"Aku mau mandi!" Ratu bertolak pinggang berdiri di depan pintu kontrakan. "Tunggu ya, Non. Masih antri. Non berdiri dulu di barisan itu biar cepat!" Dengan hati-hati Sumi menunjuk para penghuni kontrakan yang sedang berdiri mengantri di depan kamar mandi. "Apaa? Kamu suruh aku berdiri di sana?" Ratu melotot ke arah antrian itu. "Iy-iyaaa, Non. K-kalau pagi-pagi banyak yang mau berangkat kerja. Jadi mandinya antri," jawab Sumi takut-takut. "Kamu aja yang antri! Aku malas bergabung sama orang-orang itu!" Ratu kembali masuk ke kamar kontrakan dan kembali merebahkan tubuhnya di kasur busa. Sumi hanya bisa menarik napas berat, lalu mulai ikut mengantri bersama para penghun kontrakan. "Heh, Sumi! Bukannya tadi kamu udah mandi? Kenapa sekarang antri lagi?" tegur salah satu penghuni kontrakan yang juga sedang mengantri. "Saya antri untuk ... untuk ...." Sumi bingung ingin menjelaskan siapa Ratu pada tetangganya. "Untuk siapa? Untuk perempuan sombong yang ada di kontrakan kamu itu?" sa
"Ratu ... kamu di sini?" Ratu seketika berhenti menoleh pada Analea yang muncul dari kaca jendela mobil. "Iya. Memangnya kenapa? Aku mau membesuk calon mertuaku," sahut Ratu dingin. "Ya sudah, kita sama-sama saja kalau begitu. Gedungnya masih jauh loh, dari sini. Ayo naik!" Analea mengerling ke arah pintu depan agar Ratu naik ke mobilnya dan duduk di sebelah supir. "Nggak usah! Mentang-mentang aku jalan kaki, kamu mau menghinaku!" tolak Ratu sambil membuang pandangan. Ia malu karena saat ini wajahnya penuh dengan peluh dan rambut yang berantakan. Berbeda dengan tampilan Analea yang sangat cantik dan rapi. Apalagi di sebelah Analea kini ada Fabian duduk tanpa menoleh pada Ratu. "Astaga, Ratu! Aku ajak kamu itu baik-baik, loh!" Analea kesal karena dituduh menghina oleh Ratu. Padahal niatnya baik. "Sudahlah Lea, sebaiknya kita pergi saja!" sanggah Fabian ikut geram. "Pak, jalan!" Mobilpun melaju meninggalkan Ratu di tepi jalan masuk rumah sakit itu. "Sial! Harusnya mereka bisa bu
"Ayo aku antar pulang!" Raihan bangkit dan berjalan menuju area parkir. "Ck! Aku belum selesai bicara, Raihan!" Ratu ikut bangkit lalu menghentakkan kakinya. Namun akhirnya ia tetap mengikuti langkah kaki Raihan hingga ke mobil. "Ayo naik!" Raihan telah duduk di belakang kemudi. Sedangkan Ratu duduk di samping Raihan. Ia masih penasaran tentang apa yang dilakukan Rehan kemarin pagi di acara pernikahan Analea. Rehan melajukan mobilnya ke satu arah. "Kamu mau aku antar ke kantor?" "Tidak! Jangan!"cegah Ratu. "Kenapa? Kamu tidak kerja hari ini?" "B-bukan begitu tapi ...." Ratu tiba-tiba ingat bahwa dia ke rumah sakit tidak datang sendirian. "Astaga! Sumi!" bathin Ratu dalam hati. Ia tiba-tiba teringat pada Sumi yang sedang menunggunya di pos satpam. Ratu berpikir sejenak bagaimana caranya agar Sumi bisa pulang tanpanya. Tak lama kemudian ia mengirim pesan pada Sumi agar pulang lebih dulu. "Jadi aku antar kamu ke mana?"tanya Raihan tak sabar "Antar aku pulang saja!" Jawa
"Stop di depan warung itu! Aku turun di situ saja." Raihan menuruti kata-kata Ratu Ia pun berhenti tepat di depan warung kopi yang berada di tepi jalan. Sejak perjalanan dari Jakarta tadi mereka berdua tidak banyak bicara. Apalagi Raihan. Padahal Ratu sudah beberapa kali mencoba untuk membuka percakapan. Namun, Raihan seakan tidak mempedulikan dirinya. Raihan tidak begitu merespon pembicaraan Ratu. "Kamu serius turun di sini?" Raihan mengedarkan pandangannya ke sekitar warung kopi sederhana itu "Iya. Aku lupa dimana rumah temanku. Nanti biar dia jemput aku saja di warung kopi itu," jawab Ratu sambil melihat ekspresi wajah Raihan. Ia berharap Raihan akan iba dan perhatian padanya. "Hmm ... kalau begitu turunlah!" pinta Raihan tanpa menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. Melihat itu Ratu mendengkus kesal. "Kamu serius nggak mau bukain aku pintu?" "Jangan manja!" ketus Raihan dingin. Ratu berdecak kesal sambil membuka pintu mobil dan turun. Sementara Raihan tetap berada di d
"Hari ini kita pulang ke rumah. Lea mau, kan tinggal di rumahku?" Analea mengangguk dan tersenyum. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada suami tercintanya. Pagi ini mereka baru saja terjaga dalam keadaan polos yang hanya ditutupi selimut. Satu minggu sudah mereka habiskan waktu di kamar hotel itu dengan bercumbu dan bermesraan sepanjang hari. "Maafkan aku. Seharusnya aku membawa Lea bulan madu ke luar negeri atau tempat-tempat yang indah lainnya." Fabian menciumi puncak kepala Analea dengan bertubi-tubi. Wanita yang sejak awal ia kenal dengan kesederhanaannya tidak pernah protes ketika Fabian hanya membawanya menginap di hotel bintang lima yang ada di tengah kota. "Nggak apa-apa, kak. Aku bahagia, kok, di kamar mewah ini. Di manapun, asalkan bersama Kak Bian sayang!" Analea menegakkan tubuhnya dan mendaratkan sebuah kecupan pada hidung Fabian yang menjulang. "Hei, mulai nakal, ya!" Menerima ciuman yang tiba-tiba dari Analea berhasil memancing kembali hasrat kelaki-lakian Fabian.
