"Ya, Mahen Corporation, perusahaan Revan Mahendra. Aku sudah berusaha menghubungi manager operasionalnya, tapi dia bilang bahwa ayah sendiri yang harus menghubungi Revan Mahendra."Raut wajah Herman semakin menegang mendengar ucapan Rio, sepertinya Revan sengaja melakukan ini untuk membuat mereka bicara empat mata, "Baiklah, Ayah akan segera kesana,"Setelah berkata seperti itu, Herman segera mematikan panggilan mereka lalu menyimpan ponselnya ke arah saku kembali. Ia menatap ke arah Valeria yang tertegun tidak paham, "Kita bicara lagi nanti, ayah harus pergi.""Tunggu, sebenarnya ada apa?" tanya Valeria, menahan langkah ayahnya yang tengah bergegas.Herman terlihat menghela nafasnya, ia sendiri belum tahu kenapa Revan sampai melakukan hal ini untuk bertemu dengannya. Entah apa tujuan Revan, Herman sendiri tidak mengerti."Kita bahas nanti, sekarang Ayah memiliki urusan di kantor."Melihat ayahnya yang sangat terburu-buru, Valeria akhirnya melepaskan tangan ayahnya. Ia membiarkan Herm
Raut wajah Herman seketika berubah mendengar ucapan Revan. Sejak tadi Revan Mahendra terlihat menyinggung sikapnya yang selama ini tidak terlalu baik pada Valeria."Tentu saja aku akan memilih puteriku, apa kau harus mempertanyakannya?" balas Herman dengan nada sinis. Meski selama ini ia tidak memperhatikan Valeria, namun kali ini Herman pastikan bahwa segalanya harus berubah. Ia akan lebih mementingkan kebahagiaan puterinya dibandingkan dengan perusahaannya sendiri. Sebesar itulah Herman menyayangi Valeria, sebesar rasa bersalahnya karena sudah menyia-nyiakan puterinya selama ini."Ah begitu? Saya sungguh tidak menduganya.""Perlu kau ketahui, cinta seorang ayah tidak akan terkalahkan oleh cinta pria manapun kepada puterinya. Apa kau paham?"Revan mengulas senyumannya mendengar ucapan Herman. Meski saat ini perasaannya terasa tidak nyaman, namun ia harus memberikan kesan pada pria paruh baya itu bahwa ia sama sekali tidak goyah. Tekadnya untuk mempertahankan Valeria sama sekali tidak
Rio membawa Valeria menjauh dari ruangan ayahnya. Mereka berdiam diri di depan sebuah taman rumah sakit. Sebuah minuman kaleng Rio ulurkan kepada Valeria yang masih mematung di tempat."Kau baik-baik saja? Ini minumlah."Valeria mengambil minuman dari Rio lalu meneguknya perlahan."Apa yang ku dengar dari Mama Kalina benar? Apa kejadian yang menimpa ayah ada hubungannya dengan Revan?""Tenanglah dulu Val, jangan terburu-buru. Kau pasti masih terkejut dengan kabar ayahmu yang sakit hari ini."Meski Rio sudah mengatakan hal itu, Valeria menarik kerah baju Rio dengan emosional, "Katakan saja padaku dengan jujur, apa benar semua ini adalah ulah dari Revan?"Rio mengangkat sebelah tangannya melihat Valeria yang sama sekali tidak bisa diajak bicara, "Baiklah, aku akan bicara. Tapi sebaiknya turunkan dulu tanganmu ini."Dengan lemah Valeria menurunkan tangannya, namun tatapannya masih tetap terarah pada Rionandra."Ya, Revan yang melakukan semua ini. Sepertinya dia memang sedang menantang ay
Revan terlihat mengerjapkan matanya mendengar ucapan Valeria. Apa ia tidak salah dengar? Akhirnya setelah sekian lama usaha yang ia lakukan kata-kata itu terucap juga dari mulut Valeria."Kamu yakin?""Asal itu bisa membuat perusahaan ayah kembali, baiklah mari kita menikah."Revan mengulas senyumnya mendengar ucapan Valeria. Ia mengusap kepala Valeria dengan lembut, "Bagus, bagus sekali. Saya senang mendengarnya."Namun rupanya meski Valeria sudah berkata akan menikah dengannya, wanita itu sama sekali tidak senang seperti dirinya. Valeria tetap memberikan wajah datarnya ke arah Revan."Tapi ingat Pak Revan, walau saya setuju menikah dengan Anda, bukan berarti saya akan menyerahkan diri saya begitu saja pada Anda. Ini hanya sebagai bakti saya kepada ayah saya saja, bukan semata-mata karena keinginan saya sendiri."Revan terlihat menghela nafas, sepertinya mengambil hati Valeria masih tidak semudah itu. Hatinya masih diselimuti amarah akibat kejadian tempo lalu. Bisa dimaklumi, kesalah
