Share

Part (6)

KACAMATA BERDARAH

Written by David Khanz

Part 6

———————————————————

"Sudah hampir seminggu ini Pak Danu memperhatikan sikap dan kinerja Anda, Pak Rehan," kata Lina mengawali pertemuan dengan Rehan di ruangannya. "Apakah Anda merasa kurang sehat atau mungkin butuh istirahat kerja?"

Laki-laki itu menggeleng.

"Punya masalah pribadi, mungkin?" Kembali Kepala HRD bertanya.

Rehan bingung untuk menjawab. Sejujurnya hampir sepekan ini dia kurang tidur. Kerap kali bermimpi hal-hal menyeramkan dan seperti saling berkaitan satu dengan lain. Entahlah, kehadiran dua sosok makhluk mengerikan berkepala anjing itu selalu datang ke dalam alam lenanya tiap malam. Meneror, menakut-nakuti dengan kalimat ancaman menakutkan.

"Kauharus memberi kami penghidupan, Anak Manusia," ucap salah satu makhluk tersebut seraya menunjuk-nunjuk wajah Rehan. "Kalau tidak, nasibmu akan sama dengan mereka yang kini berada dalam kerangkeng jahanam itu."

"Apa maksud kalian dengan kuharus memberimu penghidupan?" tanya laki-laki itu sambil memperhatikan sekeliling tempat. Masih sama seperti ruangan sebelumnya. Mirip sebuah gua berdinding tanah merah, basah, dan berbau amis menyengat dan menyendatkan dada.

"Darah …." jawab makhluk satunya lagi seraya menunjuk dinding-dinding gua, "darah yang menghiasi tempat kami ini, persembahan yang kami terima dari manusia pilihan sepertimu."

"Aku? Manusia pilihan?" Rehan mengerutkan kening. "Aku gak ngerasa dipilih untuk apapun dan oleh siapapun."

Kedua makhluk itu mengekeh hingga taring-taring tajamnya menyembul mengerikan. "Kaupikir apa yang sudah terjadi padamu itu bukan sebuah kebetulan, heh? He-he. Kau adalah pewaris tunggal dari para leluhurmu dulu yang telah memiliki perjanjian sejak lama."

"Perjanjian apa?" tanya Rehan makin bingung. "Kupikir kalian hanya mengada-ada, 'kan? Bagaimana mungkin—"

"Jangan mungkir, Manusia!" sentak salah satu makhluk itu hingga menciutkan nyali laki-laki tersebut. "Tentu saja aku tahu, karena leluhurmu itu sendiri yang meminta pada kami dulu. Itu tidak akan berhenti sampai dirimu saja. Ha-ha!"

"Persetan!"

Lina terkejut seraya menatap tajam Rehan di belakang meja kerjanya. "Pak Rehan? Apa yang Anda katakan barusan?"

Rehan melongo, tidak kalah kaget karena tidak sadar mengumpat langsung di depan wanita tersebut. Mimpinya semalam masih kuat terbayang-bayang dengan jelas di pelupuk mata. "Ya, Tuhan! Maafkan saya, Bu Lina. Saya gak bermaksud untuk memaki. Tapi …." Laki-laki itu menepuk kening dengan keras, "saya benar-benar khilaf dan gak sadar barusan."

Lina mendeham sekali.

"Anda masih ingin bergabung di perusahaan ini 'kan, Pak Rehan?" tanya wanita itu dengan mata menyipit. Rehan kembali terkejut, lantas sekonyong-konyong berkata, "Lin, tolonglah. Aku masih ingin kerja di sini. Aku butuh kerjaan, Lin. Kamu ngerti 'kan, kondisi aku saat ini."

Lina mendengkus, lalu membalas, "Saya harap Anda bisa bersikap profesional, Pak."

"Lin, tolonglah," pinta Rehan, "kita pernah dekat dulu, tapi jangan sampe ini dijadikan alasan untuk menyingkirkanku, Lin."

"Maaf, Pak Rehan, ini sama sekali gak ada hubungannya dengan masa lalu Anda dan saya," ujar wanita itu tegas. "Saya hanya menjalankan tupoksi saya di sini. Harap Anda bisa memahaminya, Pak Rehan."

'Sombong sekali perempuan ini,' rutuk Rehan geram. 'Dia benar-benar ingin balas dendam rupanya.'

"Besok Anda temui saya lagi," imbuh Lina kembali seraya bersiap-siap beranjak dari kursinya. 'Sementara sambil menunggu keputusan, saya mau menghadap pimpinan perusahaan."

Rehan ikut berdiri dan kembali memohon, "Lin, tolonglah. Aku benar-benar gak bermaksud—"

"Pintu keluarnya ada di sana, Pak Rehan," ucap wanita tersebut seraya menunjuk pintu ruangannya. "Silakan …."

'Sialan! Jahanam sekali dia!'

Perlahan Rehan memutar badan, lantas mulai melangkah meninggalkan ruangan. Namun tiba-tiba ayunan kakinya berhenti seketika. Dia meraba-raba saku baju, kemudian pindah ke kantong celana seperti tengah mencari-cari sesuatu.

'Kacamata itu! Mana kacamata itu?' Dia terus merogoh dalam-dalam saku celananya. 'Mungkinkah hal yang sama akan terjadi pada perempuan jahanam ini, seperti aku memakainya waktu bersama Shanti? Ah, sial! Mana benda sialan itu kusimpan tadi?'

Rehan berusaha mengingat-ingat. Waktu dipanggil Danu —atasannya— agar segera menghadap ke ruangan Lina, dia lagi duduk-duduk termenung memperhatikan kacamata antik tersebut.

'Mungkinkah kutinggalkan begitu saja di atas meja kerjaku tadi? Ah, ceroboh sekali aku!' gerutu laki-laki itu sendiri.

"Silakan, Pak Rehan, kembali ke ruangan Anda," ujar Lina mengingatkan.

Rehan menoleh sekejap, tersenyum sinis, lantas segera lanjut melangkah meninggalkan ruangan tersebut.

'Jahanam!'

Dengan hati bergemuruh kesal, dia kembali memasuki ruangan kerjanya. Mendapati Vikram sedang duduk-duduk di bangku kerja Rehan sambil memainkan benda yang tadi dicari-cari.

"Lagi ngapain lu di meja kerja gua?" tanya Rehan dingin. Vikram menoleh, bersamaan dengan seisi ruangan menatap tajam pada lelaki tersebut. Jawab pria hitam berdarah India tersebut, "He-he, sorry. Gua gak sengaja tadi ngelihat ada kacamata di meja kerja elu, Han. Bentuknya unik. Kuno malah. Gua rasa selama ini mata elu baik-baik saja, 'kan? Sejak kapan elu pake kacamata?"

"Minggir lu," pinta Rehan mengusir Vikram dari area kerjanya. "Apa pedulinya elu ama gua?"

Vikram terkekeh-kekeh. Jawabnya, "Gak juga, sih. Gua cuman penasaran aja bentuknya. He-he. Sorry, Han, tadi sempet gua cobain juga. Gak ngefek apa-apa. Cuman kacamata biasa, 'kan? He-he."

"Lain kali jangan pernah coba-coba nyentuh apapun di meja gua. Inget itu, Mister Ladusing!" ujar Reham geram, tapi malah disambut gelak tawa laki-laki berkulit hitam tersebut. Ucapnya kemudian, "Gimana tadi hasilnya habis dipanggil HRD, Bung? Elu di-skorsing, ya?"

"Kurang ajar!" Rehan bangkit, lalu mencengkeram kerah baju Vikram dan siap menghujaninya dengan pukulan.

"Tahan, Han!" seru Arga yang sebelumnya sudah mengkhawatirkan hal tersebut akan terjadi. "Sabar dulu, Man, sabar!"

Yoga, Pram, serta yang lainnya ikut menengahi. Menarik Vikram hingga terlepas dan menjauhkannya dari Rehan.

"Jangan-jangan elu juga yang ngadu sama Pak Danu, 'kan? Dasar penjilat!" seru Rehan emosi.

"Kalem, Man. Gua cuman nanya. Salah gua apaan?" balas Vikram menyebalkan.

"Sudah … sudah! Kita masih di lingkungan kantor, Guys!" Arga kembali menengahi. "Kalo elu-elu berdua masih pengen adu jotos, silakan habis jam kerja nanti! Paham?"

Timpal Pram sambil menatap Arga, "Elu itu gimana sih, Ga. Orang berantem bukannya didamain, malah dibikinin jadwal tinju."

"Gua udah muak ama dia dan dia!" seru Arga sambil menunjuk Rehan dan Vikram. "Kejadian kayak 'gini bukan hanya sekali ini doang. Kita ini satu tim kerja, Man! Bisa gak sih, kelakuan elu berdua jangan kayak bocah begini, hah?!"

Dada Rehan sampai turun-naik menahan amarah. Ujarnya geram, "Gua yakin, di balik semua ini pasti ada ulah si bangsat itu. Ngaku aja deh, lu!"

Vikram menyeringai, lantas membalas, "Buktiin, Man! Jangan cuma bacot aja elu gedein! Ha-ha!"

"Bangsat!" sentak Rehan mulai kehilangan kontrol, merangsek hendak menghampiri Vikram. Tentu saja Arga lekas menahan sekuat tenaga.

"Sudah! Hentikan!" Arga segera menarik tubuh Rehan ke luar ruangan. Menerobos kerumunan di depan pintu dari pekerja divisi lain yang berbondong-bondong berdatangan melihat keributan tersebut. Panji diantaranya. "Elu ini kenapa sih, Han?" tanya Arga di antara langkah mereka menuju ruang pantri. "Gak bisa ngontrol emosi dikit aja, Han. Elu gak lihat, tadi pada nontonin kelakuan elu berdua. Gimana kalo sampe Pak Danu tahu, hah?"

Jawab Rehan masih menyisakan rasa kesalnya pada Vikram. "Gua gak peduli! Si bangsat itu memang udah keterlaluan. Gua gak bisa selama diam dan bersabar, Ga."

Arga menggeleng.

"Ya, udah. Kita cari minuman dulu. Nenangin hati elu. Habis itu, berharaplah kejadian ini gak sampai kedengeran ke pihak atas. Oke?"

Rehan diam tidak menjawab. Kalau saja tidak ditahan, sudah tentu kepalan tangannya tadi sudah mendarat telat di wajah laki-laki keturunan India itu.

Mereka berdua duduk di bangku ruangan pantri. Memesan dua gelas teh dingin, lantas berbincang-bincang.

"Hhmmm, gua makin heran ama sikap elu, Han," ucap Arga mengawali pembicaraan. "Makin ke sini, seolah elu itu orang baru bagi gua. Selama gua kenal, gua gak pernah ngelihat elu kayak 'gini. Ada apa sih, sebenarnya, Han?"

Rehan menanggapi temannya itu sambil memainkan kepulan asap rokok. Membentuk bulatan kecil begitu diembuskan dari lubang mulut.

O …. o …. ○ ….

"Gua santai aja, Ga," jawab Rehan. "Kenapa?"

Arga menggeleng, enggan memahami ucapan temannya itu. Ucap laki-laki itu kemudian, "Enggak, Han. Elu kelihatan beda sekarang. Bahkan makin gak gua ngerti kelakuan elu akhir-akhir ini."

"Ah, itu cuman perasaan elu aja, Ga."

"Ada apa, sih?" tanya Arga penasaran. "Tadi juga …." imbuhnya kembali, "elu dipanggil HRD. Kenapa? Apa yang terjadi?"

Rehan mengisap dalam-dalam rokoknya. 

"Gak ada apa-apa. Cuman ngobrol sebentar sama Lina, habis itu … ya, sudah, gua balik ke ruangan."

"Ngobrol tentang apa?"

Rehan tersenyum kecut. Tanyanya balik, "Elu pikir ngomongin apa?"

"Gua gak tahu," jawab Arga berusaha untuk tidak menduga-duga. Padahal dari desas-desus yang dia dengar, pemanggilan Rehan terkait sikapnya selama ini di kantor. Kinerja menurun dan lebih banyak melamun seperti orang kehilangan ingatan. Bahkan Danu sendiri pernah menanyainya tentang rekan kerjanya tersebut.

"Lina makin cantik ya, Ga?" ujar Rehan di luar harapan Arga. "Sayangnya, sampai saat ini dia masih—"

"Seriuslah, Han," pinta Arga seraya mendengkus kesal. "Jangan ngalihin obrolan."

Rehan malah mengekeh. Seakan-akan tidak tampak sekali bahwa laki-laki ini baru saja melewati masa-masa emosi beberapa saat yang lalu. Jawabnya santai, "Besok gua disuruh ngadep lagi ke sana. Gak tahu bakal dapet apaan dari perempuan tua jomlo itu. Ha-ha."

"Gawat," gumam Arga tanpa sadar.

"Kenapa, Ga?"

Arga menarik napas dalam-dalam, lantas menjawab, "Elu terancam di-skorsing, Han."

Rehan tidak menimpali. Dia terdiam sambil menghabiskan sisa rokok hingga isapan terakhir. Mematikannya ke dalam asbak, lantas meraba-raba kacamata antiknya di dalam saku baju.

'Tenang aja, Ga. Aku yakin, itu tidak akan terjadi besok. Percayalah,' membatin laki-laki itu penuh percaya diri.

Percakapan itu tidak menghasilkan apa-apa, kecuali rasa heran Arga terhadap Rehan kian besar. Laki-laki itu kembali terlihat biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa begitu balik ke ruangan dan bertemu Vikram. Entahlah. Bahkan waktu pulang bersama dengan Panji, jawaban yang dikemukakan pun terdengar datar. "Gak apa-apa, Mas. Emangnya ada apa?" tanya Rehan mengulang pertanyaan pegawai baru di lingkungan kantornya tersebut.

"Gak ada, Pak," jawab Panji disertai ulas senyum kecil. "Gak mampir dulu sebentar, Pak. Kita minum kopi bareng di rumah," ujar laki-laki muda itu begitu tiba terlebih dahulu. 

"Makasih, Mas. Lain kali aja."

Panji manggut-manggut. Menatap lekat Rehan hingga dia pamit pulang bersama motornya.

✩       ★       ✩       ★       ✩       ★       ✩

"Vikram meninggal dunia semalem, Han," kata Arga keesokan harinya begitu Rehan tiba di kantor.

"Apa?!" Rehan berseru kaget. "Yang bener, Ga?"

"Gua serius," balas Arga dengan raut pucat manai. "Barusan gua dapet kabar dari temen kantor tetangganya."

"Ya, Tuhan! Kenapa gak ada info sama sekali dari kantor?" Rehan terpaku di atas kursi kerjanya. "Bahkan Pak Danu sendiri gak ngabarin."

"Pak Danu aja baru gua kabarin barusan, Han," ujar Arga. "Sekarang dia lagi ke sana sama si Yoga."

"Ya, Tuhan!" desah Rehan seraya mengusap-usap kepala, merasa belum bisa percaya dengan kabar tersebut.

Baru kemarin dia berseteru dengan Vikram. Pagi ini mendapat kabar yang mengejutkan. Senada dengan sikap Shanti yang kian memanja saat hendak berangkat kerja tadi pagi.

"Hati-hati di jalan ya, Sayang," ucap Shanti seraya bergelayut manja hendak melepas suaminya pergi.

"Makasih, Sayang," balas Rehan bersiap-siap di atas motornya dengan raut jengah. Tidak seperti biasanya perempuan itu bersikap demikian. Dia mengecup hangat bibir laki-laki tersebut, disertai gerai rambut panjangnya yang masih terlihat basah dan beraroma wangi menggoda. 'Padahal aku gak lagi memakai kacamata itu,' membatin Rehan teringat akan kebiasaan yang kerap diperlihatkan Shanti belakangan ini.

"Gak nyangka banget rekan kerja kita bakal meninggal dunia semuda itu," gumam Arga membuyarkan lamunan Rehat baru saja. "Padahal kemaren dia terlihat masih sehat, segar bugar. Dan …." Laki-laki itu memandang Rehan beberapa saat. "Sempat ribut juga sama elu, Han."

Rehan mendengkus.

"Kita ke sana kapan, Han?" tanya Arga kembali.

Rehan menggeleng bingung. "Hari ini gua harus ngadep ke HRD. Gak tahu kapan ke sana. Mungkin—"

"Sabtu ini?"

"Ya, mungkin."

"Yakin? Elu ada waktu?"

"Mungkin."

Percakapan mereka terhenti begitu seseorang memanggil nama Rehan agar segera menghadap Lina di ruangan HRD.

"Masa depan gua, Ga," ujar Rehan dengan raut wajah lesu, usai mengiakan panggilannya tadi.

"Gua harap, gak sesuai ama obrolan kita kemaren, Han."

"Mudah-mudahan."

Rehan bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Sebelum menguak pintu, dia merogoh saku baju untuk mengambil kacamata antiknya, lantas lekas mengenakan dengan hati berharap-harap.

"Selamat pagi, Bu Lina," ucap laki-laki tersebut begitu memasuki ruangan. 

"Iya, pagi," balas Lina tampak sedang duduk membaca-baca lembaran kertas di tangannya, tanpa sedikit pun mengangkat wajah begitu Rehan masuk. "Duduklah, Pak Rehan."

Rehan menurut. Duduk menunduk berhadapan dengan perempuan yang dulu pernah dia kasihi semasa masih menjalani pendidikan di kampus. Hati laki-laki itu bercampur baur, antara khawatir dan berusaha meyakinkan diri bahwa hari itu adalah ….

"Rehan …." desah Lina tiba-tiba mengejutkannya. 

Rehan langsung mengangkat wajah.

"I-iya, Bu Lina," jawabnya gugup. Tidak seperti biasa perempuan itu memanggil namanya langsung tanpa embel-embel 'Bapak' atau 'Pak'.

Air muka Lina tampak semringah. Tersenyum-senyum simpul sambil menatap Rehan tiada henti. Dada perempuan itu pun terlihat turun-naik disertai napas memburu.

"Ya, Tuhanku … Rehan, kamu …." Suara Lina terpatah-patah. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya, memutari meja hendak mendekat ke tempat dimana saat itu Rehan sedang berada. Begitu berada di belakang, lengan mulus berjemari lentik dengan kuku-kuku merah menyala itu hinggap di bahu, lantas turun menyelusup di antara belahan kancing baju, merayap mengusap-usap bagian dalam dada laki-laki tersebut.

"Bu Lina …." panggil Rehan terheran-heran disertai detak jantung tidak beraturan. "A-apa yang Ibu lakukan ini, B-bu? Aahhh."

"Kamu terlihat lain hari ini, Rehan," balas Lina kembali seraya mendekatkan wajah dari belakang dan menyentuhkan pipi ke permukaan kulit muka Rehan.

"J-jangan, B-bu," pinta laki-laki itu dengan mata terpejam. "Nanti ada yang melihat. Bukannya hari ini … s-saya akan di—"

Tiba-tiba Lina menjauh, meraih lembaran kertas di atas meja, lalu merobek-robeknya begitu saja. "Kamu pikir aku akan ngelakuin hal sebodoh itu, Rehan? Enggak! Lihat sekarang, apa yang aku lakuin. Hi-hi."

"Lina …." Rehan terkesiap. Perlahan-lahan dia mulai meyakini apa yang sebelumnya dia kira. 'Kacamata ini,' gumam laki-laki disertai senyuman kecil terulas menyamping. 'Benar sekali. Kacamata ini memang punya kekuatan khusus. He-he. Sudah kuduga.'

"Rehan, dari dulu aku selalu mencintaimu," ujar Lina kembalj begitu mendekat dan mendekap Rehan dari belakang. "Kamu tahu, sekian lama aku menunggu-nunggu saat-saat ini bersamamu, Rehan."

Rehan berdiri, memutar badan, dan kini berhadapan langsung dengan perempuan yang selama ini dia incar.

"Kamu masih mencintai aku, Lin?"

Lina mengangguk. Dia mendekatkan wajah sambil berjinjit. Berdiri pada tumpuan jemari kaki yang ditekuk hingga menaikkan badan. Menyejajarkan dengan tinggi tubuh Rehan beberapa sentimeter. Kemudian decak peraduan bibir pun terdengar berirama penuh gelora.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status