Suara dering ponsel yang berdengung menembus mimpi Etan Benedict. Sambil berguling di tempat tidur, dia menepak tangannya dengan membabi buta di atas meja di samping tempat tidur untuk menemukan ponselnya. Begitu menemukannya, dia menyambarnya dan mengusap ibu jarinya di atas layar dan menaruhnya ke telinganya.
"Hallo?" Gumamnya dengan nada mengantuk.
"Tolong beritahu aku kalau kau tidak lupa hari apa ini?" Suara ayahnya terdengar tidak ramah di balik ponselnya.
Dengan erangan kecil, Etan menarik dirinya ke posisi duduk. Dengan jengkel dia mengusap matanya yang mengantuk. "Selamat pagi juga papa."
"Aku bersumpah demi Tuhan kalau saja kau masih mabuk di hari pembaptisan anak baptismu, aku sendiri yang akan menghajarmu." Balas ayahnya.
Kata-kata ayahnya membuat Etan tersadar. Sambil melirik jam digital di samping tempat tidur. 8 pagi. Tiga jam sebelum dia dihadapkan di depan Tuhan untuk menjadi orang tua baptis. Meskipun dia mungkin adalah orang yang paling tidak cocok dengan itu, entah bagaimana dia berhasil membiarkan keponakannya Amanda meyakinkannya untuk berperan sebagai ayah baptis bagi bayinya Theo. "Aku tidak mabuk. Aku tidur larut malam dan sekarang hari sabtu."
Saat ayahnya bergumam tidak setuju di telepon, Etan membayangkan gambaran sempurna dalam pikirannya tentang bagaimana ekspresi ayahnya. Dia bisa membayangkan mencengkeram ponselnya dengan erat dengan berdiri tegak dan menggelengkan kepalanya dengan tidak setuju. "Aku hanya bisa membayangkan bagaimana kau membutuhkan istirahat setelah apa yang kau lakukan yang hanya Tuhan saja yang tahu." Gerutunya.
Sebuah senyuman muncul di bibir Etan saat dia memikirkan petualangan liarnya tadi malam. "Baiklah, sekarang aku sudah bangun dan aku akan menjemputmu jam setengah sebelas, dan kita akan berada di gerejas sebelum kebaktian. Oke?"
"Sebaiknya begitu."
Kemudian mereka mengakhiri percakapan dan menutup telepon. Etan melemparkan ponselnya kembali ke atas meja kemudian masuk kembali ke dalam selimut. Dia menarik wanita berambut cokelat yang sudah menjadi temannya untuk melewati akhir pekan selama sebulan bersama.
"Kau akan pergi?" Tanya Lidia sambil menguap.
"Belum." Jawab Etan sambil mencium leher wanita itu.
"Siapa yang menelpon?" Tanya Lidia sambil mengerang lembut.
Etan berhenti menciumnya. "Ayahku. Dia ingin memastikan kalau aku sudah bangun dan bersiap untuk acara pembaptisan anak baptisku hari ini."
"Kau harus berada di gereja saat pembaptisan?" Tanya Lidia.
"Tentu saja. Aku adalah ayah baptisnya." Jawab Etan.
"Aku pikir ayah baptis harusnya menjadi contoh yang baik secara moral maupun spiritual untuk anak-anak." Kata Lidia sambil tertawa kecil.
"Apakah kau baru saja mengatakan kalau aku akan menjadi pengaruh yang buruk baginya?" tanya Etan sambil ikut tertawa.
Lidia melirik ke arahnya. "Kita semua tahu kalau kau adalah orang terakhir di bumi yang harus memberikan contoh pada anak-anak. Semua hal yang kau tahu hanya mabuk dan bercinta."
"Dan aku sangat baik dengan keduanya, benar kan?" Goda Etan.
Lidia tertawa kecil.
"Bisakah kita berhenti bicara?" Tanya Etan.
"Kecuali bicara hal yang kotor?" Tanya Lidia.
"Benar sekali. Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan emosional. Aku ingin melupakan semua itu untuk sementara dengan bersamamu. Tubuhmu selalu menjadi pengalihan perhatian yang terbaik." Goda Etan.
"Jadi pada dasarnya kau hanya memanfaatkan aku?" Tanya Lidia.
"Tidak bukan itu maksudku."
Lidia menoleh ke belakang untuk menatap Etan dengan dingin. "Itu yang aku dengar."
"kau marah." kata Etan.
"Maafkan aku kalau aku tidak bisa menerima perkataan seorang pria yang mengatakan kalau aju hanya menjadi pengalihan perhatian yang baik dari segala masalahnya." Balas Lidia.
"Bukan itu yang aku maksud. Tapi jangan kau katakan kalau apa yang terjadi di antara kita ada sesuatu yang lebih dari sekedar teman." Kata Etan.
"Apa yang kau pikirkan tentang kita?" tanya Lidia sambil mengerutkan alisnya.
"Kita hanya teman tidur, Lidia. Apalagi yang kita lakukan selain itu?" Tanya Etan.
"Aku pikir apa yang sudah kita lakukan selama sebulan terakhir ini lebih banyak dari sekedar menjadi teman tidur." Bentak Lidia.
"Oh Tuhan. Jangan bilang kalau kau berharap aku akan membawamu pergi ke acara pembaptisan dan bertemu dengan keluargaku hari ini?" Tanya Etan dengan nada tidak percaya.
"Tidak. Kita hanya sedang melakukan pembicaraan orang dewasa."
Etan menggelengkan kepalanya. "Aku bisa melihat ke mana arah pembicaraan ini. Menurutmu, aku harus membawamu bertemu keluargaku dan secara ajaib kita akan memiliki hubungan yang lebih?"
Sambil turun dari tempat tidur, Lidia menarik selimut dan menutupi tubuh telanjangnya sebelum melotot pada Etan. "Kau benar-benar seorang bajingan, kau tahu itu?"
Etan mengangkat tangannya dengan frustrasi. "Sekarang aku hanya bingung, sebenarnya apa masalah kita? Aku pikir kita sama-sama menikmatinya dan kita bisa melakukannya lagi sebelum aku harus menghadapi hari yang membosankan dan akan penuh dengan kegilaan."
"Tentu saja kita menikmatinya, tapi aku tidak ingin di manfaatkan olehmu. Tidak ada wanita yang menyukai kenyataan kalau dia hanya di gunakan kapan pun oleh seorang bajingan terutama saat bajingan itu ingin melupakan masalah-masalahnya untuk sementara waktu. Aku juga manusia, kau tahu. Aku punya perasaan." jelas Lidia.
Oh Sial. Ini dia. Masuk ke arah 'aku ingin lebih' yang pasti menghancurkan semua hubungan friends with benefits, Pikir Etan. Etan bertemu dengan Lidia di suatu malam setelah bekerja di sebuah bar. Mereka menghabiskan satu setengah jam atau lebih mengobrol dan minum tanpa berkenalan basa basi sebelum akhirnya pulang ke tempat Lidia.
Setelah pertemuan ke dua saat Etan turun dari tempat tidur Lidia untuk pergi, Etan mengatakan untuk bertemu setiap akhir pekan atau pada jumat malam dan Lidia menyetujuinya. Jadi selama sebulan terakhir Etan merasa puas dengan apa yang mereka miliki dan dia tidak menginginkan apa pun lagi terutama sebuah hubungan.
Tentu saja, Etan selalu hanya melakukan hubungan seksual dan tidak pernah menginginkan hal yang lebih dan dia selalu memperjelas hal itu di awal pertemuan. Tapi setiap kali hal itu selalu di kacaukan dengan harapan para wanita yang selalu menginginkan hal yang lebih dan merasa kalau mereka bisa menjinakkannya. Rasa benci dan jijik terpampang di wajah Lidia sekarang sepertinya dia akan bergabung dengan barisan panjang mantan teman kencan.
Etan mengangkat alisnya. "Jadi begini saja? Kita selesai karena kau tiba-tiba merasa di manfaatkan?"
"Keluar! Keluar dari rumahku!" Bentak Lidia.
"Baiklah, dengan senang hati." Kata Etan sambil mengambil pakaian dan mengenakan kembali pakaiannya. Kemudian dia mengambil sepatu yang sudah dia tendang sembarangan tadi malam dan keluar dari rumah Lidia.
Benar-benar tidak bisa di percaya, Pikir Etan.