"Sumi, buruan siapin pakaian kerjaku!" Ratu baru saja bangun, langsung memberi perintah pada Sumi. "Bajunya yang mana, Non? Memangnya Non sudah dapat kerja?" Sumi yang ternyata sedang siap-siap juga untuk kerja langsung kalang kabut mencari pakaian Ratu di lemari plastik miliknya. "Cari bajuku yang paling bagus. Aku mau datang ke sebuah perusahana besar." Ratu berkacak pinggang mengawasi Sumi yang sedang mengangkat tumpukan pakaian terlipat yang sudah di setrika. "Ini sudah disetrika, Non. Tinggal pakai aja, nih!" Sumi menyerahkan satu stel pakaian kantor yang dulu biasa dikenakan Ratu untuk bekerja. "Apaan, nih? Masih kusut! Setrika lagi, sana!" Sumi meraih kembali pakaian di tangan Ratu. Karena dia tidak punya lemari gantung, pakaian itu menjadi kusut lagi dalam lemari. Terpaksa Sumi mengulang kembali menyetrika baju Ratu. Sementara Ratu bergegas mandi sebelum kamar mandi itu antri oleh para penghuni kontrakan. "Non, maaf ya. Saya masih belum bisa bawa Non ke kontrakan yang le
[ Aku kangen. Lea pulang jam berapa? Aku jemput] Analea tersenyum membaca pesan yang ke sekian kalinya dari Fabian. Sejak pagi setelah Fabian mengantarnya ke Anggada Jaya, suaminya itu setiap jam mengirimkan pesan rindu untuknya. Hingga pukul satu siang belum waktunya pulang, Fabian tak sabar ingin menjemput. [.Pekerjaanku masih banyak, Kak. Aku juga mau mampir ke rumah Mama nanti sore ] [ Kita ke rumah Mama sama-sama. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan jemput Lea ] Lagi-lagi Analea geleng-geleng kepala sambil tersenyum mengingat suaminya yang berubah drastis setelah menikah. "Kenapa kamu jadi bucin dan agresif begini?" Pikir Analea dalam hati. Tanpa ia sadari ia terus tersenyum mengingat malam-malam yang ia lalui sejak menikah dengan Fabian selalu hangat oleh aktifitas panas mereka. Fabian selalu ingin lagi dan lagi. Ia akan berhenti jika sudah melihat Analea kelelahan. Apa hampir semua pengantin baru seperti ini? "Bu ... Bu Ana ... Bu ...!" "Astaga! Maaf, Lily!" Analea te
"Ada apa, Kak?"tanya Analea heran sekaligus khawatir. Langkahnya terhenti. Ia menatap Fabian dengah kening berkerut. Fabian tampak mulai tenang. Lalu menghela napas panjang. Netranya membalas tatapan Analea. "Maafkan aku, Lea. Mungkin ... aku terlalu berlebihan. Itu mobil Raihan. Dia pasti ada di dalam. Aku ... khawatir ...." Satu lengan. Fabian menyelipkan anak rambut Analea ke balik telinga. Analea tersenyum. "Jangan terlalu berlebihan padaku, Kak. Aku pasti akan sakit jika suatu saat perlakuan Kak Bian ke aku hanya biasa saja. Jangan buat aku terbiasa dengan sikap kakak yang bucin banget kayak gini." Analea bicara dengan hati-hati. Kata-kata yang ia ingin sampaikan sejak di hotel kemarin, tapi ia ragu untuk mengatakannya. Namun akhirnya ia mengatakannya karena Fabian memulai membahasnya lebih dulu. Tatapan Fabian semakin lekat. Keduanya saling tatap tak berkedip hingga tidak menyadari ada yang memperhatikan mereka. "Wah, wah, ada pengantin baru rupanya. Kenapa berdiri di sana