Peluru pistol desert eagle di tangan Aghata berdesing, menembus pakaian pria yang berdiri di ujung kiri tepat di dada. Tindakan Aghata membuat semua orang terkejut, Aghata menatap pria yang ditembaknya dan berkata, “Jangan sebut nama ibuku dengan mulut kotor kalian!” kecam Aghata sambil menatap satu per satu pria di depannya.
Empat pasang roda kecil di bawah kursi mulai bergetar. Pria yang duduk di atasnya melihat Aghata dengan raut wajah yang berbeda. Mata pria itu dan mata Aghata bertemu. “Psikopat! Dasar wanita psikopat!” cemooh pria itu menatap Aghata.
“Psikopat?” Iris mata Aghata menatap tajam, bibirnya menyeringai. “Apa itu? Panggilan baru untukku? Kalau begitu terima kasih, tapi aku tak menyukainya!” tolak Aghata.
Pria berkacamata yang dipanggil dengan nama Regi mengkatup rahangnya, ia menatap tajam Aghata sambil berkata, “Dari mana kamu tahu namaku?”
Pftt!!! “Hei, Tuan Regi. Kita berpapasan saat terdengar tembakan dari ruangan Baron, secepat itukah kamu melupakanku? Sayang sekali ... padahal jika kamu mengenaliku, kedatangan aku hari ini akan menjadi kejutan.”
Regi terkejut dengan kening berkerut dan mata membelalak, pipa pernapasan di leher tampak menegang. Bagaimana bisa Regi lupa? Aghata meninggalkan seringai tipis saat berpapasan dengan Regi. Dan bodohnya, ia baru menyadari kalau wanita itu adalah pembunuh Baron! Regi tak percaya, sekarang wanita itu datang sendiri ke markasnya, ia pikir Aghata datang untuk mengantarkan nyawa.
Aghata menyeringai, sementara jari telunjuk memainkan pelatuk pistol. “Kamu bisa bersantai dulu, Regi. Sampai aku menyapu habis anggotamu, dan mendatangimu sendiri. Karena aku akan memperlakukanmu dengan sangat spesial, jadi tunggulah sampai saat itu!”
Pistol desert eagle mengarah ke atas, memuntahkan peluru menyatakan pertarungan dimulai. Sekitar 6 pria dengan ukuran tubuh yang berbeda-beda menyerang Aghata secara bersamaan. Dari berbagai arah mereka berusaha melemahkan Aghata, akan tetapi itu belum berhasil. Tubuh Aghata yang langsing membuat setiap gerakannya secepat kilat, tenaga saja tidak cukup untuk mengimbangi Aghata.
Lantai putih berpola kotak kini menjadi genangan darah segar, para pria yang tadinya di depan Aghata kini sudah menjadi mayat. Tersisa dua pria lagi, Regi dan pria yang duduk di kursi roda. Jauh mata memandang Regi tak percaya kalau anak buahnya akan kalah, mau tidak mau ia harus turun tangan menghadapi Aghata.
Awal pertarungan Aghata dan Regi hanya baku hantam, kemudian Regi meraih revolver di saku celana. Regi meluncurkan peluru pertama yang mengenai lengan Aghata, hingga tubuh Aghata sedikit terhuyung menghadap lurus ke arah Regi. Tentu saja Regi akan mengambil kesempatan untuk membidik jantung Aghata.
Mata Regi membidik jantung Aghata, peluru kedua meluncur saat Regi menekan pelatuk revolver. Dan berhasil! Peluru itu mengenai tepat di dada Aghata, membuatnya sedikit terdorong kemudian jatuh telentang di lantai. Mata Aghata menatap langit-langit atap dengan sayu, dan perlahan kelopak matanya menutup. Mungkinkah hanya sampai sini Aghata bertahan? Di sisi lain, Regi menyeringai sambil mendekati Aghata.
“Aku tidak menyangka akan membunuhmu semudah ini, kenapa harus susah-susah melawan?” Regi tertawa puas hingga menggelegar di seluruh penjuru ruangan.