Satu telepon dari ayahnya berhasil menghancurkan hubungan seksualnya dengan Lidia selamanya. Ada apa dengan wanita dan pertemuan keluarga? Terakhir kali Etan berani membawa seorang gadis ke sekitar keluarganya hampir enam tahun yang lalu. Baru dua tahun sejak dia menyelesaikan masalahnya dengan mantannya itu. Pada saat itu dia tidak memikirkan apa pun saat mengajak teman kencannya ke acara keluarga. Lagi pula, itu hanya acara BBQ atau begitulah yang dia pikirkan. Tapi saat wanita itu bertemu dengan keluarganya, yang bisa dia dengar hanyalah pembicaraan mengenai pernikahan. Dua hari kemudian wanita itu mulai menyebut mereka sebagai "kami", dan Etan langsung berhenti menghubunginya. Dia tidak melakukan hubungan yang menyangkut "kami".Etan tidak pernah melakukannya dan tidak akan pernah melakukannya.Baiklah, itu tidak sepenuhnya benar. Dia sudah pernah mencoba berpacaran dan bahkan bertunangan, tapi dia terluka sampai dia bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Tujuh tahun kemudian, d
Etan setengah menunduk untuk mencium pipi Amanda. "Dan aku juga mencintaimu, meskipun terkadang kau seperti hama kecil yang menjengkelkan." Kata Etan sambil mengedipkan sebelah matanya. "Kita menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama, kan?""Tentu saja." Balas Amanda.Mereka terdiam selama beberapa detik. "Jadi bagaimana keadaanmu?" Tanya Etan mengarah kepalanya kearah Theo. "Menjadi ibu baru dan segalanya.""Aku baik-baik saja." Jawab Amanda sambil memainkan ujung gaunnya."Sekarang kau sudah mulai berbohong pada paman favoritmu, apakah kau tahu kalau itu sama sekali tidak sopan?" Tanya Etan sambil melipat tangannya di dadanya.Amanda menghela napas dan menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajahnya menggunakan tangannya. "Baiklah, maafkan aku. Menjadi orang tua tunggal jauh lebih sulit dari yang aku kira, bahkan dengan bantuan ayah dan ibu. Aku selalu stres dan lelah setiap saat mencoba menyelesaikan kuliahku, dan secara mental, aku tidak baik-baik saja. Kau senang?" "Oh, sa
Merapikan alat makan terakhir di atas meja, Lily Rosanna melangkah mundur untuk mengamati bagaimana tampilan meja yang dia tata. Bukan berarti ke tiga sahabatnya benar-benar peduli dengan apa yang sudah dia lakukan. Tapi sisi lain dari Lily merasa perlu agar semuanya terlihat sempurna. Ada cahaya lilin yang berkedip-kedip di dalam ruangan sementara musik lembut mengisi ruangan yang sepi. Meski sekarang sudah hampir Natal, ruangan itu tidak di penuhi dekorasi natal, atau mungkin belum. Sebagai gantinya Lily menaruh bunga mawar putih segar dalam vas yang dia beri air dan di taruh di atas sebuah lemari laci empat yang dia beli di toko bunga. Dan di antara vas bunga itu terdapat bingkai fotonya bersama tunangannya di sebelah kanan dan bingkai fotonya bersama sahabatnya di sebelah kiri. Hari ini tanggal 16 Desember adalah hari peringatan lima tahun kematian tunangannya. Hari yang menjadi akhir dari kehidupan sempurna mereka bersama. Semua itu di renggut oleh sopir mabuk yang melewati gar
Beberapa saat menjelang tengah malam, Paula dan Rafa bersiap untuk pulang. Saat Paula memakai jaketnya, dia berbalik dan menatap Lily. "Jadi, kita tetap akan pergi ke pesta kantor besok malam, kan?""Aku tidak tahu." Jawab Lily sambil mengerutkan keningnya."Kenapa begitu?" Tanya Paula."Setelah malam ini, hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah menonton film horor sambil makan ice cream dan makan cemilan pedas." Jawab Lily."Rafa akan kerja lembur dan kau juga sudah berjanji akan menjadi teman kencanku. Selain itu, kau juga belum lama bergabung di perusahaan, kau harus banyak bersosialisasi." Kata Paula.Lily menghembuskan nafas tanda kekalahan. Dia benci mengakui kalau apa yang di katakan Paula ada benarnya. Setelah empat tahun menjalani pekerjaannya yang sebelumnya, akhirnya dia pindah ke perusahaan barunya atas permintaan salah satu mantan bosnya yang menggunakan pengaruhnya. Lagi pula pekerjaannya yang sekarang dia mendapat gaji yang cukup besar dari sebelumnya. "Baiklah, aku
