"Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak
Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas
"Mas, beras sudah habis. Tinggal satu cangkir. Itu pun nggak penuh." Aku mengangsurkan cangkir berisi beras ke hadapannya, suami yang menikahiku sepuluh tahun silam. Mas Ilham berdiri dan meletakkan ponselnya. Menatapku tajam dan nyalang. Seakan hendak menerkam diri ini. "Beras, sabun, token, sampai garam semua kau keluhkan padaku, Ratna! Apa tidak bisa kau itu pikir sendiri!" Sahutnya bengis. Lalu meraih ponselnya dengan kasar, kemudian melangkah keluar rumah setelah membanting pintu. Aku mengerjap, kemudian menatap bayangan tubuh suamiku dari kaca jendela. Kuremas ujung daster lusuh ku. Sakit rasanya, setiap kali aku meminta kebutuhan rumah tangga yang sejatinya adalah kewajiban mas Ilham, setiap kali pula aku harus menelan ratusan kata makian. Padahal, mas Ilham dulu adalah lelaki yang santun, lagi penyayang dan lembut. * "Rat, mau numis daun pepaya lagi?" Suara Bu Nina menghentikan kegiatan tanganku yang baru saja hendak memetik pucuk daun pepaya. Aku menoleh lalu terseny
"Mama kok bengong? Papa marahin mama lagi, ya?" Azizah, gadis manis hasil dari pernikahanku dengan mas Ilham, tiba-tiba memeluk leherku dari belakang. "Nggak kok, sayang. Mama cuma sedikit ngantuk." Jawabku sambil mengusap pipinya yang sedikit chubby. Azizah memang baru berusia sembilan tahun. Namun terkadang masih manja dan sering gelendotan. "Ya udah mama tidur. Zizah mau ngerjain PR di ruang tamu. Jadi, kalo papa pulang nggak usah teriak-teriak manggil mama." Ucapan putriku sungguh membuat nyeri dada ini. "Nggak ah. Mama mau tidur di sofa aja. Sambil nemenin Zizah ngerjain tugas sekolah. Yuk." Ajakku seraya berdiri. Azizah mengangguk, dan kami melangkah menuju ruang tamu yang cukup besar dengan sofa terbaik. Bapak mertuaku dulu memang memberi rumah ini berikut isinya. Lengkap, semuanya ada. Dari tempat tidur, kulkas, bahkan mesin cuci dan televisi besar pun kami miliki. Namun sayang, sudah hampir satu tahun kami terpaksa harus hidup sederhana. Tepatnya ketika mas Ilham dipecat
Seperti biasa, aku sudah sibuk dengan pekerjaan rumah begitu selesai sholat subuh. Mencuci pakaian menjadi hal pertama yang kukerjakan. Setelah semua selesai, segera kubersihkan kamar tamu. Mengganti seprai dan membuka jendela untuk beberapa jam ke depan sebelum ibu mertuaku datang. Agar udara segar masuk dan membawa pergi debu-debu di dalam kamar. Tak lupa ku bersihkan kamar mandi, mengecek kran air dan lampu. Semua harus sempurna agar mas Ilham tidak rewel. Jam menunjukkan pukul enam pagi ini. Segera ku siapkan bekal untuk Azizah, dan sarapan nasi goreng untuk mereka berdua. Aku nanti saja, setelah mereka kenyang.Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Aku mendongak dengan kening mengkerut melihat penampilan mas Ilham. "Mas, mau kemana?" Tanyaku keheranan. "Banyak tanya! Mana kopiku?" Bukannya menjawab, ia malah menanyakan kopi."Nggak ada, habis." Jawabku. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil piring."Gimana bisa habis? Duit yang kemarin aku kasih, masa cuma buat beli ko
Mas Ilham sudah pergi. Entahlah dia pergi kemana. Tak sabar menunggu dia pulang nanti dan akan kutanyakan dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli tas.Seperti biasa aku masih menjadi pendengar setia bagi ibu, yang tak henti bercerita tentang kedua menantunya yang lain. Yang setiap bulan pergi jalan dan selalu pulang membawa oleh-oleh untuknya. Ya, secara tak langsung Bu Fatimah seolah menyindirku. Aku hanya tersenyum menanggapi setiap ceritanya.Sebetulnya bisa saja kuceritakan semuanya pada ibu mertuaku itu. Tentang kebohongan mas Ilham, tentang betapa susahnya hidup kami saat ini. Namun aku masih menjaga ucapan agar tidak membuka aib anaknya, harga dirinya dan akibat apa yang akan kuterima kelak bersama Azizah. Sabarku masih banyak untuk menghadapi suamiku, selama ia tidak terendus memiliki wanita idaman lain. Namun jika itu sampai terjadi, demi apapun aku tidak segan menuntutnya cerai. Semoga saja tidak pernah terjadi. Lagi pula, wanita mana yang mau diselingkuhi oleh pria
Ibu sedang di kamarnya bersama Azizah saat mas Ilham pulang. Segera ku ikuti langkahnya memasuki kamar kami. "Mas, aku mau bicara sama kamu." Ujarku. Mas Ilham melepas blazer yang dikenakannya kemudian melemparkan sembarang."Mas, kamu dapat uang dari mana buat beliin ibu tas?" Ulangku. Gemas melihat tanggapan suamiku yang cuma melirik padaku sekilas saja. "Kamu bisa berhenti mengoceh nggak sih? Suami baru pulang bukannya dikasih minum, dikasih sambutan hangat, ngoceh melulu!" Hardiknya. Tapi kali ini aku tak diam. Aku terus membuntutinya hingga ia hendak masuk kamar mandi. "Mas, kamu cuma perlu jawab dari mana uang buat beliin ibu tas?! Aku tahu selera ibu. Kalau barang jelek dan KW, ibumu tidak akan sesuka itu!" "Kenapa, kamu cemburu?" Tanyanya. Aku menggeleng tak percaya. Apakah selama ini, aku protes ketika ia berbaik hati pada ibu dan saudaranya?"Jawab!" Ulangku dengan mata melotot. "Kamu itu lebih bela-belain beliin tas buat ibumu, sedangkan aku dan anakmu setiap hari me
"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny