Share

Love At First Sight

Raynald mendapati rumahnya telah kosong dan kembali sunyi. Laura telah pulang. Mungkin beberapa jam yang lalu, atau mungkin saja bebebarap menit yang lalu. Dan membayangkan Laura yang menunggunya di sini sendirian, telah membuatnya merasa bersalah. Ia menatap seisi rumahnya. Puluhan bunga masih terpajang di sana. Bukankah seharusnya malam ini adalah malam terpenting bagi mereka berdua? Bukankah seharusnya malam ini dia bisa melihat air mata bahagia dari Laura? Bukankah seharusnya ia menghabiskan waktunya bersama Laura malam ini?

Raynald menjambak rambutnya frustasi. Dan dengan kasar ia menendang sebuah bunga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.  Merasa kesal dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini pada Laura. Ia berjalan mendekati sofa dan melemparkan jasnya di sana. Menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Namun tak berapa lama, Raynald bangkit dengan cepat. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel di sana. 

“kamu sudah tidur?”

Ia mencoba mengirimkan pesan singkat untuk Laura. Setelah yakin pesan itu terkirim, Raynald melepaskan ponsel yang masih menyala itu di atas meja. Ia menunggu tanpa sabar. Menautkan kesepuluh jarinya di depan wajahnya tanpa melepaskan pandangannya dari ponsel yang kini tergeletak. Menunggu bunyi atau getar. Dan pada menit ke lima, benda itu kembali menyala. Dengan gerakkan terlalu cepat Raynald meraihnya dan membuka pesan balasan dari Laura.

“Belum. Kamu sudah pulang? Tadi aku sempat nunggu, tapi karena takut kemalaman, jadi aku pulang.”

“maafin aku, Lau.” Hanya itu yang bisa ditulis Raynald. Ia kembali meraup wajahnya dan kembali menunggu balasan Laura.

“It’s Oke. Tapi aku tetap menunggu penjelasan kamu.”

Raynald memijit keningnya yang terasa berdenyut. Iya, dia masih sangat ingat dengan janjinya. Janji bahwa ia akan menjelaskan semuanya pada Laura sekembalinya. Tapi itu tadi. Sebelum dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dan saat ini, ia benar-benar tidak yakin akan sanggup menjelaskannya pada Laura. Dengan cara apa? Apa yang harus ia katakana? Meminta Laura merelakan dirinya untuk kembali bersama Lexa? Walaupun ada kata berpura-pura terselip di dalamnya, sakitnya pasti tetap akan sama. Raynald melepaskan ponselnya di atas meja, merebahkan tubuhnya kembali di sofa dan menutup pandangannya dengan lengan kekarnya. 

“Sekali lagi. Maaf, Lau. Jangan malam ini.” Gumam Raynald pada dirinya sendiri. Dan Raynald pun meninggalkan Laura dengan jawaban semu yang diciptakannya sendiri. Kemungkinan-kemungkinan tak berujung yang tak akan pernah membuat Laura puas.

***

Untuk ketiga kalinya, Laura kembali menatap layar ponselnya yang masih tetap tak menyala.  Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Membiarkan kakinya menggantung tak menapak lantai. Ia masih belum ingin tidur. Walaupun harapannya pada Raynald sudah ia lupakan. Mungkin Raynald sedang lelah. Mungkin Raynald tertidur. Mungkin Raynald sedang banyak fikiran. Dan baru Laura sadari, sejak kepergian Raynald yang begitu tiba-tiba tadi, ia sudah banyak menciptakan kemungkinan-kemungkinan di kepalanya. Ia hanya ingin mencoba mengerti Raynald. Hanya ingin mempercayai Raynald. Hanya itu. Ia hanya tak ingin, hubungan yang susah payah dirajutnya dengan Raynald akan kandas hanya karena pudarnya kepercayaannya terhadap Raynald. Laura yakin, Raynald akan menjelaskannya padanya, tapi mungkin saat ini waktunya memang belum tepat. Ah! Laura mendesah, lagi-lagi ‘mungkin’. Namun, begitu lah. Ia terlalu mencintai laki-laki itu. Bahkan, ia tak memungkiri kalau dulu, dirinya lah yang pertama kali jatuh cinta pada Raynald. 

Malam, membawa Laura kembali pada kenangan masa lampau. Ketika ia pertama kali bertemu dengan Raynald.

***

Laura melirik jam tangan kecil yang melingkari pergelangan tangannya yang tak kalah kecilnya. Dari dulu ia sangat benci menunggu. Apa pun alasannya Laura akan lebih memilih tidak datang dari pada harus menunggu. Dan lihat apa yang sudah dilakukan sahabatnya saat ini padanya. Membiarkannya menunggu sendirian di depan sebuah gedung teater. Melihat benda itu telah menunjukan pukul Sembilan malam,  rasa kesal Laura semakin menjadi-jadi. Ia kembali berdiri dan mencoba berjalan sedikit, menoleh ke ujung jalan berharap menemukan sosok Angel. Tapi tetap saja, gadis bermata hitam pekat dan berambut pirang itu tak tertangkap di matanya. Laura menghentakan kakinya kesal, sementara beberapa pengunjung mulai memasuki gedung teater satu persatu. Ia sudah merancang omelan untuk Angel sedemikian rupa saat gadis itu datang nanti. Ia akan mengomeli Angel habis-habisan. Dan mungkin Angel harus diberi sedikit pelajaran. Mungkin, Laura harus mendiamkan sahabatnya itu beberapa hari. Atau mungkin dia harus..

Sebuah HR-V putih yang melaju begitu kencang saat itu berhenti tepat di depan Laura. Ia mengerjap. Pasalnya ia terlalu sibuk memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti saat bertemu dengan Angel, hingga begitu tersentak saat HR-V itu menginjak rem di depannya. Laura mencoba mundur perlahan. Dan saat itu, jendela kaca mobil diturunkan dan menyembullah kepala Angel dari sana. Baru saja Laura hendak membuka mulut untuk angkat bicara, Angel segera mengambil alih. 

“Sorry. Sorry,” ucap gadis itu cepat seraya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya. seolah menyadari kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Laura melipat kedua tangannya di depan dada. Merasa telah siap untuk menyemprot Angel dengan omelan bertubi-tubi. Tapi lagi-lagi, gadis itu mengambil alih kesempatannya.

“Aku tadi abis jemputin abang aku dulu di bandara. Jadi telat ke sininya,” sesal Angel. Benar juga, saat itu Laura baru tersadar kalau Angel sedang tidak duduk di kursi kemudi. Lagi-lagi ia terlalu fokus pada satu hal hingga tak menyadari hal lainnya. Laura mengalihkan pandangannya dengan hati-hati ke kursi kemudi di samping Angel. Laki-laki itu menundukkan tubuhnya. Mencoba menjangkau sosok Laura ke dalam matanya. Dan seketika tatapan mata mereka saling beradu.

Setahu Laura, ia berprinsip bahwa cinta pandangan pertama itu tidak pernah ada. Hanya sebuah dongeng dalam sebuah novel atau drama-drama melankolis semata. Tapi kini, sepertinya drama melankolis itu tengah membawanya masuk menjadi pemeran utama. Menyeretnya paksa untuk merasakan satu rasa yang tak pernah ia akui sebelumnya. Terlebih saat laki-laki ber-rahang tegas itu melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyum yang begitu manis dan memikat. Laura mendapati dirinya membeku dan degub jantungnya mengencang. Matanya bahkan tak mengerjap dan bibirnya terlalu kaku untuk sekadar membalas senyuman manis itu. Semua keangkuhan dan kekokohan yang terlukis di wajah itu seakan menguap seiring senyum yang tak sudah-sudah. Berganti sosok lain yang lebih lembut, teduh, hangat dan ... indah.

“Sudah ya, pandang-pandangannya. Sudah mau mulai nih.”

Laura merutuk dalam hati. Sial. Ia lupa bahwa di sana masih ada Angel yang akan siap membuat wajahnya merona Laura berdehem dan kembali menegakkan tubuhnya dengan anggun. Semetara Angel tak kuasa menutupi rasa geli yang menjalari perutnya ketika melihat sahabatnya itu berubah canggung. Sebuah sikutan kecil dari seseorang di sampingnya, memaksanya untuk membungkam mulut. Menahan tawanya yang siap menyembur keluar. Gadis itu mencoba mengembalikan air wajahnya kebentuk normal.

“Lau, kamu masuk duluan saja ya, nanti kita nyusul setelah dari parkiran,” ucapnya mencoba menormalkan getar suaranya. Laura tak menjawab, bahkan hanya melirik sekilas dan mengangguk kecil. Angel tersenyum dan saat itu juga, HR-V putih itu kembali melesat menuju pelataran parkir. Laura mengibas-ngibaskan wajahnya yang terasa panas.

 ***

Gelap. Seluruh lampu ruang pertunjukan sudah dipadamkan. Sebenarnya tak bermaksud apa-apa. Hanya permainan orang belakang layar yang entah siapa, tiba-tiba mencetuskan ide untuk mematikan lampu ruangan saat sebuah pertunjukkan akan segera dimulai. Hanya panggung saja yang diberi sebuah penerangan secukupnya dari lampu sorot. Menciptakan remang yang menambah keanggunan sebuah pentas.

Ketiganya mengambil tempat duduk tak jauh dari panggung pentas. Pada baris keempat dari bangku-bangku yang berjejer rapi itu, Laura menemukan lima buah kursi yang masih kosong tak berpemilik. Seperti menemukan sebuah tetesan air di padang pasir yang tandus, yang dapat menolongnya bertahan hidup, mata Laura seakan berbinar menatap deretan bangku kosong yang berjarak tak jauh dari tempatnya berdiri saat sedang mengamati bangku-bangku yang hampir terisi penuh. Sekonyong-konyong ia menarik tangan Angel hingga gadis itu setengah tersentak dan menarik tubuh di belakangnya untuk mengikuti langkah pastinya. Dan kini, Laura dapat mengembuskan napas lega begitu ia sudah berhasil menghempaskan tubuhnya di atas kursi pilihannya. Dan detik itu juga, pentas dramanya dimulai. 

Tirai merah yang menutupi panggung mulai terangkat. Memaerkan beberapa orang yang siap menghibur selama satu jam tiga puluh menit dalam sebuah drama yang akan dilakoni mereka. Riuh tepuk tangan penonton mulai terdengar, mengiring para pelakon yang tengah membungkukkan badan, seolah mengucapkan rasa terimakasi dengan kata bisu.

Teater, wayang, tari, apa pun judul yang disandangkan sebuah seni, entah mengapa selalu berhasil membuat Laura berdecak kagum. Sepanjang pertunjukan teater yang tengah disaksikannya, intensitas kedipan mata Laura menjadi berkurang dalam seperskian detiknya. Laura tak berhenti mengagumi para pelakon teater yang begitu hebatnya mendalami peran mereka. Terkadang, Laura sering bertanya pada dirinya sendiri saat di tengah-tengah pertunjukkan indah seperti ini, mengapa mereka tak jadi aktor dan aktris sungguhan saja? yang kerjanya bereseliweran di layar kaca setiap 24 jam? Bahkan akting mereka tak kalah bagus dengan para pelakon kehidupan yang sering disaksikan di balik layar televis. Para pelakon seni yang dikenal semua orang. 

Seperti malam ini, ia merasa telah jatuh cinta pada sosok Matahari dipentas ini. Yang begitu bertanggung jawab sebagai seorang laki-laki. Laura begitu terskesan saat kedua anak manusia ini mempertahankan satu rasa mereka dalam sebuah perbedaan. Ia benar-benar tersentuh dengan cara Matahari yang meyakinkan Senja bahwa mereka adalah takdir. Keyakinan Matahari bahwa Tuhan telah menjodohkan keduanya dalam ketidak tahuan yang harus mereka perjelas. Dalam keraguan yang harus mereka pastikan.

Ya, setidaknya itulah yang ditangkap Laura dari pertunjukkan yang ia saksikan malam ini.

