Aku sedikit kecewa dengan mamak, selalu saja aku yang disalahkan. Padahal menurutku aku sudah merasa benar. Mamak sepertinya berubah setelah jadi wakil bupati. Segala tindak-tandukku bisa berpengaruh pada satu kabupaten. Ah, aku ingin jadi orang biasa saja. Sukses tanpa embel embel nama orang tua.
Ormas yang pernah kutolak itu ternyata yang jadi biang kerok. Mereka lah yang ambil video cctv, karena kebetulan komplek itu mereka yang jaga keamanannya. Aku dikuliti habis-habisan. Mereka juga yang posting di F******k, mereka yang gencar membagikan postingan tersebut.
"Kita tidak bisa diam saja, kita harus melawan," kata Ridho di suatu sore, saat itu kami berkumpul di masjid menunggu waktu salat magrib.
"Iya, tapi bagaimana caranya, mereka punya video cctv," kataku kemudian.
"Kita temui gadis itu?" usul Ridho.
"Itu tambah masalah, sudah pasti dia benci kita," kata Ahmad.
"Kita coba saja," kata Ridho lagi.
Akhirnya kami bertiga pergi ke rumah gadis tersebut. Rumahnya tepat di belakang masjid, akan tetapi pintu masuk agak jauh. Pintu kecil yang di dekat mesjid sudah mereka tutup.
Saat kami tiba di pintu gerbang, seorang sekuriti mencegah kami masuk.
"Kami mau bertemu Karen, Pak," katamu kemudian.
"Tidak bisa!" katanya tegas.
"Kami hanya mau bicara, Pak," kataku lagi.
"Tetap tidak bisa!"
"Tolong telepon dia, Pak," kataku lagi.
"Sekali lagi saya tegaskan, tidak bisa, silakan pergi," kata sekuriti tersebut.
Kami akhirnya pergi tanpa hasil. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Namaku makin ramai diperbincangkan. Sakit sekali tuduhan para nitizen. Mulai dari mabuk agama, intoleran, sampai kadal gurun disematkan padaku.
Butet menelepon malam itu, ternyata dia sudah mengikuti perkembangan kasusnya."Bang, Abang baik-baik saja," tanya Butet.
"Kurang baik, Tet, Abang butuh kamu saat ini," kataku kemudian.
"Bang, ini ada Bang Sandy, ustadz Rizal, juga ada Bang Umar, kami akan bantu Abang," kata Butet lagi.
"Ngapain kau malam-malam begini sama tiga cowok?"
"Membahas masalah Abang lah," jawab Butet.
"Baiklah, aku mendengarkan," kataku kemudian.
"Ini Sandy, Cok, yang pertama kamu lakukan adalah mencari video pembanding, di video itu kan hanya terlihat bagian Ucok menarik tangan gadis itu, tidak terlihat awal mula masalahnya, jika ditemukan saat Ucok menyelamatkannya dari amukan massa, akan ada video pembanding," kata Sandy.
"Masjid itu gak ada cctv - nya," jawabku kemudian.
"Rumah di sekitar mesjid tersebut, cari yang anda cctv -nya," kata Sandy.
"Oh, baik,"
"Aku Umar, Cok, jika video pembanding itu sudah dapat, sewa pengacara, tuntut pencemaran nama baik yang menyebarkan video tersebut," kata Umar dari seberang.
"Yang menyebarkan ormas, ormasnya benci aku, karena aku menolak memberi upeti pada mereka, menolak juga bergabung dengan mereka, memang ketua ormas itu sudah mengancam, jika bukan kawan kami berarti lawan kami, gitu katanya," kataku kemudian.
"Kita bantu, jangankan ormas, institusi pun bisa dikalahkan oleh nitizen," kata Umar lagi.
"Saya Rizal, Cok, setelah semua usaha itu, berdoalah, serahkan pada yang di atas, yakin saja, Allah Itu tidak tidur," kata Ustadz Rizal.
"Terima kasih, Ustadz,"
"Ini Ayah, Cok, luluhkan kekerasan hari gadis itu, masih ingat yang ayah ajarkan kan?" ternyata Ayah juga di situ.
"Masih, Yah,"
"Apanya Abang ini, Abang suruh dia melet orang gitu?' Terdengar suara mamak.
"Bukan, Dek, tapi untuk meluluhkan hati gadis itu, kuncinya gadis tersebut, jika dia mau buka suara dan jujur," kata Ayah.