Etan bergegas masuk melalui sebuah pintu besar yang terbuat dari kaca yang cukup keras dan tebal. Dia mengangguk pada beberapa rekan kerjanya. Jari-jarinya merapikan dasinya dan jas yang dia pakai. Dia baru saja memakai setelan itu selama tiga puluh menit dan itu sudah terasa seperti mencekiknya. Melihat teman kerjanya, Fredi. Dia bergegas menyelip di antara beberapa orang sambil menyapa mereka dengan senyuman singkat untuk menghampirinya."Halo, teman. Bagaimana keadaanmu?" Tanya Fredi.Etan tidak memberinya tanggapan apa pun dan langsung merampas segelas air soda dari tangan Fredi dan menegaknya dalam satu tegukan dengan tidak sabar. "Seburuk itukah?" Tanya Fredi sambil tersenyum."Maaf, aku sudah berada dalam neraka acara keluarga sepanjang hari ini." Jawab Etan."Acara baptisan itu?" Tanya Fredi lagi.Etan mengangguk. "Acaranya dimulai tengah hari, tapi ada pesta di rumah saudara perempuanku." Etan bergidik saat memikirkan bagaimana dia disudutkan oleh masing-masing saudara perem
Lily merasa pria itu sedang menatapnya lagi... dan tersenyum. Setelah melihat pria tampan yang tidak sengaja dia tabrak tadi sedang menatapnya dari seberang ruangan yang penuh sesak. Lily bersumpah untuk tidak melihat ke arahnya lagi. Sebagai gantinya, dia mencoba memusatkan perhatian pada percakapan antara Paula dan para gadis lainnya dari lantai yang sama dengannya. Tapi saat dia mengintip dari sudut matanya, dia berhasil melihat pria itu tidak malu karena tertangkap basah sedang menatapnya. Dan itulah permainan yang sudah mereka mainkan selama lima menit terakhir. Mencuri pandang sebentar dan tersenyum satu sama lain."Dengan siapa kau tersenyum?" Tanya Paula."Tidak ada." Jawab Lily berbohong. "Oh, kukira kau sedang mencari mangsa." Kata Paula sambil tersenyum. "Tidak." Protes Lily."Jadi siapa pria itu?" Tanya Paula sambil memutar matanya.Lily mendesah kalah. "Baiklah. Aku tidak sengaja bertemu dengan beberapa menit lalu dalam perjalanan kembali dari kamar mandi. Dia terliha
Lily melirik ponselnya sambil meringis. Lalu lintas yang menyebalkan. Tidak peduli dia berangkat tiga puluh menit lebih awal atau satu jam lebih awal, tidak mengubah apa pun kalau dia akan terlambat karena kemacetan. Dia berjalan kaki menyusuri trotoar menggunakan heels ke arah sebuah cafe. Wajahnya tersenyum lebar saat melihat Dani melambaikan tangan dari meja dekat jendela.Saat dia membuka pintu, bel lonceng berbunyi di atas kepalanya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah berangkat lebih awal. Aku bersumpah." Kata Lily saat sampai di tempat Dani."Tidak masalah. Aku sudah memesan untukmu." Kata Dani sambil tersenyum."Terima kasih." Lily duduk di hadapannya sambil membuka jaket dari bahunya saat dia melihat tatapan Dani yang sedikit gelisah dan di tambah ada sebuah memar biru di pelipisnya. "Apa kau baik-baik saja?""Jeri dan aku bertengkar." Kata Dani sambil mendesah."Kalian tidak putus, kan?" Kata Lily sambil mengulurkan tangan dan meremas tangan Dani.Air mata mengenang di ma
Beberapa minggu kemudian Lily berdiri di belakang meja untuk mengagumi hasil kerja kerasnya. Senyum pendek penuh kepuasan terlihat di wajahnya. Entah bagaimana dia bisa menciptakan keajaiban, berhasil mengubah ruang konferensi lantai 4 yang suram dan berantakan menjadi bernuansa merah muda dan terlihat sangat indah seperti yang dia bayangkan. Dia sangat bangga pada dirinya saat ini mengingat mendekorasi dan merencanakan pesta sama sekali bukan keahliannya. Memiringkan kepalanya, dia memperhatikan spanduk 'It's a baby girl' yang tergantung sedikit miring ke kiri. Setelah dia membetulkannya, ujung-ujung jarinya merapikan bagian atas taplak meja warna pink pucat yang di hiasi dengan minuman dan hadiah yang di bungkus kertas warna-warni dari tamu yang akan datang.Dia merapikan sehelai rambut yang menutupi wajahnya dan mencoba menyelipkan rambutnya di belakang telinganya. 'Ya, sebenarnya pesta seperti inilah yang aku inginkan untuk acara baby showerku. Jika aku bisa mengadakannya suatu s