Lucia segera meninggalkan Valeria dan juga Rionandra. Ia tidak ingin semakin menjatuhkan harga dirinya yang telah runtuh karena telah dipergoki menangis oleh Valeria.Sementara Valeria terlihat menatap tajam ke arah Rio, seolah meminta penjelasan."Apa kalian bertengkar karena aku lagi?""Astaga, tidak. Dia hanya sedang bersedih karena keadaan ayah kalian." Kilah Rio cepatMeski masih tidak percaya dengan ucapan Rio, Valeria memilih untuk mengabaikannya. Ia bergerak menuju ruangan ayahnya membuat Rio kembali bertanya, "Kau mau kemana?""Aku harus menemui Papa."Sebelum membuka pintu, Valeria kembali bertanya, "Apa Mama Kalina masih ada di sini?""Tidak, tadi Lucia memintanya untuk pulang dan beristirahat karena dia terlihat sangat shock.""Baguslah, jadi aku bisa menemui Papa dengan leluasa."Valeria segera membuka pintu, ia terenyuh melihat ayahnya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Valeria mengangkat tangan ayahnya lalu mengusapnya dengan lembut, "Maafkan Valeria, Pa."Tepat saa
"Kau seharusnya meninggalkannya, Revan. Bukan malah memberi kabar bahwa kalian akan menikah, apa kau sudah tidak waras?""Maaf, tapi aku tidak bisa meninggalkannya, Ayah. Ada alasan yang cukup masuk akal agar aku tidak meninggalkannya.""Memangnya kenapa kamu tidak bisa meninggalkannya?" Teriak Agung mulai dengan nada meninggi, sungguh ucapan Revan membuat ia sangat murka."Karena Valeria mengandung anakku."Praang!Cangkir yang sedang dipegang Barbara seketika jatuh mendengar perkataan Revan. Tatapan semua orang seketika beralih padanya, Barbara segera tergeragap melihat perhatian semua orang beralih kepada dirinya. Sungguh, pernyataan Revan tadi sangat membuat ia shock. Valeria sedang mengandung putera Revan? Sejak kapan? Bagaimana bisa Revan melupakannya dan malah memiliki anak dari wanita lain? Hatinya terasa sangat panas dan seluruh tubuhnya menjadi gemetar."Maaf, tangan Mama licin."Barbara segera berjongkok memunguti pecahan kaca, melihat hal itu Agung segera mendekat ke arahn
Hari pernikahan pun tiba, Valeria menatap bayangan dirinya di depan cermin dengan perasaan bimbang. Apa keputusannya untuk menikah dengan Revan adalah benar? Setelah mengetahui hubungan antara Revan dan Barbara, Valeria menjadi sangat ragu dengan keputusannya. Ia jadi merasa jijik karena harus bersanding dengan penipu seperti Revan."Kamu baik-baik saja, Nak?"Valeria mengalihkan tatapannya dari cermin ke arah sumber suara. Ayahnya, Herman terlihat menatap Valeria dengan raut wajah yang kuyu. Seolah menunjukkan bahwa ia merasa sangat bersalah karena sudah membuat Valeria menceburkan dirinya ke dalam situasi seperti ini."Aku baik-baik saja Pa, tenanglah.""Tapi, Papa sangat khawatir, maafkan Papa karena kamu harus menanggung ketidakberdayaan Papa menghadapi keluarga Mahendra."Valeria hanya mengulas senyuman tipis mendengar ucapan Herman, "Tidak usah dikhawatirkan, Valeria bisa menjaga diri dengan baik. Papa hanya perlu mendukung Valeria, yang terpenting perusahaan Papa tidak mendapat
Valeria mencoba mengambil nafasnya saat ia masuk ke dalam kolam renang. Sebenernya apa yang terjadi? Ia bahkan belum mabuk sama sekali, tapi bagaimana ia bisa tiba-tiba masuk ke dalam sini? Ya Tuhan... Ia bahkan tidak bisa berenang.Valeria berusaha meronta mengulurkan tangannya meminta pertolongan kepada semua orang di sana, namun tidak ada satupun yang sadar akan kesulitannya. Mereka malah sibuk menertawakan Valeria. Valeria mulai kelelahan, ia merasa kedinginan dan nafasnya mulai terasa sesak. Sial, ini adalah hari pernikahannya, namun ia malah terjebak dalam situasi menyedihkan ini. Mata Valeria mulai terasa gelap, apa begini akhirnya? Apa dia hanya akan mati konyol di tempat yang ia sendiri terasa asing? Valeria mulai mengerjap-mengerjap, air matanya mulai berderai. Dalam hati ia sungguh menyesali semua ini."Maafkan Mama Nak, Mama tidak bisa melindungi kamu."Tepat saat Valeria hendak menyerah sosok seorang pria dengan setelan putih menghampirinya. Valeria mengerjapkan matanya