"Gak, aku gak setujui Ucok melet orang, eh, emangnya Abang bisa melet cewek? jangan-jangan aku dipelet juga dulu," terdengar suara mamak lagi.
"Sudahlah, assalamualaikum," kataku seraya mematikan panggilan, Mamak dan ayah tak pernah berubah, suka bertengkar untuk masalah yang sepele.
Sore itu selepas salat asar, aku mulai mencari cctv yang ada di sekitar masjid. Coba kuperhatikan satu persatu rumah itu, tidak ada yang memasang cctv. Akan tetapi ada rumah makan si seberang masjid. Aku coba bertanya pada mereka."Assalamualaikum, Mbak," salamku kemudian.
"Waalaikum salam," jawabnya. Rumah makan tersebut adalah rumah makan Tegal, mataku coba melihat sekeliling., Aku melihat cctv di atas.
"Itu hidup, Mbak?" tanyaku lagi.
"Hidup, Mas, tapi maaf, Mas, saya tidak bisa berikan videonya, takut," kata ibu tersebut.
"Takut apa, Mbak?"
"Takut preman, Mas,"
"Videonya ada?"
"Ada, Mas, tapi sudah diambil preman itu, maaf, Mas, saya tidak mau cari masalah," kata ibu tersebut.
Tentu saja aku tak sampai hati untuk memaksa, semua tempat usaha di daerah ini memang sepertinya dikuasai ormas tersebut. Orang sangat takut pada mereka. Konon yang bangun rumah atau renovasi pun harus melapor pada mereka. Hanya aku yang tak berani mereka ganggu.
"Bagaimana, Bang?" tanya Butet lewat panggilan telepon.
"Ada, tapi pemiliknya tidak mau memberikan," jawabku.
"Hubungi polisi, polisi bisa memaksa orang itu membuka cctv," jawab Butet.
"Tapi kasihan dia, Tet, dia takut diganggu preman, dia hanya tak mau cari masalah," kataku.
"Jadi bagaimana solusinya?" tanya Butet lagi.
"Mungkin saran Ayah solusinya terakhir,"
"Apa itu?""Meluluhkan hati gadis itu, dia kunci masalah ini," kataku kemudian.
"Oh gitu,"
"Jangan bilang mamak ya, Tet,"
"Ok, Bang, kalau kau gak lupa,"
"Hmmm, kau, Tet,"
Dulu ayah pernah mengajarkan padaku ilmu untuk meluluhkan hati orang. Tak harus wanita sebenarnya, bisa bos atau siapa saja. Ada bacaan khusus akan tetapi salah satu syaratnya adalah harus bertemu orang tersebut. Aku harus bertemu Karen dan menatap matanya.Pagi itu aku tunggu dia di dekat pintu gerbang komplek, aku ingat mobilnya adalah Honda Jazz warna kuning. Dia juga selalu memakai sopir pribadi.
Sampai setengah jam aku tunggu, akhirnya dia lewat juga, aku coba hentikan mobilnya dengan cara menghentikan motorku di depan mobil tersebut. Akan tetapi mobil itu tak berhenti juga.
"Stop, stop!" kataku seraya menunjukkan dua telapak tangan.
Brakkk. ...
Mobil tersebut malah menabrak motorku.
