"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.
Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya.
"Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.
Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden.
"Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu.
"Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya.
"Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup.
"Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka.
"Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku dengannya?" tantang Aiden lagi dengan santai.
"Oh, ya ampun," lirih Serena sambil menggigit bibir bawahnya karena ia mulai gugup dengan tatapan pengunjung yang memerhatikan mereka.
"Kita harus bicara, ayo ikut aku, Cal," ucap Serena sambil meraih lengan Calvin.
"Ya, bicaralah dengannya lalu pulanglah ke rumah dengan selamat. Oke, Bunny Manis? Terima kasih sudah membawakan pakaian dalam dan makanan untukku berjaga malam ini," ucap Aiden yang sontak membuat Calvin menganga.
"Oh, please, Aiden," ucap Serena lalu beranjak meninggalkan pria yang sengaja menggodanya itu sambil menarik Calvin.
Aiden tertawa kecil melihat Serena yang gugup dan buru-buru menjauh darinya. Ia tak sadar hingga seseorang berdiri menjajarinya dan menatapnya tajam.
"Wanitamu, ha? Bunny Manis?" ucap seorang wanita sambil menatap kepergian Serena dengan raut tak terbaca.
"Crystal, kau mengagetkanku!" seru Aiden tertahan.
Ia begitu terkejut dengan kehadiran seorang dokter cantik berambut pirang sebahu yang merupakan rekannya yang tahu-tahu sudah menjajarinya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
"Apa yang kau bawa? Pakaian dalammu? Apakah ia yang mengantarkannya? Siapa Bunny? Wanitamu? Apakah ia tipe wanita yang kau sukai?" cecarnya kemudian pada Aiden yang kebingungan.
"Ah, hentikan," potong gadis bernama Crystal itu saat Aiden hendak membuka mulutnya untuk menjawab semua pertanyaannya. "Aku tak ingin mendengarnya. Sekarang ada keadaan darurat, kita harus segera kembali," lanjutnya kemudian sedikit dingin.
Ia lalu berbalik dan berjalan mendahului Aiden sebelum pria itu sempat mengucapkan sepatah kata pun.
"O ... oke?" balas Aiden tak mengerti dengan tingkah Crystal yang mendadak berubah datar padanya dan meninggalkannya. Ia mengerutkan alisnya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sementara itu ....
Serena membawa Calvin ke area taman yang rindang di dekat kampusnya yang berada di seberang kafetaria rumah sakit. Pria dengan rambut cokelat terang dengan mata kebiruan itu menatapnya dengan raut sungguh-sungguh.
"Katakan, Serena, apakah pria kasar tadi itu adalah kekasihmu?" tanya Calvin tak sabaran.
"Tidak. Ia bukan kekasihku," jawab Serena sambil menggeleng.
"Benarkah? Oh, syukurlah." Calvin kemudian mengembuskan napasnya seolah lega. "Lalu, katakan padaku, mengapa kau dan keluargamu meninggalkan Birmingham begitu saja tanpa memberi kabar? Tak tahukah kau aku begitu terkejut dengan kepergian kalian yang tiba-tiba itu?"
Serena mengembuskan napasnya. "Karena kami harus berkuliah. Kau tentu tahu bahwa Dad menginginkan putri-putrinya mendapatkan universitas terbaik, bukan?" ucap Serena.
"Tapi di sana pun memiliki universitas terbaik dan bahkan kau telah mendapatkan beasiswa penuh. London bukan satu-satunya pilihan, bukan?! Kau bahkan pergi tanpa memberitahu apa pun padaku."
"Ya, kau benar. Tapi, di sana bukan universitas yang diinginkan Helena," balas Serena dengan senyum kecil.
Calvin mengembuskan napasnya. Sebagai tetangga yang telah lama tinggal di lingkungan yang sama dengan mereka, ia tahu benar bahwa kedua orang tua Serena akan memprioritaskan keinginan Helena saudari kembarnya dari pada keinginan gadis di hadapannya.
"Aku mengerti. Lalu, di mana sekarang kalian tinggal? Apakah Helena juga masih berkuliah di sini? Bukankah seharusnya kalian sudah lulus? Oh, Tuhan, tahukah kau berapa lama aku mencarimu?" tanya Calvin.
