Satu per satu lumpur yang menempel di tubuh Ellysia terkikis. Jatuh bersama air yang mengalir langsung ke sungai.
"Tadi Pak Heru kan udah bilang. Awas kepereset. Nggak tahunya kepereset beneran," ucap Pak Heru yang melihat Ellysia membersihkan tubuhnya dibantu oleh Bibi Tari.
"Udah Non, lanjutin di kamar mandi aja!" pinta bibi Tari pada Ellysia yang masih kesal dengan aroma yang berasal dari tubuhnya sendiri.
Ellysia membuang napas kaaar. Matanya terpejam merasa lelah dengan segalanya. Ia seperti sudah jatuh harus tertimpa tangga. Susah payah dirinya mencoba mencari hiburan di sebuah kampung kecil yang tidak ada apa-apa. Yang terjadi dirinya malah harus terpelosok di sawah. Ia merasa hidupnya mulai mengenaskan.
"Ya udah deh. Bantuin Bi!" Ellysia menegakkan tubuh. Menjulurkan tangan agar Bibi Tari membatunya untuk berdiri. Rasanya ia masih tak percaya dengan keadaan yang menimpa dirinya sekarang.
Ellysia seperti malas bergerak. Ia geli dengan tubuhnya sendiri. Rintik hujan mulai turun ikut menambah suasana gundah hati Ellysia.
**
Suasana di sawah semakin terlihat gelap. Awan hitam seketika berkumpul di langit. Terasa angin bertiup cukup kencang membuyarkan lamunan Alvan yang sedang menikmati pemandangan.
"Cepet banget cuacanya berubah," ucap Alvan yang masih berada di bawah pohon mangga.
Alvan bangun dari duduknya. Lebih baik ia segera cepat pulang, sebelum gerimis kecil ini berubah menjadi hujan deras yang siap membuat basah tubuhnya.
Belum sampai kaki melangkah hingga tepi jalan utama. Hujan jatuh begitu cepat dan sangat deras. Alvan melihat sebuah rumah paling dekat dengan sawah. Ia pikir dirinya bisa berteduh di sana untuk sementara hingga hujan reda.
Segera mengambil langkah seribu. Alvan berteduh di rumah yang tadi dilihat. Ia pun menggerakkan kedua telapak tangannya agar bisa saling menghangatkan. Dingin seketika menguasai dirinya.
Pak Heru yang kebetulan berada di ruang tamu melihat ada seseorang yang berteduh di teras rumahnya. Ia memperhatikan gelagat Alvan. Sepertinya ia pernah bertemu pemuda itu.
"Itukan Alvan yang sekarang jadi pengepul ikan di sini. Kasihan, dia pasti kedinginan," ucap Pak Heru. Ia pun bergerak keluar.
Terdengar suara pintu terbuka. Pak Heru dengan senyumnya yang ramah mempersilahkan Alvan untuk masuk. Namun Alvan menolak.
"Nggak papa Nak. Hujan juga kelihatannya deras. Kita bisa ngopi bareng, kalau kamu mau. Kayaknya kamu juga kedinginan!" sahut Pak Heru sekali lagi.
Alvan tersenyum. Ia merasa tak enak juga jika harus menolak kebaikan yang ingin diberikan Pak Heru padanya. Alvan pun mau dan masuk ke dalam rumah.
"Silahkan masuk!"
Alvan masuk perlahan. Ia melihat kayu yang sedikit lapuk termakan usia menjadi tiang di salah satu sisi rumah. Bisa dibilang rumah tersebut seperti rumah adat. Tiang penyangga di tengah ada dua buah. Bentuk atap yang lain dari rumah modern sekarang ini terkesan simetris dan kuno.
"Rumah Bapak, kayak rumah joglo ya?" ucap Alvan menebak.
"Pinter banget Nak Alvan. Pantesan bisa jadi juragan ikan di sini."
Alvan tertawa renyah. Ia merasa Pak Heru begitu baik. Apalagi, ia juga mendapat secangkir kopi hangat yang dibuatkan oleh istrinya, Bibi Tari. Suasana kekeluargaan terasa begitu kental.
