Mendengar dentuman yang begitu keras, Mayang langsung berbalik dan melihat ke arah jalan. Dan, betapa terkejutnya Mayang, saat melihat putranya sudah tersungkur ke tanah dengan tubuh bersimbah darah.
"Fikryyyyyyyyyy!!!"Mayang berlari seperti orang kesetanan memanggil nama anak lelakinya itu. Dan, segera merangkul tubuh kecil yang sudah tak berdaya itu. Mayang meminta tolong kepada orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian, untuk menolong putranya. Dengan cepat mereka membawa Fikry ke rumah sakit, dengan menggunakan sepeda motor yang di bonceng oleh tetangga. Dan, Mayang menggendong tubuh mungil Fikry, yang sudah bersimbah darah, yang sudah tidak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Mayang langsung menuju UGD untuk memeriksa keadaan anaknya. Setelah memasuki ruangan tersebut, perawat mempersilahkan Mayang untuk menunggu di luar. Sedangkan dokter dan perawat tersebut sibuk memeriksa tubuh Fikry.Saat ini, penampilan Mayang sunggung sangat memprihatinkan. Mata yang sembab dan pakaian yang sudah penuh dengan darah. Tapi, Mayang tidak memperdulikan semua itu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah keselamatan bagi buah hatinya itu.Dan, Mayang, selalu berdoa untuk keselamatan putranya. Tetapi, dia juga merutuki dirinya sendiri. Karena, sudah lalai menjaga putranya itu.Setelah setengah jam lamanya, dokter yang berada di ruangan UGD itu, baru menemui Mayang beserta Dinda dan juga suaminya, Arman.Ya, setelah Fikry dibawa ke dalam ruangan UGD, Mayang langsung menelpon, Dinda. Mayang meminta tolong kepada resepsionis rumah sakit untuk menghubungi adiknya itu.Dan dokter mengatakan, kalau kaki Fikry yang sebelah kiri, harus diamputasi. Karena, mengalami keretakan yang fatal dan juga patah tulang. Dan, dilihat dari keretakan pada tulang kaki, Fikry. Kemungkinan besar, pada saat kecelakaan itu terjadi, kaki Fikry terlindas ban mobil.Mendengar ucapan dokter tersebut, Mayangpun meraung sejadi-jadinya."Apa tidak ada jalan lain, Dokter? Selain dari amputasi? Aku tidak mau, kalau anakku menjadi cacat. Dia masih kecil, Dok. Kasihan dia," tutur Mayang, dengan berurai air mata.Tetapi, dokter muda itu mengatakan, kalau itu adalah jalan satu-satunya, untuk masa depan Fikry sendiri. Karena, kalau tidak secepatnya dioperasi. Takutnya, nanti akan mengalami pembusukan pada tulang. Dan itu, lebih sangat berbahaya untuk diri si pasien sendiri. Ucap dokter muda itu.Setelah kepergian dokter tersebut. Mayang, yang masih terisak, dengan pipi yang sudah basah dengan air mata. Berkata kepada Dinda."Bagaimana ini, Dinda? Kakak tidak ada uang untuk membayar operasi, Fikry. Uang operasi untuk Fikry, pasti sangat banyak. Kamu tahu sendiri, untuk makan kami sehari-hari saja, serta membayar kontrakan. Kakak harus bekerja di toko tetangga. Dan, beruntung sekali, kalau buk Maya, memperbolehkan kakak membawa Fikry, saat bekerja. Tapi sekarang, kakak harus bagimana? Kemana kakak meminjam uang?" Tanya Mayang, kepada Dinda, dengan suara tangis terisak.Tetapi, Dinda sendiri, malah tidak memberikan respon apa-apa, terhadap keluhan dari Mayang. Sehingga, membuat hati kakaknya itu, terasa makin mengecil saja.Mayang hanya bisa terdiam, menatap lurus ke depan, dengan air mata, yang tetap mengalir di pipi putihnya. Hingga terdengar seseorang berbicara dengan sangat lantang."Biar kita yang bayarkan!" ucap tegas