*Ajeng POV*
Bram sampai di rumah tepat pukul sembilan malam setelah dia pamit pada bundanya di Rumah sakit serta pada Dina di rumah ibunda.
Setelah berkemas membawa masing-masing satu koper, mereka pun memesan taxi untuk membawa mereka pergi Ke Bandara. Aku merasa gelisah, ketika menuju ke Bandara. Aku sangat kuatir dengan kondisi kesehatan paman yang telah menjadi Ayah bagi diriku.
Ketika aku berpamitan kepada paman satu bulan lalu, kondisi paman baik-baik saja, tidak terlihat ada suatu penyakti yang diderita oleh paman. Tak terasa bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Sesekali aku menyeka air mata yang jatuh membasahi pipiku.
"Ajeng sayang, sudah tenangkan dirimu," Bram mencoba menghiburku, dengan mengenggam tanganku, lalu merebahkan kepalaku pada bahu bram.
"Aku sangat takut terjadi sesuatu hal dengan paman mas,"sahutku dengan isak tanggis yang tertahan.
"Semua akan baik-baik saja, saat ini kita hanya bisa mendoakannya,"Bram kembali menguatkan kegelisahan hatiku.
Tiba di Bandara kami memasuki pos pengecekan tiket pesawat. Setelah itu kami masuk kedalam untuk mengikuti prosedur pemeriksaan / scanning barang bawaan dan prosedur pemeriksaan / scanning tubuh.
Selesai pada pos pemeriksaan, kami berjalan menuju tempat pemeriksaan tiket. Disana kami menyerahkan kartu tanda pengenal untuk mendapatkan nomor pada kursi penumpang serta menyerahkan koper yang mereka bawa untuk bisa di registrasi dan di bawa ke bagasi kabin pesawat.
Setelah semuanya selesai kami menuju di ruang tunggu. Karena pesawat yang membawa kami, ketujuan baru akan terbang dua jam. kemudian Bram mengajak ku untuk mencari restoran. Karena, kami belum makan malam.
Lalu kami menuju sebuah restoran yang menyediakan nasi campur. Kami memesan makanan dan duduk saling berhadapan satu sama lain. Saat ini kami masing-masing sibuk dengan handphone dan tentunya mempunyai berbagai hal yang dipikirkan saat ini.
Aku terkenang pada masa kecil, masa remaja hingga masa dewasa ketika aku hidup bersama paman, bibi dan kedua saudara sepupu lelakiku. Sedangkan Bram, aku lihat sedang memejamkan matanya. Aku berpikir,' Mungkin saja ia sedang memikirkan bunda yang harusnya ia temani di Rumah Sakit.'
Kenanganku, atas paman yang sangat indah terus bergelayut dalam benakku. Paman lah yang membuat aku, tidak merasa kehilangan ayah. Aku teringat ketika baru pertama kali memakai sepeda yang dibelikan oleh paman.
"Ajeng...mari paman ajarkan cara mengendarai sepeda, ingat kamu hanya perlu keseimbangan."
Masih terdengar jelas kata-kata paman didalam pikiranku.
Saat aku terjatuh, membuat paman sangat panik melihat luka pada bagian jempol kakiku yang mengeluarkan darah karena sepeda yang dikayuh mengenai batu sehingga aku terjatuh.
"Yaaa...Tuhan, putriku terjatuh, mana yang sakit sayang, mana lagi yang sakit?" tanya paman berulang kali dengan kecemasannya. Dan aku masih mengingat detail masalah itu.
Sejak saat itu paman tidak mengizinkan aku untuk mengendarai sepeda hingga saat dewasa. Aku juga teringat ketika, remaja dan sudah diperbolehkan untuk ikut ke kota dan tinggal bersama paman,bibi dan kedua saudara sepupuku.
Aku ingat, setiap paman menerima gaji, ia selalu saja membawakan makanan kesukaanku. Teringat olehku, ketika paman membawakan cake coklat kesukaanku, dan akulah yang pertama kali diminta memilih jenis cake coklat itu.
"Biar putri ayah tercinta dulu yang pilih, nanti jagoan-jagoan ayah sisanya," ucapan paman masih saja terdengar, ketika aku merindukannya.
Setelah itu baru kedua saudara lelaki sepupunya. Sungguh kenangan yang tidak bisa dilupakan oleh ku. Begitupun dengan kedua saudara lelaki sepupuku yang sangat menyayangiku.
Aku merasa terlindungi, ketika bermain bersama teman sebaya. Karena kedua saudara sepupuku, selalu menunggu digerbang sekolah ketika jam pulang sekolah telah selesai.
Sedangkan saat ini, pikiran Bram masih teringat dengan kejadian petang tadi di rumah bundanya. Ia sungguh tidak menyangka, Dina akan melakukan hal seperti itu, selama ini Bram berpikir, Dina sebagai seseorang yang pernah sekolah dan tinggal di luar negeri.
Pastinya mempunyai seseorang yang bisa diajak berbicara dan melampiaskan hasrat dan kebutuhan batinnya selama mereka menjalani pernikahan semu.
Ternyata, Dina tetap mempertahankan status istri yang tidak mencari kenikmatan di luar. Dan pemikiran ini pulalah, yang buat Bram merasa sangat bersalah pada Dina.
Masih sangat jelas terlihat oleh mata kepalanya sendiri, bentuk diri Dina ketika tanpa busana. Untung saja saat itu, Dina sedang memejamkan matanya, karena sensasi yang dia rasakan waktu itu.
Hingga ia tidak tahu, kalau Bram dengan rasa penasaran yang teramat sangat telah masuk kedalam tirai yang tertutup itu, dan melihat seluruh kejadian yang tidak diduganya.
Setiap mengingat hal itu serasa jantung Bram terdetak lebih kencang dan begitupun ketika dirinya bernapas, seolah-olah ia merasa oksigen disekitarnya berkurang, dan ia pun tidak tahu kenapa hal ini terjadi padanya.
Mungkin saja dikarenakan sifat kelelakian, peningkatan hormon, atau karena rasa bersalahnya. Padahal selama ini dirinya tidak pernah memberikan sedikitpun perhatian atas Dina.
Atau mungkin, karena saat ini Bram telah tahu seutuhnya tentang Dina, baik kebaikan hati dan perhatian pada bunda, maka pikiran ini selalu mengganggu dirinya.
"Mas Bram, koq melamun?" tanyaku pada Bram, karena dari tadi aku mengamati wajahnya yang sedikit tegang.
Kembali aku menanyakan Bram, karena ia tidak menjawab pertanyaanku. Dan tidak memperhatikan sekelilingnya. Yang aku rasa, ia seperti berada di tempat lain.
"Apa mas kepikiran bunda?" tanyaku kembali pada bram yang terlihat tidak memperhatikan apa yang ada di mejanya, ketika makanan yang kami pesan telah datang.
"Ooh tidak...hmmm yaaa," jawab Bram seperti kebingungan akan akan jawabannya.
Lalu aku lihat, ia mengambil makanan yang ada hadapannya, dan langsung menyantap, tanpa berkata sepatah kata pun. Aku pun menikmati makanan ku tanpa bertanya lagi padanya.
Setelah tiga puluh menit kemudian, kami pun selesai dengan santapan makanan malam yang mereka pesan. Lalu kami beranjak ke ruangan lain yang telah disediakan untuk menunggu jadwal keberangkatan pesawat.
Kurang dari tiga puluh menit lagi kami akan memasuki pesawat yang akan membawa kami ke kampung halamanku dan bertemu dengan paman yang sangat aku kasihi.
Setelah menunggu selama tiga puluh menit, kami pun mendengar panggilan kru maskapai untuk bersiap-siap menyiapkan tiket pesawat dan kartu tanda pengenal sebelum memasuki pesawat.
Kami antre untuk memasuki area lapangan landasan Bandara. Setelah kami melalui pemeriksaan tiket dan kartu identitas, kami pun berjalan memasuki lapangan landasan untuk menuju ke pesawat terbang yang telah terparkir disana.
Kami masuk ke dalam pesawat lalu mencari kursi sesuai dengan nomor yang kami dapatkan ketika melakukan boarding. Tidak lama kemudian, pramugari dari maskapai tersebutmemberikan instruksi-instruksi standar keselamatan internasional kepada para penumpang pesawat.
Setelah melakukan stimulasi tentang instruksi standar keselamatan kepada para penumpang, maka pesawat pun mulai lepas landas secara perlahan dan akhirnya sampai pada ketinggian yang telah ditentukan.
Di dalam pesawat itu, aku dan Bram hanya terdiam satu sama lain. Tangan Bram tetap memegang tanganku dan kepalaku pun bersandar pada pundak Bram. Aku yang takut ketinggian, memejamkan mata.
Sedangkan pikiran Bram, terus melayang pada sosok Dina yang dilihat dalam keadaan tanpa busana. Walaupun Bram terus menghalau pikiran itu, tetapi bayangan tubuh Dina bertambah jelas terlihat.
Bram tidak tahu apa yang dipikirkannya. Yang pasti saat ini, ia memikirkan bentuk lekuk dari tubuh dan area sensitif Dina yang terlihat putih bersih tanpa tumbuh rambut sedikitpun.
Terlihat sekali Dina sangat menjaga kebersihan area sensitifnya. Dan yang sangat di ingatnya adalah sebuah daging kecil berwarna kemerahan yang menyembul dibagian tengah area sensitif milik Dina. Hasratnya, ingin sekali melumat daging kecil kemerahan itu. Seketika ia tersadar.
"Pikiran gila apa ini?" kutuk batin Bram.
Satu jam setelah perjalanan, pramugari maskapai pesawat yang kami tumpangi, meminta kami untuk memasang sabuk pengaman dengan menegakkan kursi. Karena pesawat akan melakukan pendaratan.
Dalam beberapa menit kemudian, pesawat mulai melakukan pendaratan dengan menurunan ketinggian pesawat secara bertahap. Hingga ketinggianpun dapat diturunkan sesuai prosedur pendaratan yang berlaku.
Terasa sekali roda kaki dari pesawat tersebut menyentuh landasan dengan getaran yang hampir terasa sama ketika kami naik roller coaster.
Akhirnya kami pun telah mendarat dengan selamat. Dan kami boleh membuka sabuk pengaman, ketika pesawat berhenti dan parkir dengan sempurna.
Setelah itu kamipun mulai bangun dari kursi dan mengantri untuk mengambil barang di kabin pesawat, setelah itu kami mengantri untuk keluar dari pesawat satu persatu.
Lalu kami pun keluar dari pesawat dan berjalan menuju tempat pengambilan koper. Kami mengambil koper dan menuju keluar area dari bandar udara tersebut. Sesampai di luar, kami mencari taxi untuk menuju kampung halamanku yang berjarak sekitar dua puluh lima kilo dari bandara.
Setelah itu kami mendapatkan taxi yang membawa kami menuju ke kampung halamanku. Dalam perjalanan yang akan memakan waktu sekitar dua jam itu, Bram tertidur pulas dikarenakan memang saat ini waktu telah menunjukan pukul satu dini hari.
Sedangkan aku tidak bisa memejamkan mata sedikit pun, karena ketika berada di dalam pesawat, tertidur pulas dengan rasa takutku.
Akhirnya kami sampai di rumah paman. Ketika mobil taxi yang membawa kami masuk ke halaman pekarangan rumah paman. Aku lihat bibi dan salah seorang dari saudara lelaki sepupuku, telah berada didepan teras rumah paman.
Setelah supir taxi menurunkan barang-barang kami, salah seorang saudara lelaki sepupuku membantu menurunkan koper serta tas ku. Sedangkan, aku memeluk bibi dengan perasaan sedih.
"Bagimana kabar mu?" tanya bibi sambil mencium kedua pipi ku.
"Baik-baik saja Bi.’’ Sahutku sambil mencium kedua tangan bibi, dan menyalami saudara lelaki sepupuku.
"Bagaimana kabar mu dan keluarga disana Bram?" tanya bibi Ajeng pada Bram.
"Semua baik-baik bi," jawab Bram sambil mencium kedua tangan bibi Ajeng. serta menyalami saudara lelaki sepupu Ajeng yang saat itu berada disamping bibinya Ajeng.
Mereka pun masuk kedalam rumah. Bram membawa satu koper sedangkan saudara lelaki sepupu Ajeng membawakan satu koper lagi. Mengingat kami sampai ke rumah dini hari, maka bibinya Ajeng meminta kami untuk beristirahat.
Kami pun masuk ke kamar yang telah disiapkan untuk kami, lalu aku masuk ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan mengganti pakaian. Begitupun dengan Bram, ia mencuci muka dan mengganti pakaian.
Lalu kami beranjak ke tempat tidur kami. ketika berada di tempat tidur, Bram mencoba mencium bibir ku. Tetapi aku menolak, karena rasa lelahku dalam perjalanan tadi.
Tetapi Bram terus mencoba merajuk dan mengoda aku, agar ia bisa menikmati hasrat cintanya bersamaku.
"Sayang, Aku ingin sekali bercinta dini hari," rayu bram dengan mencoba memegang area sensitif ku.
Tetapi aku tetap menolak. Dan langsung mengingatkan kondisiku.
"Maaf mas Bram, aku benar-benar tidak mood dan lagi pula kita seharusnya mendengarkan saran dokter, untuk tidak melakukan hubungan suami istri."
"Mas kan tahu, itu akan menjadi masalah besar dengan kandunganku," ujar ku panjang lebar menjelaskan hal itu sebagai penolakanku sambil membelakangi Bram, dan beristirahat.
Akhirnya Bram pun tidak bisa memaksakan hasratnya padaku, lalu ia pun mencoba untuk memejamkan matanya. Karena besok kami semua akan menjenguk pamanku yang berada di Rumah Sakit.
Tetapi hasrat Bram yang menggebu-gebu sejak melihat Dina dirumah bunda. Dan masuk dalam pikirannya, ketika berada di Bandara, hingga saat berada di dalam pesawat.
Membuat dirinya tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya masih saja teringat akan pemandangan indah yang dilihat. Karena tidak kuatnya hasrat itu, Bram memutuskan untuk melakukan melakukan hasratnya, yang dia lakukan dengan tangannya sendiri sambil mengingat kembali lekuk tubuh Dina yang dilihatnya.
Tanpa sadar, dirinya telah merasakan sensasi yang sangat mendalam pada hasratnya, dia pun memanggil lirih nama Dina hingga mencapai klimaks.
Terasa melegakan bagi hati Bram, ketika batinnya telah terpuaskan. Ia telah menumpahkan segala hasrat yang sejak kemarin sore telah ditahannya hingga dini hari baru tertuntaskan.
Setelah itu Bram pun beranjak ke tempat tidur karena rasa kantuk yang telah dirasakannya.
Aku bangun sekitar pukul enam langsung menuju dapur. Dilihat bibiku sedang menanak nasi dan sedang mempersiapkan makanan pagi untuk kami.
"Selamat pagi Bi," ujarku pada bibi, dan bibi menoleh ke arahku.
"Pagi Nak, gimana tidurmu bisa nyenyak?" jawab bibi dan menanyakan kondisiku.
Lalu aku membantu bibi menyiapkan makanan untuk sarapan kami dan memasak beberapa makanan kesukaan paman yang akan mereka bawa ketika membesuk nanti.
sambil memasak, aku membicarakan perihal sakit pamanku. Karena selama ini, aku melihat paman baik-baik saja. aku berpikir, kenapa sampai tidak mengetahui kondisi paman sebenarnya.
Menurut bibiku, paman selama ini menyembunyikan perihal penyakitnya agar kami semua tidak was-was terhadap dirinya. Sungguh suatu hal yang menyedihkan ketika hal itu ku dengar.
Menurut bibinya saat ini paman menderita penyakit ginjal. Tetapi paman telah ditangani oleh Dokter spesialis penyakit dalam dan menurut cerita dari bibi, kondisi paman saat ini sudah agak membaik setelah di bawa ke Rumah Sakit.
Rencananya pagi ini, setelah mereka sarapan pagi, kami akan membesuk paman di Rumah Sakit. Setelah dua jam berlalu, makanan yang dimasak oleh aku dan bibi pun selesai.
Dan aku menyajikan sarapan tersebut di meja makan. Sedangkan bibi sedang menaruh beberapa makanan pada rantang yang akan dibawanya ke Rumah Sakit. Setelah itu, aku membangunkan Bram dan saudara lelaki sepupuku untuk sarapan pagi.
Mereka pun akhirnya sarapan bersama di meja makan sambil sesekali bercerita tentang banyak hal. Terasa keakraban diantara Bram dan saudara sepupuku. Dan itu membuat aku bahagia.
*Ajeng POV* Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman. Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan, kami sampai di Rumah sakit. Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman. Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri. Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini. Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Do
*Bram POV* Setelah keluar dari kamar itu perasaan ku sungguh sangat kacau. Jantung ku masih berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, untuk kedua kali, aku melihat Dina keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk yang melingkari ditubuhnya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu apalagi kami adalah pasangan suami istri. Hanya saja selama ini, komitmen yang sudah kamk ikrarkan menjadi penyebab jantung ku berdetak kencang. Ditambah kejadian tempo hari yang sungguh menyita sebagian pikiranku, tentang rasa bersalah ku pada Dina. Sampai-sampai aku berpikir, apa rasa bersalah ku pada Dina, yang membuat perubahan pada hati dan pikiranku. Sedangkan hasrat yang aku rasakan saat ini, menurut ku, hanyalah dari rasa kasian ku pada diri Dina, yang melampiaskan kebutuhan batinnya dengan caranya sendiri.M "Mas Bram sudah kembali dari kampung halaman Ajeng?" tanya Dina yang tiba-tiba sudah berada di belakang ku.
Beberapa saat mereka kembali pada tempat tidur masing-masing. Disofa itu Bram masih saja tidak bisa memejamkan matanya walaupun dirinya telah berupaya untuk memejamkan matanya tetapi bayangan kemolekan tubuh Dina membuat jantungnya masih saja berdetak kencang. Sedangkan Dina yang berada ditempat tidurnya juga merasakan hal yang sama. Dirinya tidak bisa memejamkan matanya, dirinya tidak menyangka sama sekali Bram melakukan hal ini kepadanya. Dalam sepuluh tahun ini Bram sangat dingin dan selalu menghindari dirinya. Dina sangat terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Bram dan Dina masih merasakan saat-saat bibir Bram melumat bibirnya, karena Bram tidak pernah sekalipun melakukan hal itu padanya selama masa pernikahan mereka. Dina juga masih memikirkan, kira-kira hal apakah yang membuat perubahan drastis pada diri Bram. Ketika Dina masih terus memikirkan hal itu, tiba-tiba Bram telah duduk di pinggir tempat tidurnya dan Dina terkejut den
“ Pak bram...pak bram...,” ucap asisten rumah tangga di rumahnya memanggil bram sambil mengetuk pintu kamar Bram. “ Bu Dina...bu dina...,” ucap asisten rumah tangga mereka lagi sambil mengetuk pintu kamar mereka dan memanggil nama Dina. Setelah merasa tidak ada jawaban dari dalam kamar, asisten rumah tangga itu pun pergi menemui ibunda bram. “Maaf buu...Pak Bram dan Bu Dina belum bangun juga,” ucap asisten rumah tangga itu melaporkan hal yang telah dilihatnya. “Yaa sudah biarkan saja dulu,” ucap ibunda bram sambil berharap dalam hati agar mereka bisa mendapatkan keturunan. Sekitar Jam sebelas mereka pun terbangun dari tidurnya dalam keadaan masih telanjang bulat. Dilihat Bram, Dina masih tertidur disampingnya. Lalu Bram mencium kening Dina dan menutupi seluruh tubuh Dina dengan selimut tebal. Setelah Bram pergi ke kamar mandi dan berpakaian rapih ia pun langsung menemui ibundanya. “Siang bunda...,” sapa Bram pada bunda nya.
Sejak kepergian Bram ke kota lebih dari dua minggu lalu , Ajeng merasakan kesepian. Sebenarnya dia menyesali atas segala keputusan yang telah dia ambil. Padahal waktu itu Bram meminta padanya untuk berpikir sekali lagi untuk kembali bersama Bram ke rumah mungil mereka. Masih terbayang dibenaknya ketika saat bahagia mereka sejak kereta terakhir yang Ajeng tumpangi berhenti di perhentian terakhir di pagi subuh itu. terlihat sekali kalau Ajeng hari ini sedang merindukan Bram suaminya. “Ajeng apa yang sedang dipikirkan nak?” tanya bibiknya membuyarkan lamunan Ajeng. “Ooh...bibik, tidak mikir apa-apa koq bik,” jawab Ajeng. “Nak... apa dirimu ingin bertemu dengan suamimu?” tanya bibiknya lagi. Ajeng terdiam lalu tiba-tiba dilihat oleh bibiknya air mata Ajeng menetes membasahi pipinya. Lalu dalam dekapan bibiknya dirinya menumpahkan segala kegundahan hatinya. Diceritkan pada bibiknya kalau seharusnya Bram sudah mengunjungi dirinya di tanggal kemarin. D
Setelah dirinya masuk ke rumah munggil yang telah ditinggalkan selama hampir tiga bulan serasa hatinya miris melihat keadaan rumah yang kotor dan tidak terawat. Padahal ketika dirinya meninggalkan rumah ini semua masih terlihat rapih dan terawat. Kini Ajeng membuka kamarnya untuk menaruh koper dan tasnya. Dia melihat kamar tidurnya masih rapih tetapi terasa berdebu pada seprainya. Ajeng pun menganti seprei tempat tidur itu serta membuka jendela yang ada dikamar agar sirkulasi udara didalamnya berganti dengan yang baru. Dilihat olehnya jam baru menunjukan hampir pukul empat sore. Karena dirasakan perutnya lapar maka setelah mengganti sprei tempat tidurnya Ajeng beranjak menuju ke dapur dan melihat isi kulkas yang ada disana. Mungkin saja ada makanan yang bisa dimakannya pikir Ajeng. Sesampai di dapur dia membuka kulkas dan melihat isinya. Ternyata disana masih ada beberapa telur, buah-buahan, sosis, nugged dan susu coklat cair. Ajeng teringat karena ketika dia
“Bram....Bram,” ucap bunda memanggil namanya. “Iyaa, Bunda sebentar,” jawab Bram sambil berjalan menuju ruang keluarga. “Bram, ini ada hadiah dari bunda untuk kamu dan Dina untuk pergi ke tempat wisata,” ucap ibundanya sambil menyodorkan satu amplop. Bram membuka amplop yang diberikan bundanya, melihat isi dari amplop tersebut. Ternyata ibundanya memberikan voucher menginap di sebuah hotel berbintang. Berwisata pada sebuah pulau selama lima malam enam hari serta tiket pesawat pulang pergi untuk mereka. Tetapi sebelum Bram bisa mengatakan apapun ibundanya melanjutakan kata-katanya. “Karena kamu menghabiskan sisa cuti akhir tahun mu selama tujuh hari, maka menurut ibunda ini lah saat yang terbaik bagi kamu dan dina untuk bisa berlibur. Apalagi ibunda sudah bisa mengurus diri sendiri,” ucap ibunda menyampaikan keinginannya. Tidak ada perkataaan dari ibundanya yang mampu ia tolak, apalagi saat ini Bram tidak ingin merusak kebahagiaan dari keluarga
Setelah taxi yang membawa Ajeng sampai di rumah, Ia langsung membuka pintu pagar dan pintu rumahnya untuk menuju kamarnya. Disana ia menangis sekeras-kerasnya, setelah menahan perasaaan pedihnya selama dalam perjalan pulang. Ajeng melempar semua bantal dan barang yang ada di tempat tidurnya sambil menangis histeris. Ingin rasanya hari itu ia memecahkan seluruh kaca yang ada di rumah itu dan membakar seluruh photo dirinya dan Bram yang terpajang di kamarnya, tapi sampai saat ini Ajeng masih bisa menahan dirinya. Karena ia adalah seorang pribadi yang kuat menahan segala kemarahan. Selama ini Ajeng tidak pernah sekalipun merasakan amarah yang sedemikan dasyatnya. Setelah kurang lebih satu jam, Ajeng pun sudah semakin bisa mengontrol emosinya. Ia beranjak ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dan mengganti pakaian. Sejenak ia berpikir tentang bayi yang telah di kandungnya. Ia lalu memperingati dirinya untuk selalu kuat dan bertahan untuk bayi yang sedang dikandungnya. Sam