**
Di kamar yang tidak banyak sinar matahari bisa masuk. Seorang gadis terlihat begitu sedih. Ia meratapi perubahan nasibnya. Tetes demi tetes air mata jatuh membuat basah pipi. Ia hapus bulir bening itu dengan tangannya sendiri.
Sesak dada menguasai tubuh. Wajah yang menunduk terpaksa ia angkat menghadap ke atas. Sebuah tetesan kecil yang berasal dari genteng yang sedikit pecah, membuat air hujan turun mengenai keningnya.
"Apalagi ini?" pikir Ellysia sambil mengusap keningnya yang basah.
Kini matanya berusaha melihat tajam. Diteliti dari mana air yang menetes itu.
"Parah emang. Pas banget ada genteng bocor di sini!" gerutu Ellysia kesal. Bersamaan dengan itu petir menyambar begitu keras dan menakutkan.
Ellysia langsung berteriak. Ia bahkan lari ke pojok kamar dan menyembunyikan diri di sana. Ditutupi tubuhnya dengan selimut yang berasal dari kain tipis bermotif seperti batik.
Pak Heru dan Alvan yang sedang mengobrol di depan ikut terkejut. Teriakan Ellysia cukup membuat Pak Heru cemas. Ia pun segera berlari ke arah kamar Ellysia untuk melihat kondisinya.
Begitupun Bibi Tari yang sedang sibuk di dapur bergegas menghampiri Ellysia. Ia melihat anak majikannya itu ketakutan. Diraih tubuh Ellysia yang menggigil dan gemetar.
"Ada apa Nona Ell?"
"Takut," jawab Ellysia singkat.
Petir sekali lagi menyambar cukup keras. Pak Heru yang terburu-buru masuk ke kamar Ellysia, terkejut melihat kondisi anak majikannya.
"Ada apa Bu?" tanya Pak Heru.
"Nona Ell, dia kayaknya ketakutan sekali."
Ellysia semakin gemetar. Ia seperti tak bisa menguasai dirinya sendiri. Tubuhnya tiba-tiba meringkuk ingin dipeluk oleh bibi Tari. Kepalanya mulai berat. Ia tak bisa menahan diri lagi.
"Nona Ell. Pak gimana ini. Tubuhnya ini dingin banget," terang Bibi Tari yang menjelaskan.
Pak Heru ikut bingung. Ia melihat Ellyisa lemas tak bergerak. "Bu, Nona Ell kayaknya pingsan."
"Ini udah pingsan Pak. Cepet bantu bawa ke kasur."
"Atau bawa ke tetangga di gang sebelah yang jadi dokter itu Bu."
"Iya bisa."
"Biar aku minta bantuan Nak Alvan," pikir Pak Heru.
Dengan cepat Pak Heru mengajak Alvan masuk ke dalam kamar Ellysia. Ia ikut panik saat dimintai tolong untuk ikut mengantar Ellysia menggunakan motor karena jaraknya cukup jauh. Sementara gadis itu sendiri sedang dalam kondisi pingsan.
Akan tetapi, ada satu hal yang belum Alvan sadari. Bahwa gadis yang bernama Ellysia itu adalah perempuan yang selalu membuatnya kesal. Bahkan dalam hatinya, ia tak ingin bertemu makhluk hawa yang satu itu.
"Saya kurang ahli bawa motor Pak. Gimana kalau Pak Heru aja yang bawa motor. Saya gendong. Tapi ini masih hujan lho Pak."
"Nggak papa. Saya cemas kalau sampai terjadi sesuatu yang gawat."
Alvan menuruti saja. Namun, rasanya seperti terlalu memaksa untuk membawa orang pingsan di tengah hujan seperti ini. Meski hujan mulai sedikit agak reda sejak petir kedua yang menyambar begitu keras.
"Itu Nak Alvan, Nona Ell. Badannya nggak terlalu besar kok. Sebelumnya Bapak minta maaf ya, baru kenal udah merepotkan," ucap Pak Heru sambil menunjukkan Ellysia yang sedang pingsan.