"Mengapa kau tega meninggalkan semua tanpa memberi kabar sedikit pun? Terutama kepadaku? Kau sungguh jahat, Seren. Bisa-bisanya kau juga memblokir nomorku."
Tatapan terluka kembali Calvin perlihatkan padanya. Tatapan yang pernah ia terima beberapa tahun yang lalu sebelum mereka berpisah.
Serena menunduk. Ia sedikit merasa bersalah pada pria tampan yang kini duduk di sebelahnya. Ia memang memblokir nomor Calvin karena ingin melupakannya. Ya, ia melakukannya atas permintaan Helena yang saat itu juga menyukai pria itu. Sama sepertinya yang pernah menyukai pria tampan berlesung pipi itu.
Helena tak suka mengetahui fakta bahwa Calvin pernah menyatakan perasaannya padanya dan bukannya dirinya. Maka, ia meminta Serena untuk melupakan pria itu karena ia juga menyukainya.
Dan tentu, bagi Serena, ia lebih memilih Helena karena ia sendiri juga merasa tak percaya pada dirinya sendiri yang mampu berada di sisi pria seperti Calvin yang sangat populer di lingkungannya saat itu. Lagi pula, ia juga tak ingin menghancurkan hubungan persaudaraan mereka karena seorang pria.
"Seren?" panggil Calvin sambil meraih jemari Serena dan mengembalikan lamunan gadis itu.
"Panjang ceritanya, Cal," jawab Serena singkat. Ia menelan ludahnya untuk menekan perasaannya yang berkecamuk.
"Sekarang katakan, apa yang kau lakukan di sini, Cal?" tanya Serena.
Calvin tersenyum kecil saat Serena memanggilnya dengan nada yang masih akrab seperti dahulu. "Aku baru diangkat menjadi manajer umum di perusahaanku dan dipindah di sini untuk memimpin kantor pusat."
"Benarkah? Lalu, bagaimana kau dapat menemukanku?" tanya Serena.
"Oh, kau tentu tak ingin tahu itu. Aku sudah mencari tahu ke berbagai kampus yang mungkin akan kalian masuki. Dan setelah aku memantaskan diri, aku baru berani menemuimu," jelasnya.
Calvin mengenggam tangan Serena dan menatapnya lekat-lekat. "Seren, aku senang akhirnya dapat bertemu denganmu. Seren, perasaanku masih sama padamu seperti dulu."
"Karena tak ingin membuang waktuku, aku ingin menyatakannya sekali lagi padamu. Aku masih mencintaimu dan akan terus mencintaimu. Maukah kau menjadi kekasihku, Serena?" pintanya.
Serena membeku mendengar pernyataan Calvin yang mendadak. Ada hening yang tercipta setelah Calvin mengungkapkan perasaannya.
Lalu, beberapa saat kemudian, keheningan mereka harus dikejutkan oleh dering ponsel Serena. Dengan gugup Serena mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menatap layar tersebut.
Calvin yang ikut menatap layar ponsel Serena, seketika terhenyak saat ia membaca nama yang tertera di sana. Suami.
"Siapa yang meneleponmu? A ... apa maksudnya itu?" tanyanya shock sambil masih menatap ponsel Serena.
"Su ... suami? Apa maksudnya, Seren?" tanyanya lagi seketika tergagap.
Serena membasahi bibirnya sebelum berani menjawab, "Calvin, aku sudah menikah."
Jawaban dari Serena seketika meruntuhkan dunia Calvin. Ia tercekat dan serasa tak dapat bernapas dengan benar saat menatap kedua mata gadis yang ada di hadapannya itu. Ya, walau ingin menyangkalnya, tapi ia tahu, Serena Irish Renault bukanlah gadis yang mampu bercanda dan mengatakan kebohongan semacam itu.
Terutama jika itu sebuah candaan dan kebohongan besar yang begitu mengejutkan seperti sekarang ini. Ia menggeleng keras untuk menepis semua yang ia dengar.
"Ti ... tidak, tidak. K ... kau sedang bercanda, bukan?" lirih Calvin tak percaya. Ia bangkit dari duduknya untuk meredam keterkejutannya.
Serena mengerutkan alisnya dan menunjukkan wajah yang merasa bersalah padanya. "Tidak, Calvin. Aku memang sudah menikah."
Penegasan Serena seolah menjadi vonis mati bagi Calvin. Gadis itu menatapnya dengan raut sungguh-sungguh yang penuh dengan keprihatinan.