seseorang.Mendengar itu, mereka berdua menoleh. Dan, ternyata orang tersebut adalah, Arman. Suami, dari Dinda."Apa maksud kamu, bang?!" Tanya Dinda dengan ketus."Biar, kita, yang melunasi semua biaya operasi, Fikry!" Sentak Arman dingin."Kita?! Uang dari mana abang dapatkan untuk membayarnya, bang?! Emang, abang pikir, biaya operasi itu sedikit?!" Tanya Dinda yang mulai meradang."Kita pakai uang tabungan itu dulu," ucap Arman sedikit melunak."Uang itu? Bukankah uang itu, untuk membangun ruko bulan besok?!" Tanya Dinda, dengan membentak suaminya, Arman."Aku tidak mau, ya. Kalau pembangunannya, harus diundur lagi! Bukankah, kita sudah sepakat, untuk itu, bang! Apalagi, aku sudah capek-capek buat menabungnya. Tapi sekarang, seenaknya saja, abang mengatakan untuk membayarkan operasi Fikry, dengan uang tabungan itu!" Gerutu Dinda, dengan sewot.Melihat Dinda yang tidak terima, atas keputusan yang dibuatnya, membuat Arman harus bersikap lebih lembut lagi, untuk mengambil hati, istrinya itu."Dengar dulu, penjelasan aku, sayang. Bukannya, sayang sendiri juga dengar, apa yang diucapkan oleh dokter itu, tadi. Kalau Fikry, secepatnya harus dioperasi. Sementara, untuk menunggu kakak ipar, mengumpulkan uang, mana bisa. Untuk makan mereka saja, kakak ipar sudah sangat kesusahan," ejek Arman kepada Mayang."Dan, kalau kelamaan, bisa-bisa Fikry akan menyusul bapaknya, lho, sayang. Kalau dia tidak secepatnya dioperasi. Apalagi, sampai orang-orang tahu, kan kita juga yang malu," Ucap Arman lagi."Malu bagaimana, maksud abang?" Tanya Dinda yang tak mengerti ucapan dari suaminya itu."Begini lho sayang, maksud aku. DINDA MAHARANI, yang merupakan istri dari seorang pengusaha muda yang sukses. Yang, juga seorang PNS, yang mempunyai banyak uang. Dan, merupakan orang kaya, tidak mau membantu biaya operasi keponakannya sendiri. Sehingga, menyebabkan sang keponakan meninggal dunia.""Kalau sampai orang-orang tahu, dan membuat berita seperti itu, kepada kita, bagaimana? Dan, juga, malah kamu yang disalahkan oleh mereka semua, atas apa yang terjadi pada, Fikry. Apalagi, kalau ketahuan sama Netizen, beuhhff bakalan kelarrr hidup kita." Ucap Arman yang sengaja, mempengaruhi serta menakut-nakuti istrinya itu, untuk mau membayarkan biaya operasi keponakannya sendiri.Mayang, yang mendengar pembicaraan mereka, hanya bisa diam dan beristigfar dalam hati. Serta, hanya bisa, mengurut dadanya dengan rasa sabar. Dipikirannya sekarang, bagaimana sang anak bisa sembuh dengan operasi, meskipun harga diri dipertaruhkan.Mendengar ucapan dari suaminya itu, yang menakut-nakuti mereka. Membuat Dinda, mau tak mau, harus mengikuti ucapan suaminya itu, agar mau memakai uang untuk pembuatan ruko barunya itu."Tapi, aku tidak mau tahu ya, sayang. Bulan besok kita tetap membangun ruko itu. Terserah, abang. Mau membayarkan atau tidak operasi Fikry. Yang jelas, bagi aku. Abang, tetap mengganti uang tersebut. Terserah, mau pinjam dari mana!" Gerutu Dinda ketus."Iya, sayang, nanti akan aku usahakan," jawab Arman tersenyum, dengan matanya tidak lupa melirik pada, Mayang.Tapi, baru saja Arman sedikit lega mendengar ucapan istrinya itu, tiba-tiba saja Dinda melanjutkan ucapannya. Yang membuat Arman dan juga Mayang menganga mendengarnya karena terkejut."Eh, tapi tunggu dulu. Enak di kak, Mayang, donk." Tiba-tiba saja, Dinda berkata ke Mayang."Begini, saja. Aku, ada penawaran terbaik buat kakak. Kalau kakak setuju, aku akan membantu membayar operasi, Fikry. Tapi, kalau tidak. Ya, siap-siap saja, kakak kehilangan putra kakak itu," ketus Dinda kepada Mayang dengan tersenyum miring."Apapun itu, Dinda. Kakak akan setuju. Yang penting sekarang, bagi kakak adalah Fikry selamat. Dan, bisa, menjalani operasi secepatnya," jawab Mayang tersenyum senang."Ok. Baiklah. Dengar, baik-baik ya, kakakku sayang. Aku, akan bersedia membayar semua biaya pengobatan, Fikry. Tapi, kakak harus tinggal di rumahku, dan bekerja menjadi pem-ban-tu! Karena, aku yakin. Kakak tidak akan pernah bisa, untuk mengganti uang aku yang kakak pakai. Jadi, kakak harus bersedia, jadi BABU selamanya untukku! Bagaimana?" Tanya Dinda yang memberikan pilihan yang begitu berat untuk dirinya. Dan, Dinda berkata dengan tersenyum senang. Tanpa mau memikirkan apa yang dirasakan oleh kakaknya itu.Mendengar ucapan Dinda, membuat Arman ingin protes. Tetapi, saat Arman ingin mengucapkan sesuatu, Dinda dengan cepat memberikan isyarat 'diam' kepada suaminya itu, dengan cara meletakkan telunjuknya ke bibirnya sendiri, dan mengarahkan ke suaminya itu.Sementara Mayang sendiri, saat mendengar ucapan, Dinda. Membuat dirinya, syok. Dia tidak menyangka, kalau sang adik, tega menjadikannya seorang Babu di rumahnya. Tapi apalah daya, Mayang tidak bisa menolak. Karena ini menyangkut tentang hidup anaknya sendiri. Meskipun, harga dirinya harus diinjak-injak oleh, adiknya sendiri."Jadi bagaimana, apa kakak bersedia?" Tanya Dinda lagi, yang ingin mendengar apa keputusan yang diambil oleh kakaknya itu."Kalau kakak menolak, juga tidak masalah bagi, aku. Aku akan pergi sekarang. Ayo, sayang!" Gertak Dinda, dengan merangkul suaminya itu. Dan, mulai berjalan meninggalkan sang kakak."Tunggu, Dinda! Kakak bersedia! Apapun itu, kakak bersedia melakukannya. Meskipun, kakak harus jadi, BABU! Yang penting, kamu mau membiayai anak kakak sampai sembuh," sentak Mayang tegas meskipun air mata sudah menetes di pipi.Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan kedua tangannya mendengar pembicaraan tersebut.Dan di sinilah Mayang. Yang menjadi seorang Babu untuk adiknya sendiri.💦"Mayang! Hei, Mayang! Kok, malah melamun?" Tanya Nurma sahabatnya, yang melambai-lambaikan tangannya beberapa kali di depan wajah Mayang."Astagfirullah, maaf Nurma. Tiba-tiba saja, aku jadi teringat kejadian itu. Sehingga tanpa sengaja, aku jadi termenung, hehe, maaf." Mayang berucap, sambil tersenyum malu-malu dengan mata yang juga berkaca-kaca."Ah, tidak apa-apa, sayang. Aku mengerti kok. Ih, kamu, seperti sama siapa saja," timpal Nurma tersenyum sambil mencubit pipi, Mayang. Kebiasaan, yang selalu mereka lakukan kalau bertemu.Karena, asik bercerita, tentang nasib mereka masing-masing. Tanpa mereka sadari, waktu terus berlanjut. Hingga, Dinda pulang dari mengajar."Assalamu'alaikum," salam Dinda yang baru saja, pulang."Waalaikum'salam," ucap mereka berdua."Oh, Dinda. Baru pulang mengajar, ya?" Tanya Nurma tersenyum."Iya, eh, ada kak Nurma. Kapan datang, kak?" Ucap Dinda, yang balik bertanya kepada sahabat kakaknya itu, yang hanya untuk basa basi."Dari satu jam yang lalu, Din. Kakak, kangen, sama kakak, kamu. Jadi, saat kakak melintasi daerah sini. Kakak, pengen mampir sebentar. Eh, karena, keasikan bernostalgia, malah keblablasan kayak gini, hehe," tutur Nurma, yang menjelaskan kepada