Hari pertama bekerja ini, suasana hati Mutia sangat nano-nano. Entah dia harus bersikap seperti apa. Dia benar-benar jengkel dengan sikap Diaz, tetapi juga tidak menampik, kalau dia senang bisa membungkam Evita. Sikap Diaz yang sangat random itu, kadang membuat Mutia sedikit baper, tapi sedetik kemudian membuatnya marah.Hingga waktu pulang tiba, Diaz masih saja berkutat dengan laptopnya, sementara wajah kelelahan Mutia hanya duduk di meja kerjanya sambil menopang kedua tangannya menatap Diaz dengan tatapan kelincinya. Mutia sangat heran, sudah jam lima sore, tetapi tidak ada gurat kelelahan di wajah Diaz. Wajah serius itu justru terlihat begitu semangat, resepnya apa sih?Mutia tidak tahu saja, jika Diaz seperti ini ya baru hari ini saja. Melihat Mutia menjadi suplemen pemantik buat lelaki itu menjadikan dia bersemangat, tatapan polos bak kelinci Mutia membuat hatinya selalu bergetar, ingin melakukan yang iya-iya pada perempuan itu. Mencuri-curi pandang pada perempuan itu, jika Mutia
Sampai apartemen, Mutia benar-benar melakukan itu semua. Mandi, membuat secangkir teh, nonton televisi sambil memakan biskuit di toples. Dia malas sekali untuk masak makan malam, karena sendirian nanti setelah salat magrib dia hanya akan memasak mie instan. Ketika malam hari, dia sudah bersiap akan tidur, tetapi ponselnya berbunyi. Ketika dia melihat, itu adalah panggilan dari Tasya. Apa anak itu sudah kembali ke Bandung? "Tasya, apa kamu sudah kembali ke Bandung?" tanya Mutia langsung setelah menerima panggilan. "Mutia, di mana alamatmu? aku datang ke kost mu kata ibu kost kamu sudah pindah." "Ha? jadi kamu masih ada di kota ini?" "Iya, aku pindah ke kota ini." Mutia benar-benar heran, Tasya saat ini bekerja di perusahaan BUMN, kenapa dia musti pindah? apa dia menyusul calon suaminya, Raid? "Apa kamu berencana menetap di sini?" "Nanti saja ceritanya, please. Kamu sekarang tinggal di mana? aku sudah lelah ingin istirahat." "Baiklah, langsung aku sharelock, ya!" "A
Beberapa saat kemudian, Tasya bisa menguasai diri. Dia kembali mengambil tissue dan mengeringkan kembali air matanya. "Kenapa kamu kayak gini?" Mutia jelas mendesak agar sahabatnya ini cerita. "Mutia, aku sekarang benar-benar hancur." "Kenapa?" "Dulu, ketika aku masih di Bandung, aku dan bang Raid sudah sepakat untuk menikah akhir bulan ini. Dia satu-satunya laki-laki yang kucintai, Mut. Dia cinta pertama aku, aku sangat mencintainya." Mutia kini tidak mendesak, dia biarkan Tasya menceritakan dengan pelan, dia sendiri belum bisa meraba ke mana arah cerita gadis ini. "Mama dan Papa aku sudah sangat banget sama Raid. Dia sudah mempersiapkan pernikahan dengan baik, dulu aku meminta setelah menikah, Bang Raid pindah saja ke Bandung, biar kepindahannya diurus oleh Om Kamal, dia kan kepala cabang di Bandung. Bang Raid bilang, di Bandung karirnya sulit berkembang, jadi dia memutuskan akan tetap di sini. Aku percaya aja! dulu kami LDR lebih dari dua tahun, tapi setelah menikah aku
Malam itu, Mutia membiarkan Tasya istirahat di kamarnya, dia tidak ingin Tasya menjadi depresi. Paginya, Mutia langsung mandi dan salat subuh, setelah itu dia akan sibuk di dapur. Kemarin bosnya sudah mewanti-wanti agar dia datang ke rumah bosnya itu untuk menyiapkan semua kebutuhan bosnya. Tetapi sampai sekarang bosnya itu belum mengirim lokasi rumahnya. Jadi dia harus menyiapkan sarapan. Ketika Mutia sudah mengambil bahan-bahan di kulkas, sebuah notifikasi hp membuat Mutia menghentikan kegiatannya, dia sudah menduga jika itu pesan dari bosnya. Ternyata memang benar, lelaki itu sudah mengirim lokasi rumahnya. [Datang sekarang juga!] Mutia mencelos membaca pesan tersebut, berapa seenaknya menyuruhnya datang sekarang juga. [Saya tunggu sekarang juga] [Pak, saya sedang membuat sarapan. Saya akan ke sana setelah membuat sarapan.] [Buat di sini! Kalau dalam waktu lima belas menit tidak datang, saya pecat kamu!] What? Benar-benar arogan! enak saja, kalau gak datang akan dipec
