"Errghh, sayang."
Erangan itu membuat Zafier yang sejak tadi duduk memandangi lampu-lampu gedung kota Jakarta menoleh ke samping, di mana Helena tergeletak tanpa sehelai benangpun setelah pergulatan mereka tadi.
"Tidurlah," ucap Zaf seraya menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara.
"Aku maunya meluk kau," ucapnya manja.
Bukannya menuruti kemauan wanita itu, Zaf malah turun dari tempat tidur membuat Helena jelas bingung.
"Why, zaf?" Tanyanya heran.
"Aku mau cari udara segar dulu. Kau lanjutkan saja tidurnya. Kalau aku tidak kembali itu berarti sedang ada yang aku kerjakan di tempat lain."
"Tapi aku mau kau tidur di sini dan temanin aku sampai pagi."
Zaf tidak mempedulikan protesan Helena, berjalan mengarah ke kamar mandi untuk membasuh diri dan keluar setengah jam kemudian dengan setelan santai. Dilihatnya Helena duduk di tepi ranjang sedang menghisap rokoknya. Zaf menghampiri, menarik rokok itu dari tangannya dan mematikannya.
"Hei—" ucapnya kesal.
"Jangan merokok. Buruk buat kesehatan," ucapnya seraya berjalan mengambil jaket hoodienya.
"Seharusnya kau ngaca tadi," desisnya.
"Aku laki-laki,Hel. Kau perempuan. Jangan merokok." Kemudian berjalan ke arah pintu dan keluar dari sana.
Helena menghempaskan diri di ranjang dan menggerutu. "Dasar bajingan tampan yang kelakuannya manis banget," desahnya. "Aku jadi ingin memilikimu."
***
"Zafier Gaster, lahir di California 31 tahun yang lalu dan memiliki satu kakak kembar berjenis kelamin laki-laki. Kedua orang tuanya masih hidup dan sekarang menetap di Florida. Hubungan mereka dikatakan tidak akur sejak kematian kembarannya dalam insiden kecelakan mobil bersama dengan calon istrinya beberapa tahun yang lalu. Sejak itu dia memilih menetap sendiri di manapun dia mau dan lebih banyak menghabiskan waktunya di New York."
Agam berdiri di depan Martin Allison yang duduk di sofa ruang tamu Mansionnya dengan segelas whiskey di tangan.
"Kecelakan mobil?" Tanya Martin, menegak minumannya dan mengelus dagunya.
Agam mengangguk. "Menurut laporan mereka kecelakaan mobil dan tidak ada keterangan yang lain. Sepertinya hanya kecelakaan lalu lintas biasa."
Martin memandang lurus ke depan, Agam melanjutkan laporannya.
"Saudara dekat Alva Alexander, keturunan tunggal Gabriell Alexander Forze yang merupakan kakak dari ayah Zafier sendiri, Stevan Miller Forze. Dua lelaki yang masuk dalam jajaran pengusaha terkenal di Amerika."
"Ah, keturunan konglomerat rupanya," desah Martin.
"Benar. Catatannya bersih dan dia merintis usahanya sendiri sejak lama tanpa bantuan campur tangan keluarganya. Kegilaannya pada bidang teknologi membawanya menjadi salah satu pengusaha yang diperhitungkan dunia. Perusahaannya di Indonesia adalah cabangnya yang pertama di Negara Asia."
"Lawan yang tidak bisa dianggap enteng.”
"Apa yang akan Pak Martin lakukan?"
Martin meletakkan gelas kosongnya di atas meja dan memandangi kaki tangannya dengan pandangan aneh. "Apalagi kalau bukan menjatuhkannya.” Martin tersenyum smirk dan mengaitkan jemarinya di depan bibirnya. "Aku tidak terima dipermalukan seperti kemarin dan dia salah menjadikanku lawan. Dia harus terpuruk bagaimanapun caranya.”
Agam tahu dengan pasti kalau bosnya, Martin Allison, orang yang bisa melakukan apa saja yang dia inginkan.
***
Akhirnya Zaf memilih duduk di depan mini market 24 jam di pinggir jalan jauh dari apartemennya setelah menghabiskan sebotol kopi dingin dan pop mie instan. Setelah membuat penjaga tokonya seperti terkena asma, Zaf memilih duduk diam memandangi jalan raya yang masih ramai dengan hoodie yang menutupi kepala. Motor sportnya bertengger manis tidak jauh dari sana.