Alvan mendelik saat itu juga. Mulutnya menganga tak percaya. Ia seperti bermimpi bisa bertemu dengan manusia menyebalkan yang ada di hadapannya itu.
Spontan saja Alvan menggelengkan kepalanya karena merasa heran. Memangnya dunia ini sesempit apa? Sampai harus bertemu lagi dengan gadis yang selalu merepotkan di setiap pertemuan.
Tiba-tiba saja dirinya ingat ucapan Mamanya beberapa hari yang lalu. Saat Alvan bercerita pertemuan pertama kalinya dengan gadis di depannya. Mungkinkah ini yang namanya jodoh.
"Cepat nak, bantuin Bapak ya!" pinta Pak Heru saat itu juga. Ia melihat Alvan masih terbengong sendiri. Agak bingung sebenarnya, mengapa Alvan melihat Ellysia sampai seperti itu."I, iya Pak," jawab Alvan agak terbata.Alvan menarik napas cukup dalam. Ia kini berhadapan lagi dengan gadis yang selalu menyusahkan sejak pertama kali bertemu.Bagaimana bisa takdir bertindak seperti ini. Ia seperti dipermainkan keadaan. Sejauh ia berjalan ke bagian terpencil bumi. Tetap saja sosok gadis ini yang ditemui. Apa tidak ada lagi wanita lain untuk dipertemukan dengan dirinya.Tidak butuh banyak tenaga untuk menggendong Ellysia. Alvan melakukannya dengan begitu mudah. Tapi tidak dengan hatinya yang seperti menahan beban cukup berat.Dengan jarak sedekat itu, Alvan bisa melihat tiap garis wajah dari gadis muda tersebut. Mata yang tertutup terlihat cantik dengan bulu mata lentik. Alis tebalnya tampak menawan ditambah ada tahi lalat kecil
Ellysia berusaha duduk dengan tegap di atas motornya. Sesekali Alvan harus mengerem tiba-tiba hingga membuat Ellyisa berpikir pria di depannya adalah pria mesum yang suka memanfaatkan keadaan.Spontan karena motor kembali direm mendadak. Ellyisa memukul bahu kanan Alvan. Cukup keras pukulan itu. Hingga membuat Alvan sangat terkejut dan merasa sakit."Hey, hati-hati. Kamu mau kita jatuh. Emang kamu nggak mau kita sampai rumah dengan selamat?" teriak Alvan di tengah hujan yang kembali mengguyur. Tidak sederas tadi. Namun, tetesannya berhasil masuk ke mulut Alvan saat dirinya sedang berbicara dan ia merasa gak terganggu dengan hal tersebut."Aku juga maunya selamat sampai tujuan
"Ngelamun Si Alvan. Ihhhhh, ogah banget. Emang dia siapa. Cuma cowok yang kebetulan lewat dan mengacaukan hariku," gumam Ellysia yang sedang mandi.Ia mulai membuat dirinya basah. Sabun dengan aroma vanilla disebar di seluruh tubuh hingga harumnya membuat tenang.Sesaat rasanya Ellysia bisa sejenak melupakan masalah yang menimpanya. Bukan perkara gampang bagi seorang Ell menerima kenyataan pahit yang tiba-tiba datang dalam hidupnya.Kenyataan tentang keluarganya yang bangkrut. Belum lagi ia harus tinggal di perkampungan yang amat jauh dari kota. Mimpinya mengenyam pendidikan di luar negeri juga harus pupus."Menyebalkannn, terus gimana nasibku setelah ini," ucap Ellysia yang masih di dalam kamar mandi.