adik sahabatnya itu."Ah, biasa itu, kak. Namanya, juga, lagi kangen-kangenan," balas Dinda lagi, yang tersenyum manis, menanggapi ucapan sahabat kakaknya itu.Dan, tidak berapa lama kemudian, Nurma pun berpamitan untuk pulang. Saat merapikan dan membereskan piring serta gelas bekas makanan mereka tadi, tiba-tiba saja, Dinda berbicara dengan nada ketus kepada, Mayang."Jangan dibiasakan membawa orang ke rumah, aku tidak suka!" Cerca Dinda yang berdiri di belakang Mayang.Mendengar Dinda berbicara, Mayang pun menjawab ucapan Dinda."Kakak, tidak pernah membawa orang ke rumah, Din. Apakah kamu tidak dengar, Kalau Nurma sendiri yang datang berkunjung ke sini?" Timpal Mayang, yang membalas tuduhan Dinda."Apapun, itu, aku tidak peduli dan tak mau tahu! Aku tidak suka, ya, kalau, kakak, sembarangan memasukkan orang ke rumah ini!" Bentak Dinda kepada Mayang."Kakak, tidak sembarangan membawa orang, untuk masuk ke rumah ini, Din! Lagian, Nurma, bukan orang lain bagi, kakak. Dia, adalah, sahabat kakak, yang sudah kakak anggap, sebagai saudara sendiri!" Sentak Mayang tegas kepada adiknya itu."Lagian apa salahnya, kalau kakak, membawa teman kakak, kerumah ini. Karena, rumah ini, adalah rumah peninggalan ibu!" Celetuk Mayang dengan emosi."Hei, apa kakak lupa, siapa yang merenovasi ini semua?! Ingat, ya, kak. Meskipun, rumah ini peninggalan dari, ibu. Tetapi, aku lah, yang berhak, atas rumah ini! Karena, aku lah, yang memperbaiki semuanya! Aku, yang menjadikan rumah ini, menjadi layak dan sangat indah! Aku, yang mengeluarkan semua biayanya! Sedangkan kakak, tidak ada sepersenpun!" Bentak Dinda, dengan sangat sombong kepada, Mayang.Tanpa diduga, menitik air mata Mayang mendengar penuturan, Dinda. Dengan tersenyum sedih, Mayang berucap,"Memang benar, tidak ada, sepersenpun uang kakak yang masuk, untuk merenovasi rumah, ibu. Memang benar, kalau, kamulah yang membiayai semua rumah, ibu. Tapi, apakah kamu lupa, kalau selama ini, kakaklah yang membiayai hidup kamu! Kakaklah, yang selama ini, banting tulang untuk melengkapi kebutuhan kamu! Dan, karena kakaklah, kamu menjadi sukses sekarang!" Sentak Mayang yang membalas telak ucapan sombong Dinda."Kakak! Kamu!" BersambungPOV DindaHati dan perasaanku saat ini benar-benar hancur. Bagaimana tidak, laki-laki yang namanya, selama ini aku sebut dalam setiap doaku, sudah resmi menjadi milik orang lain. Yang lebih menyakitkan lagi adalah, dia menjadi kakak iparku sendiri. Kalian, mungkin, tidak akan tahu rasa sakitnya seperti apa? Kami sangat dekat, tetapi, tak bisa aku sentuh. Tak bisa aku raih. Apa lagi, memilikinya. Kenapa?! Kenapa kamu lebih memilih dirinya?! Kenapa kamu lebih memilih, menjadi kakak iparku?! Kenapa kamu tak memilih aku?! Kenapa?!Harusnya, aku yang ada di sampingmu! Harusnya, aku yang tersenyum bersamamu! Harusnya, aku yang bersanding bersamamu! Harusnya, aku yang menggenggam jemarimu!Harusnya, aku yang jadi istrimu! Aku!! Bukan, Dia!Tapi, kenapa kamu malah memilih kakakku?! Kenapa? Kenapa, DEVANDI NARENDRA?!Bukankah, aku yang pertama kali mengenalmu,Bukankah, aku yang pertama kali, yang berbicara kepadamu,Bukankah, aku yang pertama kali, yang menikmati senyum hangatmu,Dan,A
