Share

Istri yang Kau Jajakan, Ternyata Disayang CEO Sultan
Istri yang Kau Jajakan, Ternyata Disayang CEO Sultan
Penulis: Decan

TIDAK ADA PILIHAN LAIN

“Manis sekali,” ucap seorang pria tanpa malu sembari menghirup aroma tubuh Zeva di bagian pundak sebelah kanan yang hanya terbalut oleh selimut.

Sesekali Zeva menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh. Sedang tangan pria tersebut tengah asik menggaruk lembut pinggang Zeva.

Karena merasa risih, spontan tubuhnya bergeser hingga pandangan Zeva dengan jelas menatap raut wajah seorang predator penuh birahi.

“Ini sudah lebih dari jam kesepakatan.” Zeva menunduk dan berucap dengan perasaan takut.

Pria itu terkekeh kecil. “Baiklah. Aku tidak akan mencuri,” lirihnya terus menggoda sembari beralih menjauhi ranjang.

Sesaat kemudian, Zeva menghembuskan napas yang sudah lama ia tahan. Ini memang bukan yang pertama kali. Akan tetapi, perasaan takut masih mencekam dengan cara yang sama. Jika bukan karena tidak ada pilihan lain, Zeva mungkin sudah nekat melarikan diri.

Siapa pun pasti berpikir, mengapa Zeva tak menolak? Mengapa Zeva tidak bertindak lebih berani untuk menentang semuanya? Mengapa Zeva hanya terdiam tanpa bantahan?

‘Mengapa aku tak bunuh diri saja?’ batin Zeva masih dengan kepala tertunduk penuh sesal.

Semua terjadi karena tekanan yang tak berujung. Tidak ada satu hari pun di mana Zeva membayangkan kehidupan yang demikian. Masa depan yang ia dambakan bukanlah semacam ini. Kehidupan layak, tubuh yang sehat, mental yang stabil, itu semua hanyalah harapan yang sudah lama terkubur. Atau bahkan sudah menghilang.

Bukan atas kemauan sendiri. Segala aktivitas hina yang ia lakukan adalah tuntutan dari seseorang yang seharusnya melindungi dan mengayomi Zeva sebagai keluarga, namun ia malah berlaku sebaliknya. Seseorang yang dengan sengaja menjajankan istrinya kepada rekan-rekan kerja, hingga siapa pun yang bersedia memberikan upah sebesar mungkin.

TING! Terdengar notifikasi pesan dari ponsel yang ada di dekat perempuan itu.

[ Deren : Aku pulang terlambat hari ini. Selamat menikmati jamuanmu sayang ]

Tubuh Zeva bergetar haru membaca pesan dari seseorang yang secara sah menjadi suami. Dialah, laki-laki yang dengan tega menjual istrinya sendiri demi pundi-pundi rupiah di atas tuntutan pelunasan hutang keluarga Zeva.

Deren yang selama ini membumbui kehidupan Zeva penuh dengan seruan tangis, erangan kencang yang hanya sebatas amarah tak bermakna, bahkan hingga luka fisik yang menghiasi sekujur tubuh.

Namun, pernyataan tersebut tidak akan mengubah apa pun. Siapa saja yang mengetahui kondisi tersebut juga akan diam tak bergeming.

Siapa yang akan peduli dengan siapa? Tidak ada. Sekencang apa pun Zeva berteriak, suaranya tidak akan pernah sampai. Seolah semua orang sibuk menutup telinga, karena menganggap Zeva itu siapa? Jelas bukan siapa-siapa.

“Katakan pada suamimu bahwa aku sangat menikmati jamuan hari ini,” kekeh pria itu sebelum beralih pergi meninggalkan Zeva sendiri.

“Sampai bertemu kembali sayang,” tambahnya disambung dengan suara pintu tertutup.

Kepergian predator mengerikan itu memberikan ketenangan yang luar biasa bagi Zeva. Matanya sibuk memandang ke arah tubunya sendiri. Melihat banyak bekas luka lama yang Zeva sendiri tak yakin bisa sembuh dalam hitungan tahun. Hari-hari yang Deren sebut sebagai perjamuan akan menjadi trauma permanen yang tidak akan pernah hilang dari memori Zeva.

“Sampai kapan aku harus terkurung seperti ini?” lirihnya menyesali nasib.

***

Sepulang dari hotel, Zeva menyempatkan diri untuk mengisi perut. Kakinya berhenti di sebuah warung makan yang setengah jam lagi akan ditutup.

Di sudut lain, seorang wanita paruh baya mendekati meja Zeva dengan semangkuk soto ayam sembari bertanya, “Baru pulang kerja, Nduk?”

“Begitulah, Bu," singkatnya.

“Memang selarut ini?”

Zeva tersenyum ringan. “Ada tugas lembur yang harus saya selesaikan malam ini juga, Bu.” sebutnya berbohong

Beliau mengangguk. Menganggap perkataan tersebut adalah sebuah kebenaran.

“Lantas suamimu di mana, Nduk? Tak sepantasnya dia membiarkanmu sendirian,” terang beliau.

Spontan Zeva menggerakkan bola mata melirik ke arah sang penjual yang sesekali juga memperhatikan cincin di jari manisnya.

Zeva diam. Baginya tidak ada hari di mana ia bisa membahas kepedulian dari seorang suami.

“Beruntung sekali, Nduk. Suamimu akhirnya datang menjemput,” ucap beliau sekenanya sambil membawa beberapa piring kotor yang kemudian dibawa ke dalam.

Sontak Zeva berbalik ke arah belakang.