"Maafkan aku, Cal. Aku harus pergi sekarang."
Ucapan Serena selanjutnya tak benar-benar Calvin dengarkan. Ia bahkan tak menahan gadis yang kemudian berlalu darinya itu karena ia benar-benar merasa lemas dan seolah tak dapat menopang tubuhnya hingga ia kembali duduk dengan putus asa.
"Ini tak mungkin terjadi. Tidak!" Calvin menggeleng dan bersikeras mengenyahkan ucapan Serena yang masih terngiang di dalam kepalanya setelah gadis itu pergi. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi.
Serena yang telah pergi dengan sebuah mobil beserta sopir yang menjemputnya dua puluh menit yang lalu, membuat Calvin begitu kosong dan hampa dengan menyisakan pertanyaan besar yang berkecamuk di dalam dadanya.
Bagaimana mungkin Serena sudah menikah? Ia bahkan tak pernah mengetahui gadis itu memiliki kekasih. Bagaimana mungkin tiba-tiba ia memiliki seorang suami saat gadis itu sendiri masih berkuliah? Lagi dan lagi, Calvin berusaha menepis semua kenyataan itu.
Dalam benaknya, ia sudah bertekad akan mencari tahu semua hal tentang Serena. Demi apa pun, ia masih tak rela jika harus kehilangan Serena setelah sekian lama ia mempersiapkan diri untuk muncul di hadapannya.
"Tidak, tidak, aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak bisa kehilanganmu begitu saja, Seren. Aku tak akan menyerah dengan mudah hanya karena hal ini," gumamnya penuh tekad.
____****____
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "
"Sekarang katakanlah dengan tenang, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Julien mengusap sisa air mata pada wajah lembab Serena setelah gadis itu telah benar-benar berhenti menangis. Ia menyibak sejumput rambut Serena yang tergerai ke belakang telinganya."Aku be ... bertemu dengan Calvin dan menceritakan semuanya tentang kita padanya," ucap Serena akhirnya."Calvin? Siapa ia?" balas Julien sambil mengerutkan alisnya.Lalu, dengan sedikit bergetar dan terbata, Serena akhirnya menceritakan perihal pertemuannya dengan Calvin dan alasannya melakukan itu kepada Julien. Ia bahkan bercerita tentang Calvin dan hubungannya dengan masa lalunya tanpa ia tutupi sedikit pun. Julien mengembuskan napasnya dan tampak berpikir sejenak setelah Serena menceritakan semuanya. Tak ada raut kesal atau pun marah pada wajahnya. Justru, ia terlihat lega setelah dengan sabar mendengar penuturan gadis itu."Terima kasih kau sudah bercerita padaku, Serena. Untuk seterusnya, mulai sekarang kau harus mengatakan d
Tiga hari kemudian, hari di mana pesta berlangsung, Serena masih termangu di tempat duduknya sambil menyentuh bibirnya setelah ia bersiap dengan gaun malam model mermaid dress berwarna biru tua miliknya untuk menghadiri pesta malam itu bersama Julien.Bibirnya yang masih terasa panas dan penuh dengan aroma Julien itu masih membuatnya berdebar bahkan ketika pria itu tak ada di dekatnya. Dan seperti rencana yang telah dikatakan Julien sebelumnya, selama tiga hari lalu pria itu membawanya menginap di hotel, berbelanja, pergi ke salon di pusat kota, bahkan berjalan-jalan untuk sengaja memperlihatkan kemesraan mereka di hadapan publik.Dan selama tiga hari itu pula, Julien memperlakukannya bak seorang ratu. Ia memanjakannya dengan puluhan baju baru dan barang-barang belanjaan mewah lainnya. Ia juga bersikap begitu mesra layaknya seorang pria yang menggilai pasangannya. Tentu saja, sekarang sentuhan fisik maupun ciuman seolah sudah menjadi hal yang wajar yang pria itu lakukan padanya di saa
