Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
"Ma, bulan depan, kita harus pindah rumah ke Bogor. Papa dipindahin tugas ke minimarket cabang di sana!" beritahu Mas Pras, suamiku, saat kami sedang menikmati makan malam."Pindah lagi, Pa?" tanyaku dengan sedikit kesal. "Baru mulai nyaman tinggal di sini!"Aku merengut. Ini adalah kali kedua kami harus pindah rumah, karena dia selalu dipindahtugaskan, selama empat tahun pernikahan kami."Kamu pasti kesal, ya?" tanya Mas Pras hati-hati."Mau gimana lagi, atuh Pa. Kalau kamu pindah, masa iya aku tetap di sini sama anak-anak?"Begitulah ... sebagai istri, aku bisa apa selain mendukung suamiku? Padahal dalam hati kesal juga, membayangkan kami akan mengulang kerepotan dan beradaptasi lagi dengan lingkungan baru."Doakan saja supaya tabungan Papa cepat terkumpul dan kita bisa beli rumah sendiri. Jadi kalau dipindahin lagi, kamu sama anak-anak nggak usah ikut!"Mataku mendelik mendengar jawabannya."Terus mau LDR-an gitu? Jani nggak mau!" protesku. Walau sering bertengkar kecil, aku lebih
Lelaki yang terlihat tak berubah saat terakhir kali bertemu itu pun turun, tanpa memasukan mobilnya ke dalam garasi lebih dulu. Dia malah berbalik dan menghampiri kami, membuat perasaanku gugup tidak karuan. Benarkah dia mantan pacarku, dua belas tahun yang lalu?Jantungku berdebar tidak karuan, apalagi kala bayangan terakhir kali kami bertemu berputar-putar di kepala.Semakin langkah kakinya mendekat, semakin gugup. Aku sangat yakin, dia adalah Aa Hadi mantan pacarku dulu. Kututupi wajah sebisa mungkin dengan tubuh Hamdi, agar dia tak mengenaliku. Kini dia berdiri persis di hadapanku, di samping Teh Lina.Sejak keluar dari mobil, bisa kurasakan kalau matanya tak lepas sedikitpun menatap, sampai dia tiba di hadapanku. Ah ... apa ini hanya perasaanku saja?"Papi, ini istrinya tetangga baru kita lho Pi, yang kemarin suaminya bersih-bersih!" kata Teh Lina menjelaskan.Aku sesekali berusaha mencuri pandang kearahnya. Ternyata dia menatapku tanpa berpaling sedikitpun. Benar, dia benar-bena
"Jani!' Lagi, dia memanggil untuk yang kedua kalinya karena kuabaikan.Ya ampun ... apa dia tidak takut istri atau anaknya akan mendengar, lalu curiga?Aku enggak bisa membayangkan kalau Teh Lina sampai tahu kalau aku pernah jadi WIL suaminya."Apa, sih?" sahutku ketus."Apa kabar?"Bisa-bisanya tanya ada apa. Pakai basa-basi segala ini orang! Udah tahu segar bugar begini. Kalau sakit mana bisa pegang gagang sapu, ya kan?Rasanya tidak perlu kujawab basa-basinya itu."Jan!""Apalagi?""Aku mau ngomong!""Ngomong apa? Itu kan, lagi ngomong?""Sini atuh!""Enggak bisa, bahaya!" sahutku cepat tanpa menoleh sedikitpun."Bahaya apa, Neng Jani?" Tiba-tiba suara Teh Lina menggema dari arah belakangku."Eng ... enggak ada apa-apa, Teh! Tadi saya nyapu ada paku. Bahaya kan, kalau keinjak. Bisa sakit yang kena!" jawabku gugup. Tanganku sampai gemetar saking kagetnya."Sakit mana sama lihat mantan yang bahagia sama pasangan barunya!" GlekkkLagi-lagi ucapannya ... apa jangan-jangan Teh Lina uda
Gegas aku beranjak dan membuka pintu. Aku sengaja tidak menyahut lebih dulu agar Hamdi tidak terbangun. "Wa'alaikumusalam, ada apa Teh?" tanyaku pada Teh Lina yang datang dengan kantong plastik berwarna putih di tangannya. "Ini, Papinya anak-anak bawa anggur hijau banyak, Teteh bagi dua sama kamu. Kamu doyan nggak?" Mataku berbinar-binar mendengarnya. Setelah kresek itu berpindah tangan, kuperkirakan ada sekitar dua kilogram anggur di dalamnya. Sudah lama sekali tidak makan buah kesukaanku itu. Selain mahal, tidak ada yang suka selain aku di rumah. "Ya ampun Teh, Jani doyan banget. Ternyata A—" "Apa, Neng?" Teh Lina memicing. Duh, hampir aja keceplosan! "Anu Teh, kok bisa banyak begini? Kan harganya mahal?" Aku mencoba mengalihkan. "Katanya sih, temennya lagi panen anggur. Makanya Papi dikasih banyak, bukan beli!" jelasnya. "Alhamdulillah ya Teh, Jani kebagian rezekynya Teteh!" kataku dengan mata berbinar. Ah, aku jadi merasa bersalah sama Teh Lina. Ini pasti ulah Aa Hadi ya
"Elvy Sukaesih?" bisikku.Sukaesih itu nama ibuku di kampung. Tapi yang suka menambahkan nama Elvy di depannya ....?Aa Hadi???Mataku sampai melotot, saat ingat kalau dialah yang sering menambahkan nama belakang ibu. Jadi, apa benar paket kiriman paket ini dari Aa Hadi?Segera kubuka paket itu karena penasaran sekali dengan isinya. Setelah dibuka, isinya adalah daster model kekinian. Ada sekitar delapan stel daster terusan dengan bau khas pakaian baru dari plastik pembungkusnya."Daster? Banyak banget?" gumamku sambil terus melihat isi di dalamnya.Kucari lagi data pengirim pada plastik pembungkus paket. Di sana tertera nomor handphone-nya.Aku mulai curiga lagi. Kalau benar ibuku yang mengirim, mana ada dia punya handphone? Karena dia tetap tidak bisa menggunakannya meski telah diajari adikku, Anjeli berkali-kali. Segera kuambil ponsel dan menghubungi nomor itu."Halo?" tanyaku sedikit ragu."Halo, ini pasti Anjani. Sudah terima paket dari Aa?" sahut suara di ujung telepon.GlekkB