Share

2. Rencana

Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit  tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. 

Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit.

Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sampai akhirnya aku dinyatakan pulih walau tidak sepenuhnya. Tapi itu suatu keajaiban yang menurutku mustahil.

Seperti yang kalian lihat, aku tidak mendapat izin untuk datang mengendarai apapun, bahkan Papa memilih menelpon Akmal, untung saja Akmal belum berangkat, jadi aku menang padanya atas dasar kehendak dari Papa. Papa terlalu protektif, tapi Papa tahu cara menjaga keluarganya dengan baik. 

Kini, aku berada di lobi kampus karena ulah Akmal dengan segala kecerobohannya meninggalkan barang penting di parkiran. Ada banyak pasang mata yang menatapku dengan tatapan heran, terlebih dari semua orang hanya ada dua gadis yang melihatku seolah terpesona, itu sangat menyebalkan!

"Lama banget, gue kayak orang ilang, dilirik sana-sini sama makhluk-makhluk." Aku protes pun Akmal hanya menertawakannya saja, jadi percuma. Punya sahabat satu, tapi tingkahnya tak jauh beda denganku. 

"Sori Kal, gue tadi sekalian ketemu sama Reni, anak FH," balasnya.  Aku hanya mengangguk, lagipula siapa yang peduli, Akmal kan memang pemalu. Suka tapi tidak mau terus terang. Sementara aku ... Aku hanya menjelma sebagai seorang singel berkualitas. Apa kalian percaya? 

Aku hanya menyarankan untuk tidak percaya saja. Untung saja aku ingat, hari ini aku merencanakan semua hal tentang bagaimana kami bertemu dulu, rasanya itu pun masih sulit untuk dipercaya begitu saja. Karena saat aku bertemu Akmal, dia sangat pemalu, hingga aku memutuskan untuk mengulur tangan dan berkenalan dengannya. 

Sejak dulu hingga sekarang, Akmal selalu menjadi sandaran ketika keluhku pada Bang Ravi mulai meresahkan kepalku. Dia selalu tahu kalau aku sangat kesal, atau bahkan tak suka dengan orang yang hanya baik di depan tapi justru mengatakan banyak hal di belakangku. 

Sama seperti kemarin sore saat aku melintas di area fakultas  teknik. Ada banyak pasang mata yang membuatku tak nyaman. Bahkan saat aku berhenti di ruang Dekan, ada salah seorang mahasiswa yang menegurku dengan tidak sopan. Awalnya aku hanya menanggapi apa yang ditanya olehnya, mengurangi tenaga untuk tidak melawan itu rasanya sulit, tapi faktanya, pukulanku justru mendapat teguran langsung dari petinggi kampus. 

Dan hari ini, bukan lagi Bubun yang datang, melainkan Papa dan Abang yang sejatinya paling suka mengomel, jika aku mendapat masalah di sekolah atau di kampus. Aku masih bisa menerima apapun yang Papa katakan, tapi kalau sudah Abang yang berbicara, aku tidak lagi bisa menahan kesal apalagi emosi. 

"Kal, Abang Lo," bisik Akmal. Aku tahu, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa  saat ini. Terlebih kami masih dalam area kampus. Bukan waktunya berkelahi. 

"Gue bisa pastiin dia bakal ngomel lebih parah dari Papa sekarang," balasku. Akmal mengangguk, ia memang sudah tahu siapa Bang Ravi saat kami di rumah. 

Menurut penilaian Kak Adena, Abang terlalu sibuk dengan urusannya dan dunianya. Dia selalu bercita-cita ingin menjadi seorang prajurit. Tapi, Kakek Ibram ingin Abang meneruskan perusahaan yang saat ini dipimpin oleh Papa. Garis keturunan seorang Malik begitu melekat. Jika bicara soal keturunan, Papaku termasuk salah satu CEO yang begitu tegas bahkan terkesan begitu kejam. Padahal, jika kalian ingin tahu, Papa sangat baik terlebih pada para karyawannya.  

Hanya saja, tidak semua orang tahu tentang hal itu. Papa pemilik Malik Contraction. Sebuah perusahaan terkenal di kota kami. Bukan, ada beberapa cabang lainnya di luar daerah. Bahkan proyeksi Papa yang saat ini sedang dibangun, sudah hampir tahap akhir. Tidak heran bagaimana sibuknya Papa. 

