"Greta? Kenapa kamu terlihat sangat terkejut? Aku tahu kamu pasti kesal karena dia melukai tulang ekormu, tapi dia sangat tampan sehingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya..." Amy bergumam sambil berganti pakaian menjadi seragam dapur. Greta meringis, "Apakah kamu benar-benar menyukainya? Maksudku, apakah kau jatuh cinta padanya?" tanyanya sambil membuka lokernya dan meletakkan semua barangnya di sana. Amy tersenyum malu-malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dengan rona merah di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi jantungku berdetak sangat kencang setiap kali dia berada di dekatku!" Greta mengangkat alis, "Setiap kali dia berada di dekatmu? Sudah berapa kali kamu bertemu dengannya?" tanyanya dengan sangat penasaran. "Um..." Amy mengangkat dua jari, meringis. Greta melotot, "Dua kali? Kamu hanya melihat Ryan Lewis dua kali dan kamu tahu jantungmu berdebar setiap kali berada di dekatnya?" serunya, dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ami merengut
Ponsel Greta berdering tepat setelah dia tiba di apartemennya, sebuah dari ibunya. Dia mengklik tombol hijau dan meletakkan telepon dalam mode pengeras suara. "Hai, Bu!" sapa Greta ringan, berusaha keras menyembunyikan kelelahannya. "Greta, kamu sudah pulang?" “Ya, aku baru saja sampai rumah , ibu sedang apa? Apakah ayah bersamamu?” tanya Greta sambil melepas sepatu Chef-nya. Dia meringis saat melihat kemerahan di kedua kakinya. "Aku di sini sayang, bagaimana hari pertamamu?" Itu adalah suara ayahnya. "Hi Ayah! Um, bagus, aku mendapatkan partner kerja yang sangat baik dan restorannya sangat ramai, sama sekali tidak membosankan!” oceh Greta, ia berdiri dan berjalan ke lemari es untuk mengeluarkan sekaleng bir lalu duduk di atas sofa. "Terdengar menyenangkan! Jadi siapa Koki Eksekutifnya? Apakah kami mengenalnya? Maksudku biasanya, aku dan ayahmu mengenali beberapa Koki Michelin Star," gumam Gabriel Spectre, ayah Greta. Greta bisa membayangkan pasti ibunya sedang menganggukkan ke
“Apakah kau marah padaku hanya karena aku mengatakan kepada Chef Ryan bahwa kita berkencan?” Liam mengejek sambil mendekatkan wajahnya kepada Greta yang sibuk menguleni adonan. Greta mengambil napas dalam-dalam, ini adalah kali keempat Liam bertanya hal yang sama."Berapa kali aku harus menjawab bahwa aku sama sekali tidak marah, jika kau bertanya padaku sekali lagi, aku mungkin akan benar-benar marah!" sahut Greta seraya melemparkan cangkang telur ke tangannya dengan marah.“Whoa, lihatlah dirimu! Jadi kau berani bersikap kasar padaku sekarang? Greta, aku seniormu di sini, nilai magangmu tergantung padaku, jadi sebaiknya menjaga sikapmu, atau aku tidak akan ragu-ragu untuk memberi nilai yang buruk untukmu!” oceh Liam, wajahnya terlihat sangat menjengkelkan. Bagaimana mungkin Greta sempat berpikir bahwa Liam adalah teman kerja yang baik? Ia benar-benar tidak bisa membaca karakter orang!Ia menatap Liam untuk waktu yang lama, kemudian mengangguk, "Okay kalau begitu," ia menjawab kemudi
Greta menggigit bibirnya dengan keras, dengan putus asa mencoba untuk mencegah air mata agar tidak jatuh. "Jangan coba-cona menangis, aku tidak akan melembut hanya karena kau seorang wanita, air mata itu tidak akan berguna!" Ryan berteriak dengan lengan terlipat di depan dada. Greta menelan ludah, matanya menatap Ryan dengan tajam, dia bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan pernah menumpahkan air mata di depan pria yang arogan itu. Meskipun Greta tidak memalingkan wajahnya ke arah Liam, ia tahu Liam sedang tersenyum puas mengejeknya. “Liam, kau bertanggung jawab atas semua ini, kau tahu itu bukan?” desis Ryan, menatap dingin ke arah Liam. “Ya Chef, saya akan mengambil tanggung jawab penuh atas kejadian hari ini!” sahut Liam, menegakkan punggungnya. Greta merasakan perutnya seperti di pelintir, tiba-tiba ia merasa aneh dengan situasi yang sedang ia hadapi itu, apakah seseorang sengaja melakukan hal itu kepadanya? "Dan kau," Ryan memandang kembali ke arah Greta, "Jika aku menda
“Di mana Liam?” Ryan tiba-tiba muncul di ujung Pastry Section, dia sudah mengenakan jaket Chefnya dan terlihat tampan seperti biasanya. Greta bangkit berdiri, "Dia baru saja mengirim pesan bahwa dia demam dan tidak bisa datang bekerja hari ini," jawab Greta muram.“Apakah kau sudah menyiapkan kue untuk brunch hari ini?” tanya Ryan sambil berjalan mendekat ke arah Greta."Yeah, sedang aku siapkan," jawab Greta sambil membungkuk untuk mengeluarkan tepung dari dalam lemari. Tepat saat itu dari tempatnya berdiri Ryan tidak sengaja melihat deretan Crème Brule berbaris di dalam sana. Dia mengerutkan keningnya, "Apa itu?" tanyanya, menunjuk ke sepuluh Crème Brule yang telah menjadi penyebab masalah tadi malam.“Sepuluh Crème Brule yang hilang tadi malam,” jawab Greta dengan tenang.“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud?” Ryan bertanya dengan tidak sadar. “Mengapa kau meletakkan dessert itu di sana? Ah aku mengerti sekarang! Jadi kau meletakkan semua dessert itu di sana lalu kau lupa, iya k
Satu jam kemudian,Greta sedang sibuk mengatur kue di piring pajangan ketika Amy masuk ke dapur dengan wajah muram yang sama sekali berbeda dari yang dia tunjukkan tadi pagi. Tidak ada lagi senyum lebar di wajahnya. Greta bisa saja pura-pura bertanya, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya dan menyibukkan diri dengan apa yang sedang dia lakukan.Tidak lama kemudian, dia melihat Amy melepas celemeknya, ia juga mengeluarkan ponselnya dari laci lalu berjalan menuju loker tanpa mengatakan apapun kepada siapapun. "Amy! Kau mau kemana?!" Greta mendengar Terry berteriak pada Amy, tetapi Amy terus berjalan pergi tanpa menjawabnya.Greta menghela nafas panjang, dia tahu Ryan tidak akan memberi kesempatan pada Amy, apa yang dilakukan Amy adalah sesuatu yang sangat kekanak-kanakan dan merupakan kesalahan yang disengaja.“Alex, bisakah kau membawa ini ke meja prasmanan? Aku harus ke toilet sebentar,” kata Greta kepada seorang pelayan yang kebetulan memasuki area dapur. "Oke tidak masalah!" kat
Greta sedang mengaduk kopi hitamnya ketika ponselnya berdering keras, panggilan video dari kakak iparnya, Rachel. Ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ponselnya ke pintu kulkas agar ia bisa berbicara sambil membuat roti panggang."Hei, kau belum berangkat kerja?" Rachel bertanya dengan riang."Aku mendapat shift sore, apa yang kau lakukan? Apakah kau sedang bersama Noah?" tanya Greta, Noah adalah kakak Greta, suami Rachel."Tidak, dia ada di kantor, aku sedang istirahat untuk pemotretan, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu!" Suara Rachel terdengar begitu bersemangat hingga membuat Greta menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti panggangnya. Ia menatap ke arah kamera dengan wajah ingin tahu, "Ada apa?"Rachel tampak mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya lalu menunjukkannya kepada Greta."Apa itu?" tanya Greta dengan kening berkerut."Kau benar-benar tidak tahu apa ini ?!" Rachel menggeleng tak percaya. Greta hanya meringis sambil menggaruk k
Greta mendongak, langit tampak mendung tapi belum turun hujan. Ia menarik merapatkan mantelnya dan berjalan menyusuri trotoar dengan santai. Belakangan ini, ia lebih suka jalan kaki dari pada naik kendaraan. Dengan berjalan kaki lebih banyak hal yang bisa ia lihat dan itu bisa membuatnya merasa lebih tenang.Beberapa menit kemudian ketika dia baru berjalan beberapa meter jauhnya, hujan mulai turun dengan derasnya. Ia mendongak terkejut lalu bergegas ke halte bus terdekat dan berdiri agak ke belakang agar tidak terciprat air hujan. Normalnya ia akan merasa kesal, tapi ia tidak tahu mengapa ia merasakan kedamaian di hatinya saat melihat air hujan itu. Ia melangkah ke depan halte bus lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh air yang sejuk dengan jari-jarinya yang sedikit pucat karena dingin yang menerpa.Ada rasa sesak di dadanya, sesak yang muncul di saat-saat yang seringkali tak terduga. Entah kenapa, Greta selalu merasa kesepian, mungkin karena alam bawah sadarnya masih dilanda peng