Share

KITA & MASA LALU
KITA & MASA LALU
Author: Seul Ye

EPISODE 1

Siang yang terik, di suatu kota di selatan Jakarta. Tampak seorang wanita berpakaian ala-ala sekertaris CEO tengah sibuk bergelut dengan mesin kasir, melayani para pengunjung kafe komiknya yang setiap hari selalu membeludak. Wanita kharismatik itu, Rimbu, begