*AJENG POV*
Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku.
Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.
“Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya.
“Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur.
“Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*Ajeng POV* Peluit panjang membangunkan aku dari lelapku. Seluruh penumpang kereta mulai terbangun dan mengemasi barang barang bawaan mereka. Begitupun dengan diriku. Aku turuni tangga terakhir kereta itu dengan berkata dalam hati, 'Harus sampai kapan aku melakukan perjalanan ini?' Tarikan nafasku membuat kesesakan di dada ini. Aku menarik koper dan menjinjing sebuah tas menyusuri peron-peron yang terasa begitu dingin kurasa, dibandingkan sebulan yang lalu bahkan sepuluh tahun yang lalu. Ada sebersit keraguan dan kebimbangan dalam hatiku. Tapi aku terus menelusuri peron itu, hingga sampai ke bagian pemeriksaan akhir tiket. Aku turuni tangga demi tangga dengan begitu banyak keraguan, atas keputusan yang akan aku ambil. Sampai di tangga akhir, aku melihat sosok yang sudah aku kenal selama 15 tahun lalu, telah menunggu dengan senyumnya yang khas. "Sayang bagaimana perjalanan mu?" Semua baik-baik saja kan
*Bram POV* Tepat pukul tujuh Bram sampai ke rumah. Setelah memasukan mobilnya pada garasi, aku langsung ke kamar dan mendapati istri pilihan ibunda sedang bersolek. Dina adalah istri pilihan bunda, perjanjian perjodohan antara bundaku dengan tante Ririn, mama dari Dina, mengharuskan aku menikahi gadis yang tidak aku cintai. Walaupun dia seorang gadis yang cantik, sexy dan berkulit putih mulus. Tetapi rasa cintaku pada Ajeng, tidak memberikan tepat untuknya. Dina juga seorang gadis yang sangat terbuka dengan segala hal. Dia tidak pernah menutupi apapun. Hanya saja, kasih sayangnya, pada tante Ririn membuat ia mengikuti apa yang menjadi ketentuan atas diri dan masa lalunya, ketika ia menempuh pendidikan di negeri australia. Aku ingat, pada malam pertama, Dina bercerita tentang masa lalunya. Karena hal itu, aku katakan padanya, kalau aku tidak akan menyentuhnya. Aku juga bercerita padanya, tentang Ajeng. Dan Dina menerima hal itu,
*BRAM POV* Keesokan harinya, aku lihat bunda telah siuman. Dan aku melihat kondisi bunda dari jendela yang ada di ruang tamu pasien. Karena saat ini aku berada di ruang tamu, yang ada di ruang perawatan bunda. Untuk saat ini, aku belum berani untuk bertemu bunda. Aku tidak ingin bunda mengingat kejadian kemarin. Oleh karena itu aku tidak ingin mengganggu ketenangan bunda. Hanya dina yang menunggu bunda di dalam kamar perawatannya. Dan saat ini, aku melihat dina sedang menyuapi bunda. Tetapi aku sama sekali tidak bisa mendengarkan pembicaraan diantara mereka. Aku masih menunggu di ruang tamu, ketika seorang perawat memasuki ruang perawatan, untuk memberikan obat yang harus di minum oleh bunda. Setelah itu, aku lihat bunda meminum obat yan diberikan obat pada perawat tadi. Lalu Dina terlihat, berpamitan pada bunda dan meminta bunda untuk beristirahat. Dina akhirnya keluar dari kamar bunda. Dan melihat aku yang sedang duduk di se
*Bram POV* Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dimulai dengan membersihkan bagian bulu-bulu halus pada wajahku, dengan foam wajah. Lalu aku membersihkan seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mulai menyiram seluruh bagian tubuhku. Terasa sangat segar sekali setelah beraktifitas di pagi ini. Ketika hampir selesai aku meminta Ajeng untuk mengambilkan handuk, yang memang dengan sengaja tidak aku bawa, karena aku ingin mengajaknya mandi bersama. "Ajeng sayang, tolong ambilkan aku handuk, Aku lupa membawanya." Terdengar sayup-sayup Ajeng menjawab panggilanku padanya" Yaa Mas." Hanya beberapa menit kemudian, Ajeng telah membawakan handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu dengan sengaja aku menyiram tubuhnya dengan shower. "Aduh...mas ini, basah bajuku, dan lihat handuknya juga basah," ujarnya dengan kedua bola mata yang mendelik kearahku. Aku lalu memeluk dan mencium dirinya yang telah basah kuyup. Melihat seranga
*Ajeng POV* Sekitar jam lima sore aku baru terbangun dari tidur siang. Kalau saja perutku tidak berteriak minta diisi mungkin saja, aku masih bermalas-malasan di tempat tidur. Aku raih ponselku yang berada di dekat meja kecil samping tempat tidurku. 'Hmmmm, kenapa mas Bram tidak menghubungi ku yaaa?' gumamku dalam hati. Aku membuka panggilan masuk, karena aku pikir, bisa jadi mas Bram menghubungiku, karena aku tertidur, bisa jadi aku tidak mendengar panggilannya. Tetapi, setelah aku cek, ternyata mas Bram tidak menghubungiku. Kemudian aku menghubungi Bram, tetapi sudah sampai beberapa kali, tidak satu pun panggilanku di jawab oleh Bram, dan itu membuat diriku kesal dibuatnya. 'Koq bisa sih....mas Bram tidak menjawab panggilanku, hmmmm lagi dimana dia sekarang?' gumamku dalam hati. Aku lalu beranjak dari tempat tidur menuju kulkas, untuk melihat, makanan atau camilan apa yang masih tersisa. Karena aku sudah sangat lapar sekali. Te
*Ajeng POV* Suara dering ponselku, terdengar keras ketika waktu menunjukan pukul lima pagi. Terhentak Aku terbangun, sekilas aku melihat Bram masih tertidur pulas ketika aku mengambil ponsel yang berada persis disamping meja sisi kanan tubuh mas Bram yang masih tertidur nyenyak. "Hallo Ajeng, ini bibi," terdengar suara bibiku ada di sambungan telpon dengan suara paraunya menangis. Ia memberitahukan kalau pamanku sakit, di kampung halaman. Bibi meminta aku untuk bisa pulang ke kampung halaman karena pamanku sedang sakit parah. "Baik bi, Ajeng akan segera pulang dengan mas Bram," Jawabku menahan isak tanggisku yang tertahan. Setelah aku menutup pembicaraanku dengan bibi lewat Sambungan telepon. Tanggisku pun meledak, hingga membuat Bram terbangun. Dalam keadaan bingung dan kaget Bram menghampiri diriku. "Ajeng, kenapa kamu menangis?" tanya Bram menghampiriku dan memeluk erat tubuhku.Bram sengaja membiarkan aku men