*BRAM POV*
Keesokan harinya, aku lihat bunda telah siuman. Dan aku melihat kondisi bunda dari jendela yang ada di ruang tamu pasien. Karena saat ini aku berada di ruang tamu, yang ada di ruang perawatan bunda.
Untuk saat ini, aku belum berani untuk bertemu bunda. Aku tidak ingin bunda mengingat kejadian kemarin. Oleh karena itu aku tidak ingin mengganggu ketenangan bunda.
Hanya dina yang menunggu bunda di dalam kamar perawatannya. Dan saat ini, aku melihat dina sedang menyuapi bunda. Tetapi aku sama sekali tidak bisa mendengarkan pembicaraan diantara mereka.
Aku masih menunggu di ruang tamu, ketika seorang perawat memasuki ruang perawatan, untuk memberikan obat yang harus di minum oleh bunda. Setelah itu, aku lihat bunda meminum obat yan diberikan obat pada perawat tadi. Lalu Dina terlihat, berpamitan pada bunda dan meminta bunda untuk beristirahat.
Dina akhirnya keluar dari kamar bunda. Dan melihat aku yang sedang duduk di sebuah sofa panjang ruang tamu. Ia pun langsung duduk di sebelahku.
"Mas Bram sudah sarapan?" tanya Dina padaku.
Aku hanya menggelengkan kepala. Karena memang, pagi-pagi buta aku keluar dari rumah Ajeng untuk mengetahui kondisi bunda di Rumah Sakit ini. Jadi aku tidak sempat untuk membeli sarapan pagi.
Lalu Dina mengajak aku untuk mencari sarapan pagi di kantin Rumah Sakit. Kami menyusuri lorong-lorong panjang yang ada di Rumah Sakit ini, untuk sampai ke kantin. Sesampai di kantin, kami duduk berhadapan dan memesan sarapan pagi.
Beberapa menit kemudian, sarapan pagi yang kami pesan pun telah disajikan. Kami pun menikmati sarapan pagi ini, tanpa berkata sepatah kata pun. Selesai sarapan pagi, kami memutuskan untuk duduk di taman yang ada di Rumah Sakit untuk membicarakan kondisi bunda.
Kami sampai di taman, dan duduk disebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jadi. Aku lihat sebuah taman yang rapi dengan bunga-bunga indah dan taman yang terawat.
Seketika aku jadi teringat akan Ajeng, kekasih jiwaku. Kemarin aku hanya memberitahu Ajeng, kalau bunda kembali sakit dan harus dirawat. Tetapi aku tidak bercerita penyebab dari sakitnya bunda. Karena, aku tidak ingin Ajeng merasa bersalah atas kejadian antara bunda dan aku.
Aku takut terjadi sesuatu dengan buah cinta kami, kalau ajeng tahu penyebabnya. Hal itu akan menyita pikiran Ajeng, dan aku tidak ingin Ajeng stress memikirkan hal ini. Yang aku tahu, orang dengan kehamilan semester pertama atau hamil muda, hatinya harus terus bahagia, tanpa terbebani atas hal-hal yang menyita pikirannya. Dan kebanyakan beberapa wanita yang hamil muda lebih sensitif dan lebih mudah menangis.
Dan aku sangat mengerti pribadi Ajeng, yang selalu berempati dengan orang di sekitarnya, hingga terkadang ia jarang sekali untuk memikirkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
"Mas Bram...," panggilan Dina membuyarkan pikiranku tentang Ajeng.
"Yaa...Din, katakan padaku bagaimana dengan kondisi bunda saat ini?" tanyaku langsung ketika tersadar dari lamunan.
"Untuk saat ini, bunda harus lebih banyak ber stirahat, dan disarankan untuk tidak membuat emosi meledak, karena hal itu akan menyebabkan bunda terserang stroke kembali."
Mendengar jawaban Dina atas kondisi bunda saat ini, lalu aku pun bertanya pada Dina," Jadi sekarang harus bagaimana?"
"Aku tidak bisa lagi membiarkan Ajeng berkorban demi keluargaku.’’
Mendengar kata-kataku yang meluncur seketika dengan nada nada sedikit tinggi. Dina hanya terdiam, tertunduk. Lalu Dina berkata," Mas Bram, bicarakanlah hal ini dengan Ajeng, Aku yakin Ajeng akan mengerti dengan kondisi bunda saat ini."
Seketika aku hanya bisa terdiam dan melamun karena aku tidak tahu, apa yang bisa aku sampaikan pada Ajeng. Kemudian aku balik bertanya pada Dina," Dan kapan rencananya, kamu akan mengatakan yang sesungguh yang sebenarnya?"
Dina menoleh ke arahku dan dia hanya mengangkat bahunya. Tetapi ia menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang menohok hatiku.
"Mas, aku tidak mungkin mengatakan hal yang membuat bunda sekarat, aku menyanyangi bunda melebihi rasa sayangku pada mama," ucap Dina dengan pandangan tajamnya kearahku.
Kami berdua dalam dilema yang sangat berat untuk bisa memutuskan apa yang harus kami dahulukan dan yang harus kami kesampingkan. Aku juga tidak bisa mengungkapkan rahasia sesungguhnya yang terjadi pada Dina.
Dulu ketika malam pertama kami, aku telah berjanji pada Dina untuk tidak membuka rahasia yang telah ia ceritakan padaku. Kecuali ia sendiri yang menceritakannya. Mungkin kelak kami akan menceritakan semua. Kami akan menunggu waktu yang baik dan tepat.
Kini aku menyadari, ternyata sebuah kebohongan akan menjadi kebohongan dan akan selalu di ikuti dengan kebohingan lainnya. Dan itu sangat kami sesali. Karena jalan di kedepan dari hidup kami, tidak ada satupun yang tahu. Hingga akhirnya kebohongan demi kebohongan kami lakukan selama sepuluh tahun.
Dulu kami berpikir kebohongan ini, sebagai rasa cinta kepada kedua orangtua kami. Dan menggangap kebohongan ini, untuk kebaikan semua pihak. Ternyata kebohongan adalah kebohongan. Tidak ada kebohongan yang akan berakhir dengan kebaikan.
Sekalipun beberapa orang menyebutnya, sebagai kebohongan putih, karena dilakukan untuk sebuah kebaikan. Dan kini akhirnya, aku menyesali atas segala kebohongan yang aku lakukan seoanjang hidupku.
Aku berpikir, ini adalah sebuah tindakan pengecut bagi kami, yang tidak bisa menerima kenyataan, dan tidak bisa mengambil keputusan dengan bijak, hingga kami terseret dalam masalah yang demikian besar.
Kini kami harus bisa mengurai masalah besar yang telah seperti benang kusut. Kami tidak tahu awal mana yang harus aku perbaiki dari kekusutan masalah ini. Yang pasti aku sadari, korban yang sesungguhnya adalah hanya seorang Ajeng.
Dialah orang yang sangat menderita dan menjadi korban atas segala kebohongan kami. Kalau saja waktu itu, aku bisa mengambil langkah tegas atas segala yang telah aku ketahui, tentang rahasia masa lalu Dina. Mungkin kini, aku tidak akan terjebak dalam dilema ini.
Sakit sekali rasanya kepalaku saat ini, memikirkan janjiku pada Ajeng yng tidak pernah aku tepati. terasa sesak sudah dadaku. Hingga aku menghela bapas berulang kali, agar penat dan beban berat ini dapat aku atasi.
"Mas Bram, apa kamu saki?" Dins bertanya padaku, karena dilihatnya aku memegang kepala dan menghela napas panjang berukang kali.
"Tdak Din, mungkin aku kurang istirahat saja," Jawabku sambil melepas tangan Dina yang memegangi tanganku.
Karena untuk sesaat, mataku seperti berkunang-kunang ketiks memikirkan beban yang terasa berat. Hingga Dina pun mengetahui perubahan wajah dan diriku yang hampir terjembab dari kursi ini.
Selama ini aku selalu menghindari Dina. Aku tidak ingin ia menyentuh diriku. Baik itu tanganku apalagi yang lain. Karena aku tidak ingin mempunyai rasa apapun. Aku sebagai lelaki normal tidak ingin memanfaatkanya ketika aku jauh dari Ajeng.
Aku berusaha sedemikian keras, karena walau bagaimanapun, aku adalah lelaki yang mempunyai hormon lebih tinggi dari wanita. Dimana segala sesuatu hal bisa saja terjadi ketika kita tidak bisa mengontrol diri dan emosi kita.
Apalagi Dina seorang wanita yang cantik dengan kulit bersih, sexy dan penampilan dirinya yang energik dan terbuka pemikirannya membuat aku selalu menghindarinya.
Aku tidak berani membayangkan apapun tentang dirinya. Walaupun aku tahu sebagai lelaki, antara Dina dan Ajeng sangat berbeda jauh dari pisik mereka. Tetapi ketulusan dan cinta kasih Ajeng padaku selama ini, membuat aku bisa mempertahankan kelelakianku dihadapan Dina.
Dina sempat terhentak atas tindakanku yang melepaskan tangannya dari lenganku ketika, ia melihatku hampir terjatuh. Sempat pula aku dengar Dina berkata dengan nada tidak senang, karena aku menolak tangannya.
"Menurut mu, aku salah...jika memegang tangan mu ketika aku lihat kamu hampir jatuh?" Seloroh dina dengan pertanyaan nya.
"Tidak, bukan begitu Din," jawabku cepat dan singkat.
Akhirnya kamipun membisu satu sama lain. Hampir satu jam, kami hanya bemain dengan ponsel kami, dan tiba-tiba ponselku berbunyi. Dan kulihat ada panggilan dari Ajeng.
"Yaaa sayang, sekarang mas ke rumah."
Setelah itu, aku pamit pada Dina, dan aku meminta ia mengabari aku jika ada sesuatu hal dengan bunda. Dina pun hanya menganggukan kepalanya, dan membiarkan aku beranjak dari kursi panjang di taman itu.
Aku lihat sebersit wajah Dina yang terlihat kecewa. Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Karena saat ini bagi diriku Ajeng adalah segalanya. Aku berjalan menyusuri lorong dan beberapa bangsal Rumah Sakit dengan sedikit berlari-lari kecil menuju parkir mobil.
Akhirnya akupun sampai diparkir dengan napas sedikit terengah-engah. 'hmmm lumayan jauh juga' ujar batinku.
Dalam perjalanan menuju rumah Ajeng, aku sengaja mampir ke toko roti, untuk membelikan beberapa roti kesukaan Ajeng. coklat adalah kesukaannya. Dan aku membelinya beberapa untuk di rumah.
Akupun kembali ke parkir mobil dan mulai menyusuri jalan menuju ke rumah mungil kami. Dan kulihat disekitar pinggir jalan ada beberapa lapak atau kios yang menjual beraneka ragam buah-buahan. Lalu akupun membeli beragam jenis buah-buahan yang disukai oleh Ajeng.
Saat ini, aku hanya berpikir untuk bisa memberikan hal yang terbaik untuk Ajeng dan bisa menjaga diri dan bayinya yang ada dalam masa kehamilan mudanya. Beragam buah-buahan telah aku beli seperti pir hijau, semangka, alpukat dan jeruk tentunya.
Setelah membayar, aku pun beranjak kembali ke mobil dan mulai meneruskan perjalanan ke rumah. Perlu sekitar tigapuluh menit dari penjual buah itu untuk sampai ke rumah mungil kami.
Ketika mobilku baru sampai pagar, Ajeng telah membukakan pintu gerbang dan menyambutku dengan senyum ayunya. Hal itulah yang tidak bisa aku tinggalkan dalam benakku walaupun sejenak.
Aku lihat, dia memakai daster warna hijau muda dengan satu tali dan agak terlihat tipis. Jadi ketika terkena matahari, aku dapat melihat lengkuk tubuhnya.
Aku tersenyum-senyum sendiri dalam mobil ketika memarkir mobilku. Setelah aku membuka mobil dan keluar dari sana, aku sudah disambut dengan ciuman hangatnya yang mendarat di pipiku. Kami beranjak masuk kerumah. Dan kamipun sampai kedapur.
"Kamu sudah sarapan sayang?" Tanyaku pada Ajeng
"Sudah mas, tadi aku buat telur dadar, karenakan aku tidak tahu, dimana harus membeli sesuatu disini," jawab Ajeng.
Dia membuka bungkusan yang aku bawa. Dan mengambil roti kesukaannya.