Kali ini aku tidak sedang bergurau. Tapi  melihat situasi yang mulai tidak enak, rasanya aku ingin sekali pulang lebih cepat dan bolos dalam mata kuliah Mr. Karan. Sejujurnya, aku kesal dengan ucapan Bang Ravi. Aku tidak benci, karena Papa tidak pernah mengajari kami untuk membenci saudara sendiri. Kesal boleh, kan? 

Katakan padaku jika aku memang salah, tapi di sisi lain, aku benar-benar sudah tidak tahan mendengar bisik menyebalkan dari Abangku sendiri. Bahkan kami memutuskan untuk ke kantin walau di sana sangat berisik dan ramai para mahasiswa yang sedang duduk hanya untuk mengobrol  atau hanya sekadar makan bersama. 

"Lo gila, Bang! Papa emang udah pergi, bukan berarti Lo seenaknya kayak gini, gue nggak akan melakukan apapun, apalagi buat nyakitin orang lain!" Bentakku. Berulang kali juga Bang Ravi menghela napas sambil mengusap wajahnya kasar.

"Gue kayak gini  buat lho, La. Buat Lo doang! Adik kesayangan Kak Adena, anak penurut Bubun, apa gue salah? Coba Lo pikirin sekali lagi, omongan gue Minggu lalu," katanya. Tentu aku sangat jengkel, pembahasan kami tidak akan jauh dari kata turnamen. Padahal aku sudah memutuskan untuk pensiun, tetap saja,  Bang Ravi dengan keyakinannya sangat ingin melihatku tampil. 

"Abang, ini kampus jangan sekarang, Lo juga kayak nggak ada kerjaan aja deh, gue udah gede, bisa selesaikan semuanya sendiri, jangan paksa gue itu yang harus Lo ingat!" 

Sejatinya memang aku keras kepala, begitu kata Akmal. Cowok yang sedari tadi hanya diam sambil menyeruput es teh manis duduk di sebelahku. 

"La! Dengar dulu," suara Bang Ravi sudah mengalun, tapi aku abaikan, karena aku harus memasuki kelas tepat waktu sebelum aku kembali di marahi oleh dosen paling menyebalkan. 

"Gue nggak mau dengar, mending Lo pulang, urus aja kerjaan Lo sendiri." 

Aku tidak peduli seberapa keras Bang Ravi berteriak, aku ingin terlepas sejenak dari omong kosong yang katanya hanya  renaca, tapi suatu saat akan terwujud juga, kan?  Terlebih untuk saat ini aku masih belum yakin akan keputusanku untuk kembali berjuang dipanggung pentas.  

"La, Lo beneran nggak ada rencana buat pikirin lagi apa yang Abang Lo omongin barusan?"  

Aku menghentikan kakiku yang baru saja pergi beberapa langkah dari tempatku berada. Kemudian aku berbalik dan menemukan wajah cemas Bang Ravi yang begitu mencurigakan untukku. 

Aku menoleh ke arah Akmal yang masih berdiri di sebelahku. Cowok dengan tampang yang menyebalkan  itu kini menatapku begitu lekat. 

"Rencana yang Lo maksud, apa? Mau ikutan kayak Abang gue? Dengar, ya, Mal, Abang gue cuma merencanakan hal yang gue nggak suka. Mending Lo diem, dan nggak usah ikut-ikutan apalagi maksa kayak Abang gue, paham?" 

"La, ini kan cuma rencana, belum tentu beneran kepilih. Lo juga bilang cuma istirahat aja, kan? Dua tahun lho, La. Selama dua tahun terakhir sejak Lo Hiatus perguruan Mahatam belum punya atlit sekeren Lo, sepandai Lo, bahkan teknik yang Lo punya itu, nggak semuanya bisa terapin dipertandingan." 

Aku tahu maksud Akmal baik, tapi aku juga tidak suka dengan topik yang selalu membuatku teringat terus- menerus tentang kejadian dua tahun lalu. Rasanya sangat menyebalkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status