Alvan membuang wajahnya menatap bagian lain dari langit yang gelap. Dipejamkan matanya sesaat setelan meletakkan gelas kopinya di atas meja.Tiba-tiba sebuah langkah kaki yang cukup keras mengejutkan. Alvan menoleh ke langkah kaki yang berasal dari dalam rumahnya itu."Bima, apaaan sih lari-lari di dalam rumah," ucap Alvan sedikit berteriak karena kesal merasa dikegeti.Bima dengan cepat duduk di sebelah Alvan sambil menunjukkan ponsel pintarnya. "Gawat Van. Kayaknya kita emang harus masuk ke pabrik Papa kamu buat memastikan semuanya. Aku udah minta perkiraan laba bulan lalu ke perusahaan pusat dan mencocokkan dengan hasil di komputer pabrik yang ada di sini. Hasilnya, ternyata selisih banyak Bro. Banyak banget," terang Bima sambil menunjukkan perbandingan laporan.Alvan
Bima terdengar mengalunkan lagu cinta dari bibir tipisnya. Ia terlihat sangat senang dengan mata yang tampak berbinar.Seperti kebiasaannya beberapa hari ini. sepulang dari pasar, ia akan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Juga untuk makan siang beserta makan malam jika bisa. Namun, ada sedikit perbedaan yang dirasakan oleh Alvan sepulang Bima dari pasar.Putra tunggal dari Tomi Anderson itu, tiba-tiba merasa fokusnya pecah. Ia yang tadinya sibuk meneliti denah bangunan pabrik yang hari ini akan dieksekusinya. Terpaksa berhenti untuk melanjutkan kegiatannya.“Aneh, kayak denger suara orang nyanyi,” batin Alvan ragu-ragu.
Cara berpikir yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa uang benar-benar tertanam pada seorang Ellysia Prayogi. Harta banyak yang selama 18 tahun menemaninya setiap hari. Menjadikannya pribadi dengan pola pikir yang tak pernah tahu bagaimana berada di luar zona nyaman.Saat ini, dirinya berada di zona tersebut. Zona yang tidak nyaman. Zona yang tidak pernah terpikirkan oleh Ellysia, bahwa dirinya akan berada di sana. Zona yang sengaja diciptakan oleh sang papa agar Ellysia mau dan bisa berubah.“Tak tak tak tak.” Terdengar suara meja yang dipukul dengan jari telunjuk secara terus menerus.Pria dengan setelan jas rapi tengah serius membaca dokumen di tangan kirinya. Sementara tangan
"Jadi, kalian ini mahasiswa yang sedang KKN. Aneh sekali, kenapa nggak ada pemberitahuan?" tanya Denis. Pria yang bertugas menerimanya kedatangan Alvan dan Bima.Alvan hanya tersenyum. begitu juga dengan Bima."Mungkin, karena kami memilih sendiri tempat untuk KKN. Kebetulan paman saya orang sini dulu. Dan kebetulan ada rumah juga sedikit kenalan di sini. Jadi, kami memutuskan untuk mencoba saja di sini. Bukan begitu Van," ucap Bima mencari teman berbicara.Alvan sedikit terkejut. Sejak tadi, ia tidak memperhatikan perbincangan antara Bima dengan Pak Denis."Iya. Bisa jadi," jawab Alvan yang dibuat sesantai mungkin."Ada apa sih sama Alvan. Kenapa dia
Kayla yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Mulai berjalan mendekat ke arah Alvan. Ia melihat ada keributan di sana.“Tidak salah lagi. Itu pria yang waktu itu,” batin Kayla.Terdengar pertengkaran terjadi. Alvan berusaha menjelaskan sesuatu kepada petugas keamanan tersebut. Begitu juga Bima. Terjadi adu mulut diantara mereka.“Kami berdua minta maaf Pak. Kami terkendala macet di jalan tadi,” terang Bima.“Kamu pikir ini jalanan kota!” sahut satpam tersebut.“Udah gini aja Pak. Sekarang, kita boleh masuk. Apa enggak?” tanya Alvan. Ia yang sudah turun dari motor terpaksa menanyakan hal tersebut.“Kalian nggak boleh masuk. Enak aja, anak KKN mau masuk jam sembarangan.”Tiba-tiba Kayla datang sambil mendengar arah pembicaraan mereka.“Ohhhh, jadi kalian anak KKN. Silahkan ikut saya. Nggak papa telat. Saya aja barusan telat,” ucap Kayla yang sontak membuat Alvan dan Bima bingung.Petugas keamanan pun ikut terkejut. Ia kemudi