Pandangannya menangkap seseorang sedang berjalan menghampiri di tengah gelapnya malam. Samar-samar perawakan pria tersebut lain dari perawakan Deren. Zeva melihat postur tubuhnya begitu gagah dan bidang. Tinggi badannya mungkin berkisar pada angka satu koma tujuh meter. Dari caranya berjalan, Zeva juga semakin yakin bahwa itu bukan Deren.

Ia segera menggelengkan kepala untuk menepis semua dugaan.  ‘Apa gunanya aku mengharapkan kehadiran Deren’ batinnya sembari memposisikan tubuh menghadap makanan yang sudah harus segera ia habiskan.

Tak lama kemudian, sang penjual kembali muncul dengan sapaan ramah ke arah seseorang yang sekarang sudah tepat di belakang Zeva. “Mau jemput istrinya ya, Mas?” goda sang Ibu.

Mata Zeva terbuka lebar mendengar pertanyaan yang secara terang-terangan menanyakan sesuatu tanpa mengetahui kebenarannya.

Namun, samar ia  juga mendengar  tawa dari pria tersebut yang seolah menyetujui pertanyaan sang ibu.

“Bungkus nasi sotonya tiga porsi ya, Bu,” ucap seorang pria yang tengah duduk di samping Zeva.

Mendadak suasana menjadi canggung. Mengingat pertanyaan sang ibu beberapa menit lalu membuat Zeva bergidik sendirian. Lehernya kini berubah mematung seolah tidak ingin menoleh ke arah pria di sampingnya.

Sepuluh menit berlalu, tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Zeva bahkan tidak berniat untuk membuka percakapan yang entah harus dimulai darimana. Diam mungkin lebih baik daripada harus menguras energi.

Lima menit kemudian, satu kantong plastik pesanan pria tersebut telah diberikan. Selanjutnya adalah ucapan terima kasih untuk menjeda pertemuan hingga waktu yang tidak ditentukan.

“Terima kasih, Bu.” Pria itu berucap dengan penuh santun.

Hal yang tak Zeva duga adalah ketika pria tersebut menundukkan badannya tepat di samping wajah sembari berucap, “Apakah makanmu sudah selesai?”

Semua bisa menebak bawa jantung Zeva kemungkinan berhenti sejenak. Ia mengangguk kecil di tengah rasa canggung dan ketidaktahuan.

“Mari! Saya antar kamu pulang,”ajak pria itu dengan lembut.

“Pulanglah, Nduk. Sebentar lagi tokonya juga mau saya tutup,” sahut sang penjual memberi keyakinan. 

Pandangan Zeva melirik ke area kanan dan kiri. Ia menyadari bahwa pulang sendirian di tengah malam mungkin akan lebih merugikan.

“Baiklah,” singkatnya menoleh ke arah pria tersebut yang sedari tadi tersenyum manis menunggu jawaban.

***

“Tolong berhenti di depan saja.” Untuk pertama kalinya Zeva berucap setelah mobil melaju jauh menelusuri jalan pulang.

Mobil pun dihentikan. Tanpa menoleh lagi ke arah pria tersebut, Zeva menunduk mengucap terima kasih.

“Tunggu!” seru pria itu menghentikan aksi Zeva membuka pintu mobil. Ia terdiam menunggu kalimat selanjutnya.

“Senang bertemu denganmu,” sambungnya membuat dada perempuan itu kembali berdebar.

Zeva tersenyum senang untuk pertama kali di sepanjang hari. “Terima kasih atas tumpangannya.”

Kali ini Zeva sudah benar-benar berada di tepi jalan. Matanya memperhatikan sekitar untuk memastikan jika ada seseorang yang mungkin melihat gerak-geriknya. Hingga tak lama kemudian, mobil itu pergi meninggalkannya sendiri.

Lagi-lagi helaan napas terdengar. Hanya saja kali ini penuh dengan ketenangan yang mungkin hanya bertahan untuk sesaat.

“Aku harus sudah berada di rumah sebelum Deren datang,” lirih Zeva sembari melangkah menyebrangi jalan.

***

Saat pergelangan tangan diputar untuk membuka kunci pintu, terdengar suara mobil mendekat ke arah Zeva. Itu adalah pemandangan mobil milik Deren.

Namun, kali ini Deren tak sendiri. Ia juga melihat seorang wanita tengah sibuk membopong tubuh seorang pria yang tak sadarkan diri.

“Cepat bukakan pintu!” seru wanita itu dengan nada membentak.

Segera setelah lengkingan terdengar, pergelangan tangan Zeva langsung memutar dengan sendirinya. 

BUGH! Akhirnya tubuh Deren berhasil dibaringkan di atas sofa.

Tatapan wanita itu menusuk tajam ke arah Zeva yang hanya terdiam dengan pikiran kosong. “Di sini ada air kelapa?” ketus perempuan itu membuyarkan lamunan Zeva.

Tak ingin menjawab, Zeva langsung mengangkat kaki untuk mengambil sebotol minuman yang dibutuhkan.  

“Lain kali urus suamimu dengan benar!” Wanita itu berucap tegas sembari menyahut botol minum dari tangan Zeva.

Ia hanya terdiam dengan senyuman kecil. Memandangi seorang perempuan di hadapan yang tengah sibuk membangunkan suaminya. Senyum Zeva semakin melebar ketika perempuan itu menyerah dengan air kelapa yang tak kunjung membangunkan Deren.

Tanpa berucap, Zeva langsung menggantikan posisi wanita itu sembari meraih tubuh Deren dan memukul punggungnya sekali dengan keras.

“Uhuk!” Deren terbatuk diiringi dengan keluarnya cairan alkohol bercampur air kelapa. 

“Sekarang jangan mengajari aku cara untuk mengurus suamiku sendiri,” jelas Zeva tanpa ekspresi di tengah keheningan tepat menghadap ke arah perempuan asing di hadapanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status