"Ahh, mie lagi. Terpaksa."
Zaf menoleh ke meja yang lain saat mendengar gerutuan itu dan tertegun. Dilihatnya wanita itu duduk di sana, sibuk dengan mie dan sebotol air putih lalu memakannya dengan lahap. Zaf terpaku pada wajahnya yang tidak asing.
"Sasha pasti akan ngomel kalau tahu apa yang aku makan ini," gumamnya seraya mengunyah mienya.
Zaf membuang muka saat wanita itu tiba-tiba melihat ke arahnya. Untung saja kepalanya tertutup dengan hoodie.
"Memangnya ngaruh apa keseringan makan mie bisa buat rambut keriting. Ngaco ah. Kalau otak yang keriting sih mungkin. Kebanyakan micin. Sebodolah yang penting enak. Mau makan mie atau gak ujung-ujungnya tetap di PHK. Ribet!!" Zaf tersenyum mendengar omelannya. Masih wanita yang sama yang banyak omong dan selalu bisa membuatnya menarik senyuman di sudut bibir. Wanita yang tega menamparnya setelah bahunya pegal untuk alas tidur.
"Ah kenyang," desahnya tidak lama kemudian, menegak air mineralnya sampai tandas dan menghempaskan tubuhnya di kursi di bawah tatapan mata Zaf. Tidak lama dia seperti mengantuk dan akhirnya berdiri dari duduknya. Zaf menundukkan wajah saat dia berjalan ke arahnya untuk membuang sampah di tempat sampah yang ada di belakang kursi Zaf.
Reflek Zaf berdiri saat melihat siluetnya lewat dan berjalan kaki dengan santai mengarah ke gerbang perumahan tidak jauh dari mini market. Zaf nekat mengikuti dari jauh dan mencoba menjaga jarak aman dengan hati-hati. Dia hanya ingin melihat di mana wanita itu tinggal.
Wanita itu berbelok masuk ke dalam salah satu blok perumahan dan Zaf yakin kalau dia tidak tahu sedang diikuti. Saat dia akhirnya berbelok, langkah kakinya terhenti. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri tapi sepi. Sama sekali tidak ada orang di sana tapi Zaf yakin sekali jika wanita itu berbelok ke dalam.
"Ke mana dia?" Gumam Zaf, melihat ke sekitarnya. "Ah sial, dia hilang!" gerutunya kesal.
Zaf berbalik dan tertegun di tempatnya. Seseorang sudah berdiri di depannya dengan seringaian devil di wajah cantiknya dan kepala miring ke samping mencoba melihat wajahnya. Zaf berdiri kaku. Bukan karena tatapan wanita itu tapi pada sesuatu yang saat ini menempel di lehernya.
"Hai bastard, wanna die, huh?!" Ucapnya tajam dan menekan pisau lipat yang menempel di leher Zaf bersiap menembus lapisan hoodienya jika dia bertindak gegabah.
Ah sial!!! Beruntung atau apes ?
***
Bagi Shine, menjadi wanita lemah tidak ada dalam kamusnya.Setidaknya seorang wanita tidak harus selalu bergantung pada lelaki. Kalau bisa dilakukan sendiri kenapa harus meminta bantuan mereka yang kebanyakan merasa sombong karena dilahirkan lebih kuat. Terserah dia mau dicap sebagai perempuan bar-bar, tidak elegan dan lebih banyak membuat kaum lelaki yang tertarik dengan wajah imut juga cantiknya ielfeel setelah melihat kelakuannya yang kadang seperti lelaki hingga membuatnya tetap melajang diusianya yang ke dua puluh lima tahun.Untuk membekali dirinya dalam menghadapi apapun hal yang bisa saja terjadi pada wanita yang hidup sendiri, Shine belajar ilmu bela diri secara otodidak. Kepalan tangannya sudah sekuat lelaki, tendangannya memberikan efek yang pasti akan menjatuhkan dan dia belajar untuk selalu waspada.Awalnya Shine tidak terlalu peduli dengan lelaki berhoodie yang duduk di salah satu meja minimarket langganannya tapi saat menyadari kalau lelaki itu menguntitnya masuk ke da
Shine ternganga, memegangi kepalanya dengan tangannya yang lain merasakan pusing. "Oh pemuas wanita?" Shine kembali fokus. "Oke, itu sangat membantu untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus aku ambil." "Oh senang sekali bisa membantumu. Apa kau akan merobek leherku sekarang juga?" "Tidak. Tidak sekarang karena pelajaran berharga untuk lelaki sepertimu itu—" Shine tersenyum smirk. "Yang seperti ini." BUUK!! Shine mengayunkan kakinya tepat mengenai kebanggaan lelaki itu dengan kerasnya dan berlanjut memukul wajahnya mengenai tulang hidung dan pipi. "Arrgghh, Shit!!!" umpat lelaki itu seraya mundur dan merunduk memegangi itu-nya dengan kedua tangan terlihat kesakitan. "Sialan!! Apa wanita selalu mengarahkan kemarahan mereka ke bagian terpenting laki-laki yang bisa memuaskan kalian tanpa ampun!!" "Yeah, supaya itu-mu punya tata krama!!" Umpat Shine seraya tersenyum penuh kemenangan. "Kau mau melawanku, huh? Tanggung akibatnya nanti!!"desisnya. "Oh, siapa takut." Shine men
Shine mengerang saat tangan lelaki itu menelusup di balik bajunya, membelai kulit punggungnya tanpa perantara dengan sensual masih sambil mencium bibirnya dengan napsu dan Shine melotot saat lelaki itu melepas kaitan branya. Shine mencoba melawan tapi percuma. Dia tidak bisa melakukan banyak hal. Seharusnya dari awal, dia sudah menghajarnya tanpa harus mengobrol dulu seperti teman lama. Yeah, Shine yang idiot. "Sial, aromamu sangat menggoda. Memabukkan," bisiknya setelah melepaskan pagutan bibirnya dan turun ke leher jenjangnya, mengigit-gigit kecil sampai kancing bajunya terbuka memperlihatkan belahan dadanya dan dengan kurang ajarnya bibir lelaki itu turun menghisapnya di sana. "BRENGSEK!! Aku akan membunuhmu—Ssshhh." Shine mengatupkan bibirnya karena takut mengeluarkan desahan. Tangan lelaki itu asik mengelusi punggungnya dari atas ke bawah, untung tidak sampai menjalar ke depan. Napasnya naik turun tidak beraturan mendapat perlakukan tidak senonoh dari lelaki gila di depannya
"Ini termasuk dalam tindak pidana asusila."Shine membuka sedikit syal yang melekat di lehernya yang jenjang dengan ekspresi kesal. Jarinya yang lentik menunjuk beberapa bercak merah yang tersebar di sekitar leher dan dada bagian atas. Dengan gerakan kasar, Shine membenarkan letak syal motif bunga-bunga untuk menutupinya lalu menatap Sasha frustasi."Lihat bagaimana lelaki bajingan itu menandai leherku ini seakan-akan dia ingin memperlihatkan kepada dunia kalau aku ini sejatinya adalah miliknya seorang. Dasar gila!"Tadi malam Shine meneleponnya, menceritakan kejadian yang menimpanya secara mendetail tanpa memberinya kesempatan untuk berargumen dan siang ini dia datang ke cafe untuk menunjukkan mahakarya yang dibuat laki-laki tidak dikenal itu disertai dengan omelan panjang seperti biasanya. Sasha hanya diam menjadi pendengar di salah satu kursi di sudut cafenya yang belum buka seraya mengaduk sendok sup jagung di tangannya. Nampak tidak begitu berselera."Yakin itu bukan ulah pacarm
"Aroma maskulinnya memabukkan," ucap Shine akhirnya membuat Sasha bengong. "Jenis parfum mahalan yang tidak bisa sembarangan orang membelinya." Shine seperti menerawang mengingat kejadian kemarin malam. "Dia punya bulu-bulu halus di rahangnya tapi aku tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya karena terhalang hoodie." "Wah, mungkin dia penjahat yang tampan." Shine melipat lengannya, duduk menyandar di kursi dan menghela napas panjang. "Lelaki itu bule. Logat Amerikanya kentara sekali meskipun bahasa Indonesianya lancar." Sendok yang dipegang Sasha menggantung di udara ketika mendengarnya. Dia mengerjap lalu menyimpitkan matanya. "Kamu yakin?" Shine mengangguk, "Seratus persen yakin. Di mana aku pernah mendengar suaranya ya?" Sasha diam memandangi Shine yang memijit pelipisnya nampak berpikir. "Ah, pokoknya siapapun dia, aku harus bisa menemukannya lagi." Shine mengepalkan tangan dan menyentaknya di atas meja dengan geram. "Dia tidak akan lolos dari kemurkaanku karena membuatku meras
Restoran Burgary Zafier sudah lama bergelut dalam dunia bisnis. Dia bisa menilai karakter orang-orang yang bekerja sama dengannya hanya dengan mengamati tingkah laku mereka selama berinteraksi. Sebisa mungkin dia begitu berhati-hati terhadap orang yang bermuka dua dan penjilat. Sejujurnya, sejak awal Zafier tidak mempermasalahkan jika perusahaannya kalah dalam Tender Franklin walaupun orang-orang kepercayaannya di kantor yang sudah berkerja keras untuk mendapatkan proyek itu tidak terima. Baginya, menang atau kalah dalam bisnis itu hal yang biasa. Masih banyak pintu yang akan terbuka jika pintu yang satu terbuka bukan untuk dimasuki olehnya dengan catatan dia sudah sampai dalam batas maksimal kemampuannya dalam mengusahakan untuk bisa memasuki pintu itu. Tapi untuk kasus proyek Franklin, Zafier harus menggunakan kemampuannya untuk bisa mendapatkannya. Di sana dia mendapatkan banyak sekali perjanjian terselubung yang selama beberapa tahun ini terjadi antara Allison Corp dengan Pih
“Kau akan meninggalkanku di sini?"Zaf tersenyum miring menanggapi pertanyaan Helena yang duduk di atas westafel kamar mandi tepat di sampingnya. Hanya mengenakan kemeja putih miliknya tanpa mengenakan apapun di dalam setelah percintaan mereka satu jam yang lalu."Aku juga ingin ikut denganmu ke Amerika," desahnya seraya meraba dada Zafier yang sedang mengancingkan kemeja hitamnya. "Bawa aku ke sana bersamamu."Zaf menjauhkan telapak tangan Helena yang langsung merengut, berharap diajak berlibur ke Amerika dengan pesawat Jet-nya."Kita tidak sedekat itu sampai aku harus membawamu ke Amerika," jawab Zaf santai membuat harapan Helena langsung runtuh.Helena tentu saja tidak terima. "Kita sudah bersama satu bulan lebih dan itu artinya kita sudah sepasang kekasih bukan?"Zafier memastikan penampilannya rapi lalu menoleh ke Helena yang menatapnya dengan wajah kesal, bergerak mendekat dan mengurung tubuh wanita cantik itu dengan kedua tangan bertumpu di pinggiran westafel saling memandang d
Seminggu kemudian,“Shine Aurora Friza."Panggilan dari belakang punggungnya menyentak Shine yang tegang hingga reflek berdiri dari duduknya. "Iya Pak. Saya sendiri.""Siap untuk lembur hari ini?""Hah?" Mulutnya sedikit terbuka menanggapi pertanyaan itu. Pak Williem meletakkan map merah yang dibawanya di atas meja dan duduk santai di kursinya tidak peduli Shine terdiam cukup lama sebelum menjawab. "Lembur?"Williem mengangguk, mengamati keterkejutan Shine yang masih berdiri di depannya."Saya tidak akan basa-basi," ucapnya serius.Perlahan Shine duduk lagi di tempatnya, berharap kalau pertanyaan tadi berarti satu hal. Dia diterima bekerja sebagai asistennya. Semudah itu kah?"Kamu wanita yang beruntung. Saya membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi ini secepatnya dan satu wanita lainnya yang tadinya akan saya wawancarai tidak bisa hadir." Shine menyadari hal itu dari tadi dan hertanya-tanya, kenapa hanya dia yang datang memenuhi panggilan wawancara ini. "Kamu punya pengalaman di ba