Tabrakannya ringan saja, tak sampai membuat aku terpental, tak juga membuat motor jatuh, akan tetapi kaca belakang motorku pecah."Heh, lo mau mati ya?" kata seorang wanita. Aku menatapnya, wanita itu balik menatapku. Matanya melotot."Heh, masalah lo apa?" katanya lagi.Ini kesempatan emas, dua baris doa itu akhirnya aku lafalkan juga. Akan tetapi tidak ada yang berubah. Karen justru makin marah.Aku coba yang empat baris, dia justru berpaling dariku. Ternyata kali ini dia menyetir sendiri. "Singkirkan motor butut lo," katanya kemudian.Aku menggeser motor tersebut, akan tetapi sekuriti komplek datang."Sudah penyot ini, Bu, suru dia ganti," kata sekuriti itu seraya menunjuk bumper mobil Karen."Motorku juga pecah lampunya," kataku kemudian."Yang salah kan, lo, tiba-tiba berhenti," kata Karen."Benar, kamu yang salah," sambut sekuriti tersebut.Masyarakat lingkungan itu mulai berdatangan, mungkin karena melihat orang datang, Karen sepertinya takut juga."Nih, ganti lampu motor lo,"
PoV KarenNamaku Karen, lengkapnya Karenina. Kuliah kedokteran di universitas paling bergengsi di ibukota. Orang tuaku pejabat, beliau menjabat kepala dinas di kota kelahiranku di Sumatra. Di sini aku tinggal bersama seorang ART dan seorang sopir. Rumah di komplek tergolong elit dikontrak Ayah untuk tempat tinggalku.Semula di sini aman saja, tetangga kiri yang seorang polisi sangat baik. Akan tetapi ketenanganku mulai terusik. Belakangan ini, adab suara mengaji dan azan sangat keras dari masjid yang di belakang rumah.Hingga suatu hari, kesabaranku sudah habis, saat itu aku baru saja bisa tidur, jam sudah menunjukkan angka tiga, akan tetapi baru saja aku terlelap, suara mengaji itu mulai lagi. Suaranya seakan menggetarkan dinding kamarku. Mungkin karena pengaruh PMS, hatiku seakan terbakar, akhirnya aku pergi ke masjid tersebut.Saat aku sampai seorang pria lagi asyik mengaji, kutegur pun dia tak menggubris, akhirnya aku ucapkan salam. Astaga, wajah pemuda ini teduh sekali. Aku ha
Lelaki Bersarung PoV UcokIlmu meluluhkan hati orang itu ternyata berhasil, akan tetapi hasilnya sungguh tak terduga. Aku ditembak cewek yang lebih tua umurnya tiga tahun. Karen namanya, gadis cantik calon dokter.Malam itu aku terkejut melihat Karen datang ke masjid, dia memakai mukena warna pink, manis sekali. Saat itu aku dan Ridho duduk di teras masjid menunggu waktu isya."Assalamualaikum," salam dari Karen."Waalaikum salam," jawabku dan Ridho hampir bersamaan."Masih ada waktu Magrib kah?" tanyanya kemudian."Masih, masih," kataku seraya menunjuk ruang salat untuk perempuan.Gadis itu kemudian masuk masjid, aku dan Ridho melanjutkan obrolan. Beberapa saat kemudian gadis itu sudah selesai salat, dia justru duduk di depan kami."Diskusi apa kita ini?" tanyanya."Maaf, bertanya dulu, Karen, kamu muslim kan?" tanyaku kemudian. Karena pernah dia suruh aku pasang lampu di kamarnya, aku sempat melihat tanda-tanda agama lain."Ayahku tadinya muslim, ibuku kristen, jadi aku diberikan k
Bu Wabup PoV NiaSemenjak dilantik jadi wakil bupati, kehidupan kami benar-benar berubah. Senin sampai Jumat harus tinggal di rumah dinas walikota bupati. Sabtu Minggu baru ke rumah pribadi. Pelaksana tugas kepala desa kuserahkan pada wakil kepala desa.Akan tetapi apakah kami berubah lebih baik? Entahlah, aku tidak tahu, apakah ini lebih baik? Cantik kini diurus seorang baby sitter. Butet juga pindah sekolah ke kota. Bupati juga menepati janjinya, aku dilibatkan dalam setiap rapat penting. Urusan sosial dan pertanian juga jadi pekerjaanku. Satu lagi yang disarankan bupati aku urus, yaitu pemberdayaan perempuan.Hari itu kami lagi di rumah dinas Wakil Bupati. Bang Parlin tak berubah, hobby yang berkebun masih dia bawa sampai rumah dinas. Belakang rumah dinas itu jadi kebun sayuran dan tanaman obat-obatan.Ada tamu datang, mobil berpelat merah parkir di halaman rumah. Seorang pria paruh baya turun dari mobil. Aku kenal pria ini, dia kepala dinas sosial."Selamat sore, Bu," sapanya