POV Dinda 2Saat memasuki toko kue Cempaka, mata ini disuguhi oleh beraneka ragam macam kue. Mulai dari kue tart, bolu, brownies, cake dan yang lainnya. Mulai dari yang berukuran kecil sampai ukuran yang besar, yang pasti harganya juga bervariasi.Bagi orang berduit, mungkin mereka tinggal ambil kue yang mana mereka inginkan, tanpa harus melihat harga. Sedangkan kami, yang hanya berekonomi rendah. Ya, harus pikir-pikir dulu, kue mana yang cocok untuk di kantong.Dan, pada saat lagi asik melihat harga brownies, yang hendak mau aku beli. Tiba-tiba saja, ada seseorang yang memanggil aku dari belakang. "Anak Ayam, kamu sedang apa di sini?"Mendengar panggilan seperti itu. Aku merasa, kalau yang memanggil aku adalah... Dan, saat aku berbalik, ternyata benar kalau dia adalah Pak Dosen jutek itu, hhmm."Eh! Pak Dosen. Ini, aku mau beli brownies, he," ucapku sambil nyengir. "Bapak sendiri lagi apa disini?" Tanyaku balik kepada Pak Devan, yang sudah berdiri di hadapanku."Ya, sama dengan kamu
FlashBackBeberapa tahun sebelumnya,Sore itu, Dinda baru saja selesai mengikuti pelajaran. Tiba-tiba henphonenya berbunyi, setelah dilihat ternyata tertulis 'my sister'. "Assalamu'alaikum. Ya kak," ucap Dinda saat menjawab telepon dari kakaknya."Apa?! Di rumah sakit mana?!" Tanya Dinda yang berteriak karena terkejut mendengar penuturan kakaknya didalam telpon, hingga air mata Dinda menetes keluar. "Iya. Iya, kak. Aku akan segera kesana secepatnya. Tunggu, aku, kak!" Tutur Dinda yang mulai panik dan langsung mematikan teleponnya."Ada apa, Din? Kok, kamu tiba-tiba menangis, setelah menerima telepon," tanya Rani sahabatnya, yang terkejut melihat Dinda yang sudah berurai air mata."Ran, tolong antar aku ke rumah sakit Sekar Asih. Kakak aku kecelakaan, Ran! Dia ditabrak mobil!" Sentak Dinda yang menangis sambil memegang tangan sahabatnya itu."Astagfirullah! Yang sabar ya, Din. Tapi, keadaan kak Mayang, tidak apa-apa kan?" Tanya Rani yang juga terkejut mendengar berita yang disampaika
Setelah kepergian dosennya itu, Dinda tersenyum-senyum sendiri. Membuat Mayang jadi penasaran. Sehingga Mayang bertanya kepada adiknya itu,"Perasaan dari tadi kakak lihat, kamu tersenyum terus menerus, Dinda? Apalagi, semenjak mengantarkan dosen kamu itu. Apa kamu menyukainya? Hhmm," tanya Mayang kepada adiknya itu."Apa'an sih kak, tidak ada, kok. Siapa, juga yang suka sama dosen killer seperti itu. Sudah killer, dingin lagi kayak kulkas dua pintu," celetuk Dinda yang mencoba menutupi perasaannya kepada kakaknya sendiri."Ah, yang benar. Tapi kok, mukanya jadi merah begitu. Hhmm," sindir Mayang, sambil menggoda adiknya itu, dengan menaik turunkan alisnya."Apa'an sih, kak. Tidak ada waktu, untuk mengurus hal begituan. Mendingan, aku mengurus kakakku yang cantik ini, biar cepat sembuh," timpal Dinda lagi, sambil memeluk tubuh Mayang.Mendapat perlakuan seperti itu dari sang adik, Mayang jadi terharu."Doain kakak ya, biar cepat sembuh. Biar kakak bisa kerja lagi. Agar kamu tidak pus
POV MayangUmurku waktu itu, baru memasuki 14 tahun. Tapi, takdir sudah memaksaku, untuk menjadi tulang punggung dan kepala keluarga. Kepergian kedua orang tuaku, membuat aku, harus dewasa diumur yang masih muda.Sebagai seorang kakak, aku harus bertanggung jawab, atas kehidupan adikku, Dinda. Dan, demi kebutuhan dan kehidupan kami berdua, aku harus mengorbankan masa kecilku untuk mencari sesuap nasi.Ya, waktu itu, aku, harus rela berhenti sekolah untuk bekerja. dikarenakan juga, tidak ada biaya. Ayah dan ibuku tidak meninggalkan harta warisan atau barang berharga, apapun. Karena, kami memang bukan dari kalangan orang berada. Tetapi, beliau masih meninggalkan sepetak rumah. Walaupun, rumah itu, sudah tak layak huni.Dan, demi memenuhi isi perut kami, akupun bekerja jadi tukang cuci piring, disalah satu warung bakso. Meski, diupahi tidak seberapa, tetapi, alhamdulilah bisa membuat kami untuk makan.Seminggu aku bekerja di warung bakso, kejadian buruk hampir mengenaiku. Malam itu, aku
