Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.
Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia.****Beberapa tahun yang lalu ...."Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan."Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito.""Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." "Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang nafas, dan berbalik sambil menepuk bahu Evan beberapa kali."Aku masuk dulu, kalo ada yang kau butuhkan, jangan sungkan menghubungiku."Pak Dimas kemudian berlalu, meninggalkan pos jaga di depan kantor bank terbesar di kota ini.Evan yang mendengar pesan pak Dimas, terdiam. Matanya terlihat basah. Pak Dimas adalah penolong hidupnya.Semenjak pertengkaran dengan Papanya, Evan membulatkan tekad untuk menikahi perempuan pilihannya tanpa bantuan dari sang Papa. Sudah banyak surat lamaran yang ia kirim. Namun tak satu pun yang berhasil.Untunglah dia bertemu dengan Pak Dimas, yang pada saat itu mencari bantuan karena mobilnya mogok di perjalanan. Sebagai tanda terima kasih, akhirnya Evan di angkat sebagai satpam di kantor yang mempercayakan perengkrutan karyawan out sourching-nya kepada perusahaan milik Pak Dimas."Bagaimana kerjanya? Aman kan?!" Nilla bertanya sambil meletakkan dua bungkusan dan dua botol minuman mineral di meja depan kursi yang Evan duduki. Siang itu, seperti biasa dia mengantarkan nasi pada lelaki yang berjanji akan menikahinya itu.Evan tersenyum, membiarkan si gadis yang di cintainya mengoceh di depannya tanpa ada niatan untuk menyela, perempuan cantik itu terus berucap sambil sibuk menyiapkan makan siang untuk Evan."Mas Albi ke mana, Bang?" Matanya meneliti di sekitar pos jaga. Mencari orang yang bernama Albi, teman piket Evan hari ini."Kamu cantik, Dik."Mendengar pujian yang di lontarkan oleh Evan, tiba tiba Nilla tertegun, berhenti mencari, dia menatap lelaki yang baru saja membuat pipinya blushing."Kamu, cakep banget," jawab Nilla, bibirnya tersenyum. Sambil menundukkan, malu.Terpancar bahagia di wajah kedua muda-mudi itu, hingga timbul senyum pula di bibir Pak Dimas yang memperhatikan mereka sejak Nilla datang dari lobi kantor.****"Belum pulang, Pak?" tanya Evan, sore itu ketika waktu sudah menunjukkan jam kantor usai.Pak Dimas tersenyum sambil menepuk bahu kiri Evan."Sini, sini duduk bersama, ada yang ingin kutanyakan."Pak Dimas merangkul bahu Evan dan menuntunnya duduk di kursi kayu panjang, di bawah jendela pos jaga."Kamu, sudah empat bulan kerja di sini kan, jadi bagaimana? Sudah terkumpul berapa dana yang buat nikahan?" tanya Pak Dimas. Tanpa memandangi orang yang di ajaknya bicara, lelaki separuh baya itu malah fokus menatap jalan yang penuh dengan hilir mobil dan sepeda motor."Alhamdulillah sudah terkumpul lumayan, Pak. Insya Allah, rencananya bulan depan, saya mau lamar sekalian nikah dengan Nilla. Yaa .... Sederhana, asalkan sah," jawab Evan dengan wajah yang terlihat lelah Namun bahagia."Alhamdulillah--"Tiba-tiba deru sepeda motor, memutus ucapan Pak Dimas."Nilla!" jerit Evan dengan suara tertahan. Hingga tanpa sadar melangkah pergi mendekati kekasihnya, hingga terlupa pamit pada pak Dimas.Nilla, turun dari sepeda motor dengan muka sembab dan masih basah karena air mata. Dia langsung melangkah ke arah Evan."Kita ... putus--"Dengan tersengal-sengal, Nilla mengucapkan kata itu."Putus?! Kenapa, ada apa? Jangan membuatku berpikir yang bukan-bukan. Kita sudah berjuang bersama, Sayang. Kita sudah ada di depan pintu, selangkah lagi kita sah. SAH!"Dengan emosi, Evan menjawab ucapan Nilla. Di peluknya tubuh wanitanya dengan erat."Lepas!" sentak Nilla, sambil melepaskan badannya dengan paksa dari rengkuhan Evan."Aku tidak mencintaimu ... aku benci, BENCI!"Dengan emosi, Nilla berucap sambil terisak. Berpaling dan berlari menuju tempat orang tadi yang masih menunggunya di atas sepeda motor.Tertegun Evan mendengar ucapan Nilla. Matanya menatap nanar memandangi Nilla yang menjauh dari pandangan.Pak Dimas pun segera pergi meninggalkan pos jaga dengan diam-diam. Membiarkan Evan yang tergugu melihat kepergian kekasihnya.****"Mungkin Nilla sudah menemukan kebahagiannya, Van. Dan Sekarang waktunya kamu yang harus memilih, bertahan atau melepas?" ujar pak Dimas sambil menatap lekat lekat pria tampan di depannya, pria yang merupakan duplikat dari perempuan yang di cintainya.Ucapan pak Dimas, seperti mampu membuat Evan kembali ke dunianya."Ya ... saya paham, Pak!" jawab Evan yang menepis bayangan masa lalunya saat bersama Nilla."Dan, apa pilihanmu?" kejar pak Dimas."Saya akan mencoba bertahan, karena niat baik pasti akan menjadi baik pula hasilnya.""Itu benar, ya ... kau benar. Segala sesuatunya tergantung dari niatnya."Tampak senyum lebar menghiasi bibir pak Dimas."Lalu apa rencanamu setelah ini, akan tetap tinggal bersama dengan mertuamu, atau mau memperkenalkan istrimu pada Papamu dan tinggal bersamanya, atau ...?"Pak Dimas memberikan isyarat dengan bahunya, saat menggantung pilihan yang ia ucapkan untuk Evan.Evan tertawa saat mendengar pilihan terakhir yang pak Dimas ucapkan. Memperkenalkan pada sang Papa, dan menetap di sana. Itu sangat tidak pernah berani ia bayangkan.Evan teringat pada janji yang ia ucapkan di depan rumahnya, bahwa tak akan kembali lagi kalau bukan orang yang dia kenal bernama Papa yang memanggil.****Kilas lalu"Ada angin apa yang membuatmu mau datang ke rumahku, Dimas?" .Seorang pria dengan penampilan flamboyan, menyambut tamu yang baru saja diantarkan oleh salah seorang satpam yang bertugas menjaga. Pagi itu."Tak usah basa-basi yang memuakkan, Hen. Kapan kamu berhenti menyakiti perasaan anakmu sendiri? Apa kau lupa kalau yang mengalir di badannya itu adalah darahmu!"Setengah berusaha memendam emosi, Dimas menatap mata si tuan rumah."Hahahahaha ...."Bukannya menjawab, pria yang bernama Hendra malah tertawa keras sekali."Sejak kapan kau perduli dengan apa yang kulakukan? Evan anakku, tak ada hubungannya denganmu." sinis Hendra menjawab sambil membalas tatapan Dimas."Darahku memang tidak mengalir di badannya, tapi kau lupa. Darah Sinta, perempuan yang paling kucintai, ada di nadi Evan.""Ooo ... jadi kau masih mencintai istriku yang sudah mati itu? Kasihan sekali kamu, Dimas!" ejek Hendra, sambil memalingkan badan hendak kembali duduk ke kursi kebesarannya yang berlapis emas.Bruuugh!Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi. Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit."Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut."Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa."Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra."Aku tahu, kamu pasti sudah mengira sia
"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan."Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua." Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan. "Benar, Pak-!"Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas, "Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya."Hahahahahah!"Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan."Gratis lagi!" sambung pak Dimas."Hahaha!" Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti."Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan
Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi."Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan." Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!" Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.
"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan
Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr
"Pak ...!"Sapa seorang lelaki separuh baya, Namun, masih tampak gagah. Dengan di dampingi oleh empat orang yang ke semuanya menggunakan jas putih, baru saja masuk ke dalam ruangan yang mempunyai interior ruangan sangat fantastik.Empat orang lelaki yang mengawal itu membungkukkan sedikit badannya di depan seorang lelaki dengan bergaya flamboyan yang sedang duduk di kursi kebesarannya di belakang meja. Tengah memberikan pandangan yang sangat familer.Lelaki yang sering di panggil dengan sebutan om Tyo itu pun langsung duduk di kursi yang tersedia di depan meja, setelah lelaki yang tadi ia beri hormat, menganggukkan kepala.Begitu pun dengan empat lelaki berjas putih yang tadi mengantarkan Om Tyo, mereka juga segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu rapat rapat, setelah mendapatkan isyarat untuk pergi."Bagaimana, apakah kau sudah mengatakan apa yang aku ingin ucapkan untuk si Ali?!" tanya pak Hendra setelah pintu ruangannya di tutup sangat rapat."Sudah, aku sudah katakan, sudah
Evan mengguncangkan bahu istrinya setelah sebelumnya mematikan mesin mobil."Dik, bangun kita sudah sampai," ujar Evan berulang ke dua kalinya.Isaura langsung membuka matanya, dan mengerjapnya berulang kali.Tampak di hadapannya, sebuah rumah minimalis berlantai dua bernuansa biru dan putih, di halaman depan sebatang pohon mangga besar dengan daun yang lebat, hingga menambah sejuk udaranya."Ayo masuk!" ajak Evan yang sudah membuka pintu mobil dengan mengulurkan tangannya ke arah Isaura."Te ... Terima kasih ...."Dan entah apa yang ada di benaknya, Isaura pun menerima uluran tangan kanan Evan untuk menggandengnya masuk ke dalam rumah.Cekrek!"Kok nggak di kunci? Di dalam ada orang kah?" tanya Isaura saat melihat dengan begitu mudahnya Evan masuk ke dalam rumah.Tak ada jawaban, Isaura terus membuntuti langkah suaminya yang kini berhenti di batas pintu ke dua. "Assalamualaikum!" sapa Evan sambil tersenyum pada istrinya, sedangkan tangan kirinya meletakkan tas koper di lantai."Wa a