Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.
Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?
Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”
Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.
Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?
Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
Dalam sebuah ruangan yang luas, terdapat tumpukan tabung komputer rusak di sudut dekat pintu. Beberapa kepala penghuninya membangun kelompok. Dua pemuda berseragam SMK membedah printer, tiga pria dewasa berkacamata melakukan cleaning CPU, dan sisanya sibuk memperbaiki trouble system pada PC all in one. Semua koloni itu mengicaukan topik yang berbeda. Sesuai dengan objek yang mereka 'bedah'.Tiba-tiba terdengarlah suara benda keras yang menghantam lantai keramik. Suara menyedihkan itu tidak hanya mengarcakan seluruh penghuni ruangan, tapi juga melenyapkan kicauan mereka. Senyap seketika.Seluruh atensi tertuju ke sisi kiri ruangan. Rupanya tiga buah casing printer berwarna gelap sudah tergolek kaku di lantai. Pelaku yang menyebabkan ketiga benda itu berguguran membuat salah satu pria berkacamata berceletuk, “Untung cantik. Coba kalau buluk, pasti saya tendang kakinya.”Pria berkacamata lainnya mengaminkan dan menambahkan. “Untung bos. Coba kalau anak magan
“Di mana kamu sekarang?” Pertanyaan itu datang dari sambungan telepon. Afi mengembuskan napas, lalu memindah letak HP-nya--dari telinga kiri ke kanan. Dia menekuk lutut. Saat ini dia berteduh di rumah Pak RT. Hujan deras sedang melanda. Duduk di lantai, Afi dikelilingi benda elektronik milik tetangga yang rumahnya juga terbakar. Tidak seperti Afi, dua rumah lainnya yang menjadi korban kebakaran memiliki asisten rumah tangga yang dapat menyelamatkan barang berharga milik majikannya. “Di rumah Pak RT,” jawabnya malas dan pelan. Afi tidak suka menarik perhatian. Apalagi dengan suaranya. Dia memilih menutupi mulut saat mengulang jawaban karena Mamanya tidak mendengar jawaban sebelumnya. “Mama suruh Abang kamu jemput, ya.” Afi menggeleng meskipun sadar bahwa gesture-nya takkan terbaca oleh sang penelepon. “Enggak usah, Ma. Aku bisa nginap di sini untuk sementara waktu. Lagipula—” Afi menelan lanjutan ucapannya, lalu memeriksa layar HP. Tern
Afi tampak ragu melepaskan sabuk pengaman. Matanya mendongak menatap tingginya gerbang yang menjadi tameng pelindung rumah mewah di belakangnya. Dian berdiri di depan gerbang sambil merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar seolah mengucapkan selamat datang.“Sikapnya udah kayak pemilik rumah aja,” gumam Afi sambil mendorong pintu.Saat Afi turun dan menutup pintu mobil, Dian menghampiri. “Gede banget, ‘kan, rumahnya? Kalau mau, kamu bisa boyong beberapa tetangga,” ujarnya sambil memilah anak kunci yang terkumpul dalam satu ring besi.“Ini seriusan, Bang?” tanya Afi yang tampaknya belum percaya. “Emangnya Om Egi beneran udah kasih izin?”“Hush! Jangan pakai ‘Om’. Kamu kalau berhadapan langsung sama dia dan panggil ‘Om’, dia bakal marah.” Dian mengingatkan tentang betapa tidak sukanya Egi mendapat panggilan ‘Om’.Egi adalah adik sepupu mamanya. Secara status kekeluargaan, Egi memang paman mereka. Namun, atas nama usia, Egi lebih muda 2 tah