Regi berpikir kalau Aghata sudah mati di atas lantai yang dingin, karena darah mengalir deras menembus jas hitamnya. Akan tetapi darah itu tidak berasal dari tubuh Aghata, melainkan darah palsu yang sengaja dibuat agar bisa pecah saat tertembak. Di balik jas yang Aghata kenakan, peluru milik Regi memang menembus jas Aghata, tetapi tidak menembus rompi anti peluru yang melekat di tubuh Aghata.
Kiranya tinggal jarak satu langkah Regi mendekat, Aghata terbangun lalu menembak tulang kering kaki Regi, membuatnya terjatuh di lantai. Aghata segera bangun dari lantai, menekan pelatuk pistol ke arah tulang belikat Regi. Darah segar menyembur cepat. Regi meringkuk menahan sakit di bahu dan kaki, sementara pria yang duduk di kursi tercengang.
Aghata mendekat ke arah Regi sambil melepas jas serta rompi yang melekat di tubuhnya. Ujung pantofel Aghata menyelami genangan merah di atas lantai, ia menekuk lututnya sebelah di sisi tubuh Regi yang masih meraung kesakitan.
Mata Aghata menatap luka tembak yang ia buat di tulang belikat Regi, sudut di bibir muncul dan semakin terlihat jelas. Pupil mata berwarna cokelat belum membesar, dan itu berarti belum ada rasa puas di benak Aghata. Terlalu sayang bagi Aghata untuk membunuhnya dengan cepat, ia ingin memainkan tikus yang sekarat terlebih dulu, sebelum membunuhnya dengan benar.
“Seharusnya kamu tetap bungkam di markas ini tanpa mengirim bawahanmu. Kamu bisa melanjutkan pekerjaan kotormu dan menjadi Bos dari mereka. Akan tetapi kamu menyiakan kesempatan itu, dan memburu diriku. Sayang sekali, wajah yang kamu lihat sebelum mati adalah wajahku.”
Aghata meletakkan moncong pistol di dada Regi, tepat di posisi jantungnya yang masih berdetak. Sementara telunjuk Aghata hampir menarik pelatuk, akan tetapi terdengar gemuruh langkah kaki masuk ke dalam ruangan. Ternyata langkah kaki itu milik Andi, ia berdiri menyaksikan Aghata dengan posisi ingin menembak dada Regi yang terkapar di lantai.
Andi masuk ke dalam karena sudah mendengar desing peluru yang bergema sampai keluar. Namun, untuk pertama kali Andi melihat Aghata mengarahkan pistol pada orang di depan matanya sendiri. Tubuh Andi hanya mematung tak berani menghampiri Aghata. Ucapan Aghata saat menyuruhnya memakai masker ternyata benar, bau anyir darah segar menyengat melalui masker di mulut Andi.
“Ka-kamu ... sungguh ... akan membunuhnya?” tanya Andi gugup merasa takut menghampiri Aghata.
Aghata berdengus, ia kembali menjauhkan pistol di dada Regi. Mata Aghata menatap Andi dari kejauhan, sudut pakaian yang Andi kenakan terlihat jelas sedang bergetar. Hal itu sangat mengganggu Aghata, walau ia sudah tahu Andi pasti akan sedikit melarangnya untuk membunuh seseorang.
Di sisi lain. “Apa ibumu tahu ... kalau kamu melakukan hal kejam seperti ini?” tanya pria di kursi roda pada Aghata. Seharusnya kata-kata itu tidak diucapkan di depan Aghata. Moncong pistol desert eagle mengarah ke arah lain.
DOR!
Argh!!! Andi dan pria di kursi roda berteriak secara bersamaan.
Satu peluru terbuang ke arah lain melepas kemarahan Aghata, ia berpaling ke arah pria yang duduk di kursi roda. “Jangan banyak bicara! Tunggulah sampai giliranmu tiba!” Aghata kembali pada Regi yang masih di ambang kematian.
Sorot mata Regi memerah, ia ingin membalas perlakuan Aghata, tapi sudah tak bisa melakukan apapun. “Kamu bukan manusia! Benar-benar psikopat! Wanita gila!” cecar Regi yang membuat Aghata menyeringai.
Aghata hanya tak acuh mendengarkan ocehan Regi, karena percuma saja berteriak di telinga Aghata kalau hidupnya tetap akan berakhir. Sementara Aghata melihat Andi yang ketakutan di ujung dekat pintu masuk. “Aku beri kamu pilihan, tetap di dalam atau kau keluar? Karena aku akan menembak pria ini.”
