Share

KEDATANGAN IBU

"Ma, ini pakaian siapa banyak banget. Mama jualan?" tanya Mas Pras saat mendapati dua tumpuk daster di keranjang baju. Padahal sudah kusembunyikan, tapi dia tetap tahu.

"Punya aku Pa, sebagian dikasih Teh Lina. Sebagian dikirim dari Ibu ...."

"Alhamdulillah, berarti tahun ini nggak usah beli daster ya, Ma? Bisa dialihkan ke yang lain kan?" celotehnya kegirangan, tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Ya ampun Pa, udah beli baju sama daster setahun sekali, masa mau dihapus juga. Berarti lebaran ini, ya aku beli gamis dua dong, Pa!" gerutuku sebal.

Kesal sekali dengan sifatnya yang terlalu hitung-hitungan itu. Andai saja dia tahu, siapa yang memberi daster baru itu, apa dia akan sadar, kalau aku lebih berharga di mata lelaki lain?

Kutinggalkan Mas Pras ke dalam kamar. Dia tahu, marahku adalah diam. Jika diganggu akan semakin lama aku mendiaminya. Makanya, dia takkan berani bicara lagi.

Kenapa akhir-akhir ini aku selalu kesal dengan sikap suamiku?

Padahal, dulu aku tak pernah masalah, selama dia tidak mengkhianatiku. Apakah karena sekarang ini ada Aa Hadi sebagai pembandingnya?

***

Sudah tiga hari ini, aku tidak bicara dengan Mas Pras. Aku masih terus kesal dengan ucapannya soal daster. 

Menurutku, Mas Pras seperti berat sekali bila membeli sesuatu untuk kebutuhanku. Seperti yang kubeli adalah beban untuknya.

Seandainya dia mengerti bahwa tugas suami adalah mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Itu artinya, baju yang kupakai juga menjadi tanggung jawabnya.

Lain hal jika dia tidak memiliki uang sama sekali. Dia terlalu hemat, karena terobsesi memiliki rumah sendiri. Entah berapa tabungannya sekarang, aku juga tak pernah tahu.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumusalam ...."

Suara yang sangat kukenal berasal dari luar rumah. Tapi ... bukankah itu suara Ibu? Bagaimana bisa Ibu kesini tanpa mengabari lebih dulu?

Ah iya, sejak kemarin aku sengaja tidak mengaktifkan handphone karena takut Aa Hadi meneleponku saat sedang bersama Mas Pras. Karena dua hari ini, dia sedang off.

"Ibu? Ibu sama siapa?" tanyaku yang masih terkejut. Mataku meluas mencari tahu, apakah Bapak atau adikku ikut serta bersama Ibu.

"Ibu sendiri Teh, tadi minta dijemput sama Pras di terminal!"

"Ibu enggak ngabarin Teteh?" 

"Hape Teteh yang nggak aktif!"

"Ada apa atuh, Bu?"

"Ya Ibu cuma pengen tahu kontrakan kamu yang baru. Lagipula, enggak ada alasan seorang ibu kalau kangen sama anaknya ..., " kata Ibu sedikit kesal. Apa aku kentara sekali, kalau tidak suka melihat kedatangan Ibu?

"Iya Bu maaf, Teteh kaget. Ibu jauh-jauh dari Sukabumi ke sini sendirian. Ya udah atuh ibu masuk," kataku mempersilahkan.

Kuraih tas ransel Ibu yang ternyata berat itu. Satu hal yang membuatku menolak kedatangan Ibu, karena beliau mengenal Aa Hadi dan juga sangat dekat dengannya.

Bagaimana bisa aku menjelaskan sama Ibu dan mencegah Ibu mengatakan hal yang macam-macam tentang Aa Hadi kalau sampai mereka bertemu? Sementara hari ini Mas Pras sedang off.

"Bu, jangan keluar rumah ya Bu!" pintaku dengan suara bergetar. Jujur aku takut sekali saat ini.

"Kenapa, Teh?"

"Ibu di dalam saja, kan baru sampai. Jani bikinin teh manis dulu ya Bu ...."

"Assalamualaikum, Neeeeng!"

Ya Allah, itu kan suara Teh Lina? Cobaan apa lagi ini?

Jangan sampai suaminya ikut ke sini juga!

"Waalaikumusalam ...," jawabku sambil berlari ke arah pintu. Aku tak ingin Ibu bertemu dengan Teh Lina, sebelum aku menceritakan semuannya.

"Neng, lagi ada tamu ya? Ini Teteh bikin bakwan jagung pakai udang, banyak. Nih Teteh duain sama kamu!" Teh Lina menyodorkan sepiring bakwan, lengkap dengan sambal kacang.

"Aduh Teh, Jani kebagian mulu ini, kan jadi enak Teh?" kataku sedikit mencairkan ketegangan pada diri sendiri.

Ibu lalu muncul dari dalam kamar kedua yang biasa kujadikan tempat menyimpan pakaian. Mau enggak mau aku harus kenalin Teh Lina ke Ibu.

"Bu, ini Teh Lina yang tinggal di sebelah rumah. Teh, ini Ibu Jani."

"Ibu mirip sekali ya, sama Jani. Oya, Ibu lama tinggal di sini?"

Dalam hati aku harap-harap cemas. Jangan sampai Ibu lama di sini, bahaya!

"Mungkin seminggu Neng," jawab Ibu.

" Mampir atuh Bu kerumah Lina, jangan sungkan! Lina senang sekarang ada Jani di sini, seperti punya adik!"

Glekk

Kembali aku terhenyak mendengar ucapan Teh Lina. Ya Allah ... jahat sekali aku ini. Kenapa harus ada masa lalu di antara hubungan baikku dengan Teh Lina?

"Teh, di kamar tadi ada daster baru banyak banget. Teteh jualan?"

Glekk

Kenapa juga aku harus lupa pindahin baju-baju itu?

Semenjak tinggal di sini, jantungku seperti saat naik roller coaster, deg-degan terus.

"Lho, bukannya Ibu yang kirim?" tanya Teh Lina penasaran.

Mas Pras yang ada di kamar, ikut keluar setelah mendengar Ibu bertanya begitu.

Ya Allah, aku harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status