"Nanti kamu buka sendiri pintu apartemen ini, tidak usah menungguku membukain pintunya. Paswordnya tanggal malam pertama kita!" teriak Diaz dari lantai atas. Aduh, pusiiing! Mutia benar-benar sebal dengan lelaki itu, tangan wanita itu mengepal dan meninju udara seolah-olah dia sedang meninju hidung mancung punya lelaki itu. Benar-benar brengsek, kenapa semua hal harus disangkut pautkan dengan kejadian malam itu. Mutia sudah berusaha melupakan kejadian malam itu, tetapi lelaki itu selalu mengungkitnya seolah-olah dia tidak akan melepaskan Mutia dengan mudah. Mutia keluar dari apartemen dan membanting pintu dengan kuat, untuk melampiaskan kejengkelannya. Tentu saja suara keras itu terdengar di telinga Diaz. Tetapi lelaki itu hanya terkekeh, seolah melihat kemarahan Mutiara adalah hiburan yang menyenangkan baginya. Setalah keluar dari rumah Diaz, Mutia tertengung melihat pintu apartemen yang dia tinggali. Di dalam sana masih banyak bahan makanan yang dibelinya kemarin sebelum dia b
"Cepat sana! kok malah bengong!" "Iya, di mana baju-baju bapak?" "Ya, di kamar lah! cepat sana naik ke atas!" Diaz sedikit geram dengan kelambatan gerakan Mutia. Sebenarnya Diaz akui kalau Mutia ini termasuk lumayan gesit, tapi kalau gak mencari-cari kesalahan begini, mana bisa dia akan terus berkomunikasi dengan wanita itu. Mutia berjalan ke lantai atas, dia membuka kamar pertama, ternyata itu adalah ruang kerja. Jadi kita dugaan jika kamar satunya adalah kamar lelaki itu. Ketika dia masuk ke kamar itu, aroma maskulin sangat kuat tercium oleh indra penciumannya, membuatnya sedikit meremang. Warna kamar yang didominasi warna abu-abu, hitam dan coklat sudah menggambarkan bagaimana kepribadian lelaki itu yang tegas, pintar, fokus dan serius dalam berkerja. Tempat tidur king size dengan sprei berwarna abu-abu polos sedikit berantakan, Mutia langsung merapikan tempat tidur itu. "Kamu gak perlu membereskan tempat tidur itu, nanti akan ada orang yang datang untuk merapikan dan
"Kamu nanti tidak usah ke kantor." "Loh, kenapa, Pak?" "Kamu pagi ini pergi belanja, sudah itu masak dan bawakan saya makan siang." "Oh, begitu?" Mutia hanya terbengong mendapati piring lelaki itu sudah tandas tak bersisa, bahkan kopi panasnya tinggal ampasnya saja, sementara dia baru menyuap beberapa sendok saja. "Iya, sekarang cepat kamu rapikan penampilan saya." "Ha?" "Ha lagi!" Mutia langsung berdiri, dia kebingungan bagaimana caranya merapikan penampilan bosnya ini. Memang penampilannya masih acak-acakan, rambut belum disisir, dasi belum dipasang dan sebagian kancing kemejanya belum dikancingkan. "Kenapa bengong? cepat sana ambil minyak rambutku dan sisir! ini sudah siang, kamu benar-benar ingin membuatku terlambat?!" "Oh?" Mutia dengan canggung berlari ke kamar lelaki itu untuk mengambil benda yang diperintahkan. Mutia bukan hanya mengambil sisir dan minyak rambut, dia juga sekalian mengambil parfum dan hand body lotion milik lelaki itu. Dengan tergopoh-gop
Sebagai seorang yang pernah bekerja secara profesional, Mutia duduk di meja makan dan mencatat segala sesuatu yang berkenan dengan tugasnya tadi pagi. Setiap titah Diaz tidak ada satupun yang terlewat untuk dicatatnya, kemudian membuat jadwal yang jelas. Karena ternyata bos nya ini tinggal di depan apartemennya tidak akan ada kesulitan untuk melakukan tugas itu. "Kamu nggak jadi ke kantor?" tanya Tasya yang heran melihat Mutia malah duduk di meja makan sambil menulisi buku agendanya. "Nanti siang, sekarang aku harus ke pasar, berbelanja. Masak makan siang, baru ke kantor." "Senangnya pekerjaanmu itu asisten sekretaris atau pembantu rumah tangga, sih?" "Nggak tahu juga. Namanya asisten ya konotasinya tetap pembantu," jawab Mutia acuh. "Duh, downgraded dong? Dari general manager menjadi pembantu rumah tangga. Gimana ceritanya ini?" "Gak usah ditanyakan. Aku saja bingung menjawabnya. Aku hanya mengikuti bagaimana air mengalir, sekarang yang penting aku dapat kerja." "Pad