu, memasak makanan untuk makan malam.

"Nur! Biarkan dia sendiri yang mengerjakan pekerjaannya. Kamu kerjakan pekerjaan lain," titah Saras, suaranya mengagetkan mereka yang tengah sibuk memasak.

Kedua orang itu membalik badan saat mengetahui keberadaan Saras.

"Tapi pekerjaan saya semuanya sudah selesai, Nyonya. Hanya tinggal masak ini saja," timpal Mbak Nur membungkukkan badan sebagai rasa hormatnya pada majikan.

"Kalau begitu biar dia saja yang mengerjakan, kamu duduk saja gak perlu bantu dia memasak," tukas Saras.

Mbak Nur melirik pada Nadine, merasa tak tega jika harus membiarkan Nadine bekerja sendiri, apalagi itu adalah tugas Mbak Nur selaku pembantu di rumah ini.

Nadine mengedipkan mata pelan, memberi isyarat jika dia tak mengapa meski harus memasak sendiri. Lagipula pekerjaannya hampir selesai.

Saras terlihat menunggu Mbak Nur beranjak dari sana, menunggu wanita itu mematuhi perintahnya.

Mau membantah tapi Saras itu majikannya, akhirnya Mbak Nur hanya menurut. Dia melangkah ke belakang, duduk di ruangan khusus yang biasa dijadikan tempat pembantu untuk beristirahat.

Nadine kembali berkutat dengan pekerjaannya. Tanpa dia sadari jika Saras melangkah mendekat.

"Sebenarnya kamu kasih apa anakku sampai-sampai dia gak mau pisah sama kamu, huh?" Saras memulai percakapan di tengah-tengah kesibukan Nadine memasak.

"Maksud Ibu apa?" Nadine melirik sekilas satu tangannya sibuk mengaduk sup.

"Jangan pura-pura lugu di depanku, gak mempan! Pasti kamu pelet anakku kan hingga dia tergila-gila sama kamu, padahal dia sudah tau kalau kamu ini udah kotor dan ternoda tapi masih saja di kukut di rumah ini, bukannya di buang!" hina Saras.

Spontan Nadine menghentikan tangannya yang tengah mengaduk sayur. Terdiam merasakan perihnya ribuan jarum yang menusuk di ulu hati. Ucapan ibu mertuanya membuat goresan baru pada luka yang masih menganga. Tuduhan, fitnah serta hinaan sepertinya akan setiap hari dia dengar dari mulut wanita itu. Tapi bukan hanya hal itu yang membuatnya terasa sesak dan sakit hati.

Nadine tak menyangka jika ternyata Sadam telah mengatakan semuanya pada Saras, tentang tuduhannya terhadap Nadine yang di tuding tidak perawan lagi.

Bukankah Sadam tak ingin semua orang tau akan hal itu? Bukankah Sadam tidak perlu melibatkan ibunya tentang apapun masalah rumah tangga mereka? Sekalipun itu hanya tuduhan yang sama sekali tidak benar, Nadine tidak terima jika Sadam mengatakannya pada Saras.

Terlebih Saras sudah sangat membenci Nadine maka kebencian wanita itu akan semakin besar padanya.

"Kenapa diam? Merasa ya? Awas saja, aku gak akan membiarkan kamu berlama-lama di rumah ini. Secepatnya aku akan membuat kamu terusir oleh Sadam. Tuhan ternyata telah membuka keburukanmu secepat ini, hingga Sadam sadar jika ternyata kamu tak pantas untuknya, hanya saja saat ini Sadam masih enggan membuangmu. Tapi tunggu saja, aku tak akan tinggal diam. Ibu mana pun tak akan rela jika anaknya menikahi wanita kotor sepertimu," sinis Saras yang langsung pergi begitu saja dari sana setelah berkata-kata pedas.

Nadine mengurut dada, menahan sakit hati atas segala tuduhan dan hinaan mertuanya.

Seburuk itukah dia di mata suami dan mertuanya? Hingga mereka begitu jijik dan ingin menyingkirkan dirinya.

Suara ponsel berbunyi membuyarkan lamunan Nadine. Merogoh saku pakaian dan melihat siapa yang meneleponnya saat ini.

"Bapak?" Nadine mengusap air mata dengan kasar, menetralkan suaranya yang serak agar tak sampai ketahuan orang tuanya jika saat ini dia sedang menangis.

Dia melangkah agak jauh dari meja kompor untuk mengangkat teleponnya sebentar.

"Hallo, Pak."

"Nadine, apa kabar kamu?" Suara berat yang begitu Nadine rindukan terdengar di seberang telepon.

"Baik, Pak."

"Syukurlah. Bapak kangen sekali sama kamu."

Seketika bulir bening kembali lolos menetes ke pipi Nadine. Dia tak kuasa menahan tangis, rasanya ingin jujur saja jika saat ini dia sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mampu, tak ingin membuat orang tuanya sedih.

"Nadine! Kamu becus kerja gak sih? Lihat masakanmu bau gosong!" Tiba-tiba terdengar suara Saras yang kembali ke dapur.

"Astaga!" Nadine menutup mulut melihat kuali mengeluarkan asap dan bau gosong menyeruak di seisi dapur. Nadine lupa mematikan kompor sebelum mengangkat panggilan dari bapaknya. Untung Saras masuk hingga tidak terjadi kebakaran.

"Nadine, suara siapa itu?" tanya bapaknya dari seberang telepon.

"Pak, maaf nanti aku telepon lagi. Sudah dulu ya!"

Tuuut

Panggilan telepon pun terputus secara sepihak, meninggalkan tanda tanya besar di hati bapak Nadine setelah mendengar suara bentakan seorang perempuan yang ditujukan pada putrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status