Pov Mayang (2)"Kamu telah mencuri hati, saya!" Sentak Pak Arman dengan tegas."Hah?!" Ucapku syok.Aku, yang mendengar penuturan dari Pak Arman, yang begitu tiba-tiba, malah menjadi syok dan terkejut."Maksud Bapak, apa, ya? Saya kurang mengerti?" Ucapku yang tidak paham atas ucapan beliau yang begitu tiba-tiba itu."Baiklah. Saya, akan ulangi ucapan saya sekali lagi. Tapi tolong, dengarkan baik-baik. Saya, suka sama kamu, Mayang. Kamu mau, jadi kekasih, saya?" Ucap Pak Arman to the poin."Apa?! Bapak lagi bercanda sama, saya, ya?" Tanyaku lagi dengan tersenyum canggung."Apa, saya kelihatan bercanda?!" Tanya Pak Arman dengan serius melihat ke arah mata ini.Mendengar ucapan Pak Arman, aku pun menggeleng cepat, "tidak, Pak.""Saya serius, Mayang. Kalau saya, benar-benar suka sama, kamu. Dan saya, ingin mengenal kamu lebih dekat." Pak Arman yang menjelaskan maksud dari ucapannya itu."Tapi, apa Bapak tidak salah, suka sama saya? Saya, cuma wanita rendahan lho, yang menjadi bawahan da
"Tidak akan ada yang menangisi kematian saya!""Ada! Aku!"Sejenak, Mayang tersadar dari lamunannya, Mayang baru ingat, kalau dia pernah mengucapkan 'kata' seperti itu kepada Arman. Saat menolong sang manager setahun yang lalu. Padahal waktu itu, Mayang hanya refleks mengucapkan kata seperti itu. Karena melihat situasi dari diri Arman itu sendiri, yang sudah tidak ada semangat lagi. Dan, Mayang merasa, kalau Arman butuh dorongan dan kepedulian seseorang, agar semangatnya tumbuh kembali.Dan, Mayang juga berfikiran, kalau waktu itu, Sang Manager kemungkinan mempunyai masalah serius dengan keluarganya. Sehingga beliau tak mempunyai semangat untuk tetap bertahan dan lebih memilih menyerah. Sehingga Mayang menjadi iba dan kasihan. Jadi, untuk mengembalikan semangat Arman, tanpa sengaja Mayang berucap seperti itu. Sehingga, hasilnya, Arman jadi kembali berjuang untuk hidupnya lagi.Tapi siapa sangka, kepedulian dan keceplosan yang diucapkan Mayang waktu itu. Membuat Arman, malah menyuka
"Aku tidak tahu sifat dan kepribadian dari bang Arman seperti apa. Aku takut nantinya kita akan menyesali dengan rasa nafsu yang sesaat ini. Kenapa aku bilang nafsu sesaat? Karena menurut aku sendiri. Abang mungkin menyukai dan merasakan cinta kepada aku itu, hanya semata-mata karena, aku pernah menyelamatkan hidup abang. Jadi, mungkin saja rasa yang abang rasakan sekarang, hanya sebatas balas budi atau rasa kasihan saja," terang Mayang sambil tersenyum ramah."Apakah seperti itu penilaian kamu terhadap aku, Mayang?" Tanya Arman pelan, mendengar penuturan dari gadis yang dia kejar-kejar beberapa bulan ini."Maaf, bang Arman. Aku hanya tidak ingin kecewa saja." Ucap Mayang cepat."Baiklah. Kalau begitu, mulai sekarang dan ke depannya, kita akan mulai saling mengenal terlebih dahulu. Biar kamu tahu Mayang, kalau aku benar-benar tulus dan cinta dengan kamu. Tidak ada namanya hutang budi, apalagi rasa kasihan!" ucap Arman dengan tegas.***Semenjak pembicaraan mereka berdua sore itu,