Aghata kembali berkata, “Aku hitung dari satu sampai tiga. Satu ... dua ...”
“Aku akan tetap di sini!” jawab Andi cepat. Setelah mendapat jawaban Andi, Aghata membuka paksa mulut Regi, memasukan moncong pistol ke dalam mulut. Tentu saja kali ini Aghata tidak akan menembak di dada Regi, melainkan langsung menyuruh Regi menelan peluru setelah Aghata menekan pelatuk pistol. Sontak Andi menutup mata dengan tangan, ia bahkan lupa menutup telinganya. DOR!!! Desing peluru terdengar nyaring akibat moncong pistol tidak terlalu dalam. Perlahan Regi memuntahkan darah dari mulutnya, hingga terjun ke lantai menjadi genangan darah. Aghata perlahan menjauhkan diri dari mayat Regi, ia tak ingin mengotori pakaiannya dengan darah. Dari kejauhan, Andi terjatuh ke lantai karena tak bisa menahan tubuhnya yang melemas. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Belum lagi ingatan saat ditikam
“Ampuni aku tolong! Ampun!” mohon pria itu bersujud di lantai. “Siapa yang mengirimmu datang ke sini? Cepat katakan!” gertak Aghata dengan nada meninggi. “Tidak ada yang mengirimku ... aku ... aku datang secara pribadi menemuimu, Nona!” Pria itu menangis, kedua telapak tangan menyatu di atas kepala. “Apa tujuan kamu menemuiku? Berani sekali orang kepercayaan Nando datang ke sini!” murka Aghata menatap tajam. “Aku melihat ciri-ciri pembunuh ibu Nona.” Aghata mengerutkan keningnya, ia meletakkan mocong revolver di kepala pria itu. “Ceritakan semua yang kamu tahu, tanpa terkecuali!” perintah Aghata. “Dua jam sebelum ibumu disekap, aku mendapat sebuah pesan berisi perintah. Orang dalam pesan itu menyuruhku menyekap ibumu. Saat itu aku berusaha melacak nomor itu,
Clarista mengerutkan kening, setetes air bening turun membasahi pelipisnya. Kepanasan? Tentu saja tidak, karena ruangan itu dilengkapi pendingin ruangan. Sudut wajah Clarista yang mulai menegang bisa terlihat oleh Aghata, namun Clarista berusaha menutupi rasa tegang itu. “Bukankah ucapanmu sangat lancang? Kamu bisa ditahan atas pencemaran nama baik,” sangkal Clarista yang akhirnya menatap Aghata. “Benarkah?” “Apa maumu?” Clarista bertanya seolah melihat Aghata menginginkan sesuatu. “Saya lihat Anda menilai saya berbeda dengan yang lain, bukan begitu?” terka Aghata, “Anda bisa mempertimbangkanku untuk bekerja di sini dengan cara lain, misalnya menarik investor yang sulit sekali diajak bekerja sama,” usul Aghata. Clarista menatap Aghata dan berkata, “Kalau begitu silakan! Jika kamu berhasil, kam
“Aku bukan orang bodoh yang melakukan hal itu ... dan jangan tanyakan soal apa pun lagi padaku, kamu cukup terima saja hasilnya!” kecam Aghata berjalan ke kamar. Glen merasa tertegun oleh ucapan Aghata, sedangkan Andi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. Bahkan Andi tidak tahu, apa yang dilakukan oleh Aghata sampai ST Grup mau menandatangani kontraknya? Cara violent yang dipakai Alto Grup saja, Andi tidak tahu-menahu. Di sisi lain Aghata sedang berbaring di ranjang dengan tangan yang merentang. Kelopak mata Aghata menutup iris matanya yang tajam. Sudah lama Aghata tak menginjakkan kaki di gedung Alto Grup, bukan rindu yang datang menyapanya melainkan amarah yang kian memuncak. Ia meraih ponsel di dalam saku celana, menelepon seseorang bernama Clarista. Begitu sudah terhubung, Aghata berkata, “Sampaikan pesanku pada Pak Anderson, suruh dia menungguku di ruan
