Share

Bab 2

KEMBALI

Tujuh Tahun Kemudian…….

Ratna terduduk di sebuah halte dekat salah satu taman yang ada di kota Jakarta. Ia memandang kosong kendaraan yang lalu lalang di depan matanya. Sesekali ia juga menyeruput teh poci yang tadi sempat ia beli di penjual kaki lima sekitar taman. Sebenarnya, ia saat ini merasa gamang dengan keputusannya untuk kembali menginjakkan kaki di Kota Jakarta yang menyimpan kenangan pahit di dalam hidupnya. Namun, ia mencoba untuk meyakinkan diri dan mencoba untuk berpikir positif.

Ratna mengibaskan tangan karena merasa gerah. Beradaptasi dengan cuaca Jakarta saat ini bukanlah suatu hal yang mudah. Bagaimana tidak, tujuh tahun ini Ratna hidup di kota Bogor yang jelas-jelas mempunyai cuaca dan suhu yang sangat dingin. Bogor tidak panas.

Ratna menatap kosong kendaraan yang lalu lalang sambil memikirkan langkah apa selanjutnya yang harus diambil setelah ini. Hingga tiba-tiba …

“Ratna Aprilia!”

Seseorang memanggil namanya dengan berteriak sehingga Ratna terkejut bukan kepalang. Ratna tersenyum dan langsung mengenali siapa pemilik suara itu sehingga ia menoleh ke sumber suara. Ratna langsung berdiri dan melambaikan tangan ke arah wanita yang memanggilnya tadi. Ia terkejut dengan penampilan wanita itu yang semakin cantik. Wanita berkulit sawo matang dan berambut sepunggung, itu Risti.

Wanita itu adalah sahabatnya sejak SMP dan bertahan sampai saat ini, meskipun keduanya terpisah oleh jarak. Ketika Ratna sedang dirundung oleh kemalangan dalam hidupnya, Risti tidak pernah absen untuk mengunjunginya di Bogor. Uniknya lagi, Risti selalu mengulurkan tangan dengan tulus ketika Ratna sedang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Setelah  keduanya saling berhadapan, Risti meneteskan air matanya dan langsung memeluk Ratna dengan sangat erat.

“Ya Allah, Ratna apa kabar?” tanya Risti di dalam pelukan.

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja,” jawab Ratna yang tak kuasa menahan air matanya.

“Eh, ayo kita cari tempat makan dulu. Kau pasti belum makan, kan?” saran Risti yang diangguki oleh Ratna. Akhirnya keduanya pun mencari tempat makan yang jaraknya dekat untuk mengobrol.

Lima puluh meter jaraknya dari taman tersebut, mereka berdua menemukan tempat makan yang menurut penilaian cocok untuk dijadikan tempat mengobrol. Setelah duduk di kursi, Risti pun memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman.

“Omong-omong, bagaimana proses pindahanmu, Rat, lancar?” tanya Risti membuka obrolan.

“Alhamdulillah, sih, Ris, lancar semuanya. Untung aku ngikutin saranmu untuk menggunakan jasa pindahan. Jadi enggak sampai sehari semua barang pindahan sudah terurus semuanya,” jawab Ratna sambil mengibaskan tangannya akibat merasa sangat gerah.

“Kenapa kamu Rat, enggak  kuat, ya, dengan panasnya udara Jakarta?” tanya Risti yang sedikit merasa lucu dengan sikap sahabatnya yang kepanasan.

“Iya, habis enggak kayak cuaca di Bogor,” ucap Ratna dengan wajah yang sedikit cemberut.

“Halah, tenang saja nanti bakal bisa adaptasi, kok.” Risti mencoba menenangkan. “Oh ya, mohon maaf aku tidak bisa membantu proses pindahan kamu tadi. Habisnya Aurel hari ini rewel banget. Gak tahu dah kenapa tuh bocah,” sambung Ratna dengan menundukkan kepalanya menyesal.

“Santai aja, lagian ada petugas yang udah ngurusin, kok. Kamu sudah membantuku untuk mencari rumah baru, aku sudah berterima kasih banget,” jelas Ratna mencoba untuk menenangkan.

“Ya, udah deh. Nanti aku bakal main ke rumahmu dengan Aurel,” hibur Risti.

“Oh ya Ris, katamu Aurel lagi sakit. Terus sekarang kamu tinggalin sama siapa tuh anakmu sekarang?” tanya Ratna sambil celingukan, pasalnya ia tidak melihat Aurel anak sahabatnya.

“Ohhh, Aurel lagi sama Papanya. Untung Mas Fajar lagi libur kerja jadi aku bisa nemuin kamu di sini," jawab Risti. “Oh ya, bagaimana dengan rumah barumu? Cocok, enggak?”

“Alhamdulillah, cocok Ris dan sesuai dengan foto yang kamu kirim ke W* aku. Aku suka.” Ratna tersenyum bahagia karena rumah yang dipilihkan Risti sangat bagus.

“Ya udah, kalau kamu suka, Rat.”

Setelah itu tidak ada obrolan lagi karena makanan dan minuman mereka telah sampai. Setelah itu keduanya makan dalam diam. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas siang sehingga cuaca kota Jakarta semakin menyengat. Ratna semakin kelimpungan mencari angin segar.

“Panas, Ris,” ucap Ratna yang sudah tidak kuat dengan cuaca Jakarta saat ini.     

Risti yang melihat sikap Ratna pun  tertawa dengan keras. ”Haha ... dasar! Kamu, sih, kelamaan tinggal di Bogor jadi kena panas sedikit kamu sudah ngeluh.”

“Sumpah, panas banget di sini. Kukira masih sama seperti dulu, tapi nyatanya makin panas aja nih kota. Misal, ya, aku meletakkan telur ceplok di atas kepalaku pasti auto matang,” ucap Ratna kesal.

“Iya sih, memang. Asal kamu tahu ya, pas Mas Fajar ngajak aku pindah ke kota ini baru dua hari saja AC tidak mati sama sekali."  Ratna mengangguk membenarkan.

“Tuh, kamu aja ngeluh apalagi aku, Ris? Oh ya, omong-omong kamu udah  nemu ruko yang aku inginkan?”

“Kemarin Mas Fajar lihat beberapa ruko di dekat rumahmu. Katanya ada beberapa, sih, yang dijual. Nanti kalau kamu mau lihat, aku temenin, deh,” jawab Ratna.

“Omong-omong, kamu mau menjual ruko yang kamu omongin ke aku pas di telpon kemarin?”

“Rencana sih, iya. Habisnya aku punya mimpi punya toko jadi aku bisa jual barang lainnya,” jelas Ratna.

“Oh, ya udah, deh, bagus kalau gitu,” komentar Risti.

Setelah kepergian Ratna dari rumah suaminya, ia memutuskan untuk tinggal di kota Bogor. Dengan berbekal tabungan mandiri seadanya, ia memutuskan untuk membangun sebuah bisnis kontrakan dan kos-kosan. Awalnya ia ragu untuk membangun bisnis tersebut karena belum mempunyai modal yang cukup. Akan tetapi, Risti menyarankan untuk meminjam dari bank sementara dan Ratna menyetujuinya. Beruntung bisnis Ratna berjalan lancar dan menghasilkan uang yang menurutnya cukup untuk menghidupinya.

“Eh, Omong-omong aku harus pulang dulu, Rat,” ucap Risti tiba-tiba.

“Kamu mau pulang, kenapa?” Ratna mengernyitkan dahinya heran.

“Aku khawatir kalau Aurel lagi sama Mas Fajar,” ucap Risti dengan risau.

“Hah? Khawatir gimana? Bukannya bagus, ya, kalau Fajar di rumah? Jadi kalian bisa gantian momong Aurel,” Ratna terkejut dengan alasan sahabatnya.

“Iya, bagus, sih. Tapi tahu enggak, kemarin pas aku tinggal beli royco di toko sebelah, tuh anak ga berupa anak.”

“Hah? Ga berupa bagaimana?’’ Ratna semakin heran dengan ucapan Risti.

“Ya gitu, Aurel kan dimandiin tuh sama Papanya. Masak iya, Aurel dibedakin dan dikasih minyak telon sebadan. Mana anaknya diem lagi pas digituin Mas Fajar.”

“Hahaha … ada ada aja deh, mesti kebiasaan tuh suamimu.” Ratna tidak menggelakkan tawanya ketika mendengar cerita Risti.

“Ya udah deh, aku pamit dulu ya,” pamit Risti dan cipika-cipiki dengan sahabatnya sebelum tersebut berpisah.

Setelah merasa Risti sudah jauh dari pandangannya, Ratna pun mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan tempat makan tersebut. Ia kemudian naik ke mobil dan menuju ke sebuah tempat. Ia turun dari mobilnya dan menunggu seseorang. Tak beberapa lama ia melihat orang yang ia tunggu dan ia sayangi, Ratna melambaikan tangan sehingga membuat orang tersebut menghampirinya.

“Apa kabar, Sayang?” sapa Ratna pada orang tersebut sambil mengecup pipinya penuh sayang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status