"Haaah! Ceritanya klasik,” komentar Angel seraya meregangkan otot-otot tangannya yang terasa kaku lantaran tak dapat bergerak banyak selama satu setengah jam pertunjukan di dalam tadi. Ketiganya kini berjalan keluar gedung menuju pelataran parkir. Laura menatap Angel dengan cepat, dengan tatapan tak setuju.

“Cerita klasik itu justru lebih menarik kalau pengemasnya cerdas. Asal kamu tahu ya, cerita klasik itu lebih ringan, lebih nggak nyusahin, lebih enak mau dibawa kemana karena sudah ada gambaran, jadi gampang dikemasnya. Dan hasilnya biasanya pasti lebih mengesankan. Ketimbang pemilihan cerita yang extraordinary dan bikin pusing pengemasnya dan mau nggak mau harus dikemas asal-asalan dengan selogan “yang penting jadi” hasilnya gak akan pernah melekat diingatan orang,” protes Laura panjang lebar, menyuarakan pendapatnya.

“Kalau memang mereka niat bikin sebuah seni, kenapa harus mengemasnya asal-asalan? Berarti mereka memang nggak serius donk.”

“Deadline.”

“Kamu tahu pasti satu kata itu adalah sebuah momok bagi pemilik proyek besar atau pun kecil. Mereka harus menghasilkan sesuatu yang menarik, bagus tapi bermakna. Mereka harus mengatur semuanya sedemikian rupa sehingga pada hari H, mereka bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Maka dari itu, mereka terkadang lebih memilih jalan pintas. Memanfaatkan pemikiran yang sudah ada dan tinggal memolesnya menjadi lebih sedikit berbeda sehingga nggak mengurangi rasa kagum dari setiap orang yang menyaksikannya. Walaupun itu hanyalah sebuah kisah klasik yang begitu sering kita temui.”

Angel terdiam beberapa saat. Mencoba memikirkan setiap kata yang keluar dari Laura yang sayangnya ia akui benar. Ia lantas manggut-manggut beberapa kali. Mengangkat kedua tangannya tinggi seraya berkata, “I’m done.” Dan berjalan mendahului Laura dan Raynald yang tersenyum menatapnya yang semakin menjauh. 

Dan setelah sekian detik berlalu, Laura baru tersadar dengan siapa kini ia mengiringi langkahnya. Ragu-ragu ditatapnya sosok tinggi menjulang di sampingnya. Laki-laki itu tersenyum, dan mengalihkan pandangannya kesosok gadis bertubuh mungil yang tengah berjalan di sampingnya. Menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditafsirkan. Melihat ekspresi itu, perlahan senyum di wajah Raynald mulai memudar. Berganti menatap Laura dengan tatapan serius, mencoba mencari tahu apa yang tengah difikirkan gadis itu.

“Seandainya, setiap tatapan bersifat klasik, pasti akan dengan mudah menebak pikiran kamu saat ini.” 

 Seakan tersadar, Laura melongo kecil mendengar satu kalimat itu keluar dari Raynald. Mendadak ia menjadi seperti orang tolol yang tak dapat mencerna sebuah majas. Dan ketika laki-laki itu tersnenyum, semua seolah kembali. Detak jantungnya, napasnya, otaknya yang malang. Dan mau tak mau, ia ikut tersenyum saat mendapat arti dari kalimat Raynald barusan. 

“Kita belum benar-benar kenalan, gak sih?” tanya Laura, sambil mengiringi langkah mereka.Untuk pertama kalinya Laura tak peduli jika ia akan dicap tak punya harga diri sebagai seorang perempuan karena mengajak seorang pria berkenalan lebih dulu. Laki-laki di sampingnya menghentikan langkah dan memutar tubuhnya sedikit agar dapat menghadap Laura. Ia tersenyum, lantas mengulurkan tangannya yang kokoh.

“Raynald,” ucapnya. Dan dengan senang hati namun berusaha agar tetap terlihat normal, Laura membalas uluran tangan Raynald.

“Laura.” 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status