Aghata menghela napasnya dan berkata, “Cara violent sudah beroperasi sejak 2014, tepatnya saat pergantian pimpinan dari ibuku ke Nando Setyoko. Cara violent sering digunakan untuk kerja sama dua pihak, cara itu sama saja dengan penindasan ... pihak Alto Grup akan melakukan penyekapan, penyiksaan, dan mengancam korban untuk mendapatkan apa yang Alto Grup inginkan. Sedangkan seminar investasi biasanya dilaksanakan setelah luka korban sudah bisa ditutupi dengan alat-alat rias.” “Bukankah itu sangat keterlaluan?” Kening Andi berkerut setelah mendengar perkataan Aghata. Bibir Aghata melengkung, ia hanya bisa tertawa saat Andi merasa marah. “Itu sudah menjadi hal yang wajar bagi Alto Grup, aku sudah tidak terkejut mendengarnya. Dan tak disangka cara itu masih dijalankan sampai sekarang.” Tangan Aghata mengepal berusaha menahan amarah. Jika mengancamnya sudah bisa membua
“Memangnya kenapa?” tanya Glen. “Aku melihatmu berbicara dengan Taina sebelum seminar dimulai, apa kalian saling mengenal?” desak Clarista. Glen sampai tertegun, ia tak menyangka kalau Clarista akan bertanya langsung soal Aghata padanya. “Saya memang berbicara dengannya, tapi untuk menyapanya. Saya mendengar dia Asisten baru Pak Anderson,” jawab Glen. Raut wajah polos dipasang oleh Glen sambil melihat setiap sudut wajah Clarista. Sedangkan Clarista, dia membuang pandangannya setelah tahu jawaban dari Glen. Dikecam bukan berarti menyerah, Clarista terdiam untuk memikirkan rencana menyelidiki tentang Aghata lebih jauh. “Kamu boleh keluar dari ruanganku!” suruh Clarista. Kepala Glen setengah menunduk, ia berjalan keluar meninggalkan Clarista yang sedang berpikir. Glen menuju parkiran untuk mengha
Desing peluru menggelegar di seluruh penjuru ruangan. Percikan darah segar membuat noda di dinding putih, genangan darah di lantai berkamuflase menjadi hitam karena kegelapan. Malam yang sangat mengenaskan dan mencekam, keringat yang jatuh menjadi saksi pertarungan antar nyawa. Kini ruangan yang gelap itu kembali sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar di sekeliling mereka. Usaha yang cukup keras dari pria itu saat mengulurkan sebuah revolver, akan tetapi peluru yang keluar masih kalah cepat dengan peluru pistol wanita itu. Tubuh wanita itu bahkan tidak berbalik saat meluncurkan sebuah peluru, dan sebuah keberuntungan didapat wanita itu sehingga peluru miliknya mengenai tepat jantung pria itu. Saat itu, tiga pria yang mengikuti Glen sudah benar-benar tertidur lelap menjelajahi dunia yang berbeda. Tangan wanita itu kembali menurunkan pistol, ia membalikkan tubuhnya menatap satu per satu pria yang
Di dalam ruangan yang gelap dan bau akibat lembab, tak ada berbagai macam barang, hanya terdapat satu kursi yang berdiri tegak di pusat ruangan. Seorang pria duduk tak sadarkan diri di kursi itu. Seutas tali melilit tangan dan kaki pria itu. Dan hanya terdapat satu cahaya berasal dari langit-langit atap tepat di kepala pria itu. Titisan air terjun dari atap sampai membuat genangan keruh di atas tanah plesteran. Suara titisan air itu mengisi kesenyapan dalam ruangan yang kosong. Kaki jenjang seorang wanita dan pria masuk, mendekati pria yang tak sadarkan diri di kursi. Masker hitam melingkupi mulut pria itu. Sementara wanita itu tidak mengenakan masker, membiarkan paras cantiknya terlihat dengan rambut terikat. Iris mata tajam, rahang yang tegas, serta sebuah pistol disert eagle yang selalu melekat di tangan, siapa lagi wanita itu kalau bukan Aghata. Aghata datang bersama seorang pria, tetapi bukan A