Jabatan ini ternyata berat juga, berat dalam arti susah untuk yang jujur. Aku baru paham, ternyata jual beli jabatan itu sudah hal yang lumrah. Orang jujur justru banyak dimusuhi orang. Aku juga ternyata salah pilih, dinas sosial itu ternyata lahan basah. Karena menyalurkan uang yang banyak. Jabatan ini juga ternyata sangat menyita waktu dan pikiran. Aku sangat bersyukur punya Bang Parlindungan dan Butet yang selalu siap membantu. Hp-ku yang tadinya jarang berbunyi kini hampir-hampir setiap setengah jam ada yang menelepon."Kayaknya mamak dahulu butuh asisten ini, yang kerjanya khusus terima telepon dan atur jadwal mamak," usul Butet di suatu hari."Belum perlu lah, Tet,""Camat saja ada asistennya," kataku Butet lagi."Iya juga ya, nantinya kita cari,"Pak bupati meneleponku di suatu hari, saat itu aku lagi berada di kantor dinas sosial."Bu Nia, saya mohon jangan terlalu keras, saya setuju kita berantas korupsi, tapi pelan-pelan saja," kata Bupati."Maaf, Pak, saya lihat di dinas s
Kadang aku merasa orang tuaku terlalu berlebihan dalam hal yang terjadi padaku. Ini hanya foto dengan tiga cewek, ayah sampai harus datang ke Jakarta? Padahal aku sudah banyak melihat orang di Jakarta ini, sudah banyak bergaul dengan mahasiswa lain, kurasa aku masih yang paling baik. "Kak Karen, tolong hapus status itu," kataku kemudian lewat pesan inbox.Akan tetapi tak dibalas, mau menelepon aku tidak tahu nomor. Akan tetapi aku memang sangat terganggu dengan status tersebut. Kucoba inbok lagi, tak juga dibalas. Akhirnya aku nekat pergi ke rumahnya yang tidak berapa jauh dari rumah. Kulirik jam sudah menunjukkan angkat setengah sebelas.Saat di pintu gerbang komplek, sekuriti menahan motorku, aku pun menjelaskan maksud kedatangan, yaitu ingin bertemu Karenina. Sekuriti itu bilang menelepon Karen duluan."Oh, aku minta nomornya saja kalau gitu," kataku lagi. Sekuriti ini bukan yang pernah kuberikan uang dulu."Maaf, kami tidak boleh memberikan nomor orang sembarangan, maaf," katan
Dalam hal ini aku merasa ayah berlebihan, ayah bilang berhenti membandingkan, jadi apa ukuran kesuksesan? Jika bukan dibandingkan dengan yang lain? Apa ukuran kebaikan jika bukan karena ada pembanding? "Ayah iri ya, aku lebih sukses dari pada ayah?' tanyaku kemudian.Plakk! Ayah malah menamparku, ini untuk pertama kali setelah aku dewasa ditampar Ayah. "Maaf, Cok," Ayah langsung minta maaf setelah menampar. Tak bicara' lagi ayah pergi ke kamar yang ada di atas yang kebetulan memang kosong.HP -ku berbunyi, ada panggilan video dari Butet, langsung saja kuterima."Mana ayah?" tanya Butet."Merajuk" jawabku."Apa, Cok? Merajuk?" ternyata mamak ada di situ."Iya, Mak?""Kok bisa merajuk?""Itulah, seharusnya aku yang merajuk, ini orang tua yang merajuk, bukan anaknya lagi, dunia terbalik," kataku kemudian."Jelaskan dulu, Cok,"""Ayah menamparku, Mak, lalu ayah yang merujuk, itu di kamar atas berkurung."Cok, ayah menamparmu?" tanya mamak lagi."Iya, Mak,""Kok bisa?" "Kan gini, Mak,
"Bapakmu tampan ya, Cok?" kata Karen seraya duduk di kursi plastik yang ada di depan rumah."Hehehe, iya," jawabku. "Penampilan Bapakmu unik dan antik," katanya lagi."Oh, ya,""Terus badannya tetap bagus, tidak seperti bapak-bapak kebanyakan," Karen makin lanjut memuji Ayah."Rambutnya itu, lo, keren," kata Karen lagi. Selama ini orang selalu bilang rambut ayahku kuno, baru kali ini ada yang bilang keren."Lo datang kemari mau ngapain, mau muji Ayahku ya?" aku agak kesal juga."Aku mau ngajak makan malam," kata Karen lagi."Masih sore,""Maksudnya kita jalan-jalan dulu sampai malam baru makan," "Oh, tidak, terima kasih,""Tolonglah, Cok, malas kali jalan sendiri, " kata Karen lagi.Ah, kata tolong itu lagi, entah kenapa cewek cantik suka minta tolong."Cok, please, aku yang traktir," "Maaf, ada Ayahku," kataku akhirnya."Cok, tolonglah, aku takut jalan sendirian malam, di rumah terus bosan," kata Karen lagi. Dua kali minta tolong itu akhirnya membuat ku luluh juga."Ok, aku gan