Mereka kemudian masuk ke dalam lift untuk menuju ke area pesta yang ada di lantai satu. "Maafkan aku kau harus melihat dan mendengar semua omong kosong Lucia tadi," ucap Julien pada Serena setelah mereka berada di dalam lift."Tak apa. Aku sudah tidak terkejut lagi dengan sikapnya," balas Serena."Jangan dengarkan apa pun yang ia katakan. Mungkin reputasiku memang telah dicap buruk, tapi aku tak akan pernah melakukan dan membiarkan sesuatu yang mungkin dapat menyakitimu. Dan jika ada yang ingin kau tanyakan tentangku, jangan ragu untuk mengatakannya. Apa pun itu. Karena aku tak ingin kau mendengar tentangku dari mulut orang lain."Ucapan Julien membuat Serena tenang. Ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Baiklah, aku mengerti," jawabnya."Ck, harusnya tadi kubuat ia meminta maaf padamu atas perbuatannya tempo lalu. Aku sudah sangat terlalu muak padanya hingga rasanya tak ingin berlama-lama melihatnya. Sekali lagi, maafkan aku karena telah membuatmu harus berurusan dengan wanita i
Sudah sekitar sepuluh menit Serena berdiri dan menatap ke arah jendela di ruang baca dengan raut muram ketika Julien perlahan masuk ke dalam ruangan tersebut dan memperhatikannya. Gadis yang mengenakan jubah tidur itu bahkan tidak menyadari kehadirannya karena ia begitu terpaku pada satu titik di luar jendela dan terhanyut dalam benaknya yang terlihat sedang berpikir keras.Ya, Serena memang sedang mengingat lagi apa yang diucapkan Calvin padanya ketika ia menghentikan mereka meninggalkan pesta tadi."Dua hari yang lalu aku menemui orang tuamu dan Helena," akui Calvin berterus terang.Saat itu, Serena yang hendak keluar ruangan, sketika membeku. Ia tak langsung membalas ucapan Calvin karena ia masih begitu shock. Ia harus mengumpulkan kekuatannya dahulu sebelum kemudian bisa menjawab dengan suara yang tak bergetar."Mengapa kau menemui mereka?" tanya Serena sambil membalikkan badannya yang sebelumnya telah siap keluar."Aku hanya ingin memastikan sesuatu saja," jawab Calvin beralasan.
"Oh, Baby-ku, kau sudah datang! Peluk aku!" Seruan yang penuh luapan kegembiraan terlontar dari bibir pucat seorang gadis yang masih bersandar di atas ranjang pasien miliknya saat Serena masuk. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Serena.Ya, ia akhirnya memutuskan untuk menemui Helena setelah keadaannya membaik akibat 'serangan' Julien padanya lusa lalu dan karena kabar dari kedua orang tuanya yang mengatakan bahwa Helena siap bertemu dengannya."Aku senang kau telah terbangun, Helen. Mengapa kau tak membiarkanku langsung menemuimu?" ucap Serena setelah ia memeluk saudarinya."Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Serena pada saudarinya yang sedang setengah berbaring itu."Oh, Baby, keadaanku buruk, semua terasa menyebalkan. Untuk itulah aku tak ingin kau menemuiku terlebih dahulu," balas Helena sambil bersikap manja."Ugh, jika bukan karena si berengsek itu, aku mungkin sudah melalui hari-hariku yang indah tanpa merasakan ini," keluh Helena
"Oh, benarkah? Wah, mengapa kebetulan sekali?" balas Helena untuk menutupi keterkejutannya. Kini ia beralih menatap Aiden."Oh, apa kau belum tahu tentang hal itu?" tanya Aiden yang kemudian menyadari situasinya."Belum. Serena mungkin tak ingin mengejutkanku dengan mengatakan bahwa ia telah menikah dengan seorang pria tua," balas Helena sambil tersenyum manis penuh arti. "Aku cukup mengerti karena seperti itulah ia. Ia juga pasti mempertimbangkan kondisiku yang baru pulih.""Aah, begitu? Benar, bukan hanya kau, aku pun terkejut awalnya saat Dad memberitahuku. Tapi, karena memang pria tua itu suka melakukan hal-hal yang tak kumengerti, akhirnya aku bisa menerimanya juga. Dan karena sekarang berarti kita adalah keluarga, maka jangan sungkan padaku, ya!" balas Aiden.Helena tertawa. "Oh, menyenangkan sekali ternyata dapat menjadi keluargamu, Aiden. Tentu saja aku tak akan sungkan!"Aiden balas tertawa renyah. "Baguslah. Baiklah, aku hanya memiliki sedikit waktu karena para pasien yang l