"Makasih mas Bram,’’ kata ajeng setelah dia memasukan sepotong roti pada mulutnya.
Aku bahagia melihat dirinya saat ini berada disisiku. Karena sejak kejadian beberapa hari lalu, tidak ada alasan lagi bagi Ajeng untuk kembali kekampung. Karena memang tempat dia seharusnya disini. Menemani kesepianku ketika dia berada jauh disana.
"Gimana mas, sudah bicara dengan ibunda?" tanya Ajeng disela roti terakhir yang dia makan.
"Ya, nanti aku ceritakan, sekarang minum dulu susunya yaa sayang," ucapkan sambil berpikir cara berbicara pada ajeng tentang kondisi bunda pasca pingsan kemarin.
Aku pikir, seharusnya tidak aku sampaikan dahulu perihal kejadian yang sesungguhnya. Karena aku tidak ingin terjadi dengan kandungannya di trisemester pertama. Yang diperlukan ajeng saat ini hanyalah rasa nyaman, bahagia dan ketenangan pikiran.
"Ayoo mas, ceritakan tentang kondisi bunda saat ini," ujar Ajeng dengan penasaran.
"Ajeng, aku belum menyampaikan apapun pada bunda, karena kondisi bunda belum stabil, penyakit gula bunda kambuh dan masih terus dalam pantauan Dokter di Rumah Sakit, kita tunggu sampai kondisi bunda stabil yaa," ucapku, seketika meluncur dari mulutku.
"Bagiamana kondisi terakhir bunda sekarang ini mas?" Terpancar kecemasan dalam wajah Ajeng, ketika bertanya tentang perihal ibunda.
"Tadi pagi aku lihat di Rumah Sakit, kondisi bunda terlihat sudah agak membaik," jawabku untuk menenangkan hatinyaSyukurlah mas," jawab Ajeng dengan wajah terlihat agak lebih tenang.
Setelah kami selesai menceritakan perihal tentang bunda, aku beranjak pergi ke kebun sedangkan Ajeng merapikan dapur dan menaruh beberapa roti dan buah-buahan yang telah aku beli.
Aku selalu merapikan tanaman yang dulu ditanam Ajeng ketika kami, pertama kali menempati rumah mungil ini. Ajeng yang memilih beberapa bunga dan pohon-pohon yang harus dibeli.
Begitupun dengan penempatan atas pohon-pohon besar ataupun beberapa tanaman kecil yang kami taruh di dalam pot. Seperti bunga melati dan bunga sedap malam, ditanam persis dibawah jendela kamar kami.
Kami sangat menyukai keharumannya sehingga kami tidak memerlukan aromatic untuk kamar kami. Beberapa pohon besar yang ditanam, selalu aku potong daun-daunnya agar terlihat rapih dan tertata apik.
Setelah semua pekerjaan rumah bagian kebun selesai, aku mulai membersihkan kolam kecil yang waktu itu aku buat. Waktu itu aku berpikir, hanya untuk mempermanis kebun itu ditambah suara gemericik air yang aku aliri dikolam itu, membuat rumah mungil kami lebih nyaman untuk kami tinggali.
Dan saat ini aku sangat berbahagia, karena rumah mungil ini yang biasanya sepi ketika aku membersihkannya sekarang sudah tidak lagi kosong dan sunyi. Ada suara Ajeng yang menemani aku berbicara.
Setelah pekerjaan selesai, aku beranjak ke rumah. Dan mendapati Ajeng sedang mempersiapkan makan siang seadanya. Aku melihat dia memasak nasi goreng di tambah dengan telur dan sosis.
Dia melihat aku menghampirinya dan ia tersenyum manis, sambil memberikan isyarat kalau masakannya hampir selesai. Dengan mimik, ia memberitahu aku dengan jari tangannya agar aku bersabar dan tunggu.
Aku hanya tersenyum, dan menganggukkan kepala. Beberapa menit kemudian, Ajeng menyajikan makanan di meja makan. Diavpun menyiapkan teh manis. Lalu kami pun makan siang bersama. Sungguh kebersamaan yang indah dan tidak pernah aku impikan selama ini.
Sesaat selesai makan, aku membantu Ajeng untuk merapikan meja makan, setelah itu aku memutuskan untuk mandi. Karena sewaktu di Rumah Sakit tadi pagi, aku belum mandi.
Aku lihat, Ajeng mencuci beberapa piring yang tadi kami pakai untuk makan siang kami ketika aku berlalu dari dapur menuju menuju kamar mandi. Dan dengan sengaja aku tidak membawa handuk. Karena aku ingin, nanti Ajeng yang akan mengambilkan handuk untukku ke kamar mandi.
Dengan demikian aku akan bisa mengajaknya mandi bersama. pikiran nakalku, membawa aku ke kamar mandi dengan senyum dan hasrat yang akan aku habiskan bersama Ajeng.
*Bram POV* Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dimulai dengan membersihkan bagian bulu-bulu halus pada wajahku, dengan foam wajah. Lalu aku membersihkan seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mulai menyiram seluruh bagian tubuhku. Terasa sangat segar sekali setelah beraktifitas di pagi ini. Ketika hampir selesai aku meminta Ajeng untuk mengambilkan handuk, yang memang dengan sengaja tidak aku bawa, karena aku ingin mengajaknya mandi bersama. "Ajeng sayang, tolong ambilkan aku handuk, Aku lupa membawanya." Terdengar sayup-sayup Ajeng menjawab panggilanku padanya" Yaa Mas." Hanya beberapa menit kemudian, Ajeng telah membawakan handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu dengan sengaja aku menyiram tubuhnya dengan shower. "Aduh...mas ini, basah bajuku, dan lihat handuknya juga basah," ujarnya dengan kedua bola mata yang mendelik kearahku. Aku lalu memeluk dan mencium dirinya yang telah basah kuyup. Melihat seranga
*Ajeng POV* Sekitar jam lima sore aku baru terbangun dari tidur siang. Kalau saja perutku tidak berteriak minta diisi mungkin saja, aku masih bermalas-malasan di tempat tidur. Aku raih ponselku yang berada di dekat meja kecil samping tempat tidurku. 'Hmmmm, kenapa mas Bram tidak menghubungi ku yaaa?' gumamku dalam hati. Aku membuka panggilan masuk, karena aku pikir, bisa jadi mas Bram menghubungiku, karena aku tertidur, bisa jadi aku tidak mendengar panggilannya. Tetapi, setelah aku cek, ternyata mas Bram tidak menghubungiku. Kemudian aku menghubungi Bram, tetapi sudah sampai beberapa kali, tidak satu pun panggilanku di jawab oleh Bram, dan itu membuat diriku kesal dibuatnya. 'Koq bisa sih....mas Bram tidak menjawab panggilanku, hmmmm lagi dimana dia sekarang?' gumamku dalam hati. Aku lalu beranjak dari tempat tidur menuju kulkas, untuk melihat, makanan atau camilan apa yang masih tersisa. Karena aku sudah sangat lapar sekali. Te
*Ajeng POV* Suara dering ponselku, terdengar keras ketika waktu menunjukan pukul lima pagi. Terhentak Aku terbangun, sekilas aku melihat Bram masih tertidur pulas ketika aku mengambil ponsel yang berada persis disamping meja sisi kanan tubuh mas Bram yang masih tertidur nyenyak. "Hallo Ajeng, ini bibi," terdengar suara bibiku ada di sambungan telpon dengan suara paraunya menangis. Ia memberitahukan kalau pamanku sakit, di kampung halaman. Bibi meminta aku untuk bisa pulang ke kampung halaman karena pamanku sedang sakit parah. "Baik bi, Ajeng akan segera pulang dengan mas Bram," Jawabku menahan isak tanggisku yang tertahan. Setelah aku menutup pembicaraanku dengan bibi lewat Sambungan telepon. Tanggisku pun meledak, hingga membuat Bram terbangun. Dalam keadaan bingung dan kaget Bram menghampiri diriku. "Ajeng, kenapa kamu menangis?" tanya Bram menghampiriku dan memeluk erat tubuhku.Bram sengaja membiarkan aku men
*Ajeng POV* Bram sampai di rumah tepat pukul sembilan malam setelah dia pamit pada bundanya di Rumah sakit serta pada Dina di rumah ibunda. Setelah berkemas membawa masing-masing satu koper, mereka pun memesan taxi untuk membawa mereka pergi Ke Bandara. Aku merasa gelisah, ketika menuju ke Bandara. Aku sangat kuatir dengan kondisi kesehatan paman yang telah menjadi Ayah bagi diriku. Ketika aku berpamitan kepada paman satu bulan lalu, kondisi paman baik-baik saja, tidak terlihat ada suatu penyakti yang diderita oleh paman. Tak terasa bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Sesekali aku menyeka air mata yang jatuh membasahi pipiku. "Ajeng sayang, sudah tenangkan dirimu," Bram mencoba menghiburku, dengan mengenggam tanganku, lalu merebahkan kepalaku pada bahu bram. "Aku sangat takut terjadi sesuatu hal dengan paman mas,"sahutku dengan isak tanggis yang tertahan. "Semua akan baik-baik saja, saat ini kita hanya bisa mendoaka
*Ajeng POV* Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman. Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan, kami sampai di Rumah sakit. Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman. Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri. Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini. Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Do
*Bram POV* Setelah keluar dari kamar itu perasaan ku sungguh sangat kacau. Jantung ku masih berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, untuk kedua kali, aku melihat Dina keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk yang melingkari ditubuhnya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu apalagi kami adalah pasangan suami istri. Hanya saja selama ini, komitmen yang sudah kamk ikrarkan menjadi penyebab jantung ku berdetak kencang. Ditambah kejadian tempo hari yang sungguh menyita sebagian pikiranku, tentang rasa bersalah ku pada Dina. Sampai-sampai aku berpikir, apa rasa bersalah ku pada Dina, yang membuat perubahan pada hati dan pikiranku. Sedangkan hasrat yang aku rasakan saat ini, menurut ku, hanyalah dari rasa kasian ku pada diri Dina, yang melampiaskan kebutuhan batinnya dengan caranya sendiri.M "Mas Bram sudah kembali dari kampung halaman Ajeng?" tanya Dina yang tiba-tiba sudah berada di belakang ku.
Beberapa saat mereka kembali pada tempat tidur masing-masing. Disofa itu Bram masih saja tidak bisa memejamkan matanya walaupun dirinya telah berupaya untuk memejamkan matanya tetapi bayangan kemolekan tubuh Dina membuat jantungnya masih saja berdetak kencang. Sedangkan Dina yang berada ditempat tidurnya juga merasakan hal yang sama. Dirinya tidak bisa memejamkan matanya, dirinya tidak menyangka sama sekali Bram melakukan hal ini kepadanya. Dalam sepuluh tahun ini Bram sangat dingin dan selalu menghindari dirinya. Dina sangat terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Bram dan Dina masih merasakan saat-saat bibir Bram melumat bibirnya, karena Bram tidak pernah sekalipun melakukan hal itu padanya selama masa pernikahan mereka. Dina juga masih memikirkan, kira-kira hal apakah yang membuat perubahan drastis pada diri Bram. Ketika Dina masih terus memikirkan hal itu, tiba-tiba Bram telah duduk di pinggir tempat tidurnya dan Dina terkejut den
“ Pak bram...pak bram...,” ucap asisten rumah tangga di rumahnya memanggil bram sambil mengetuk pintu kamar Bram. “ Bu Dina...bu dina...,” ucap asisten rumah tangga mereka lagi sambil mengetuk pintu kamar mereka dan memanggil nama Dina. Setelah merasa tidak ada jawaban dari dalam kamar, asisten rumah tangga itu pun pergi menemui ibunda bram. “Maaf buu...Pak Bram dan Bu Dina belum bangun juga,” ucap asisten rumah tangga itu melaporkan hal yang telah dilihatnya. “Yaa sudah biarkan saja dulu,” ucap ibunda bram sambil berharap dalam hati agar mereka bisa mendapatkan keturunan. Sekitar Jam sebelas mereka pun terbangun dari tidurnya dalam keadaan masih telanjang bulat. Dilihat Bram, Dina masih tertidur disampingnya. Lalu Bram mencium kening Dina dan menutupi seluruh tubuh Dina dengan selimut tebal. Setelah Bram pergi ke kamar mandi dan berpakaian rapih ia pun langsung menemui ibundanya. “Siang bunda...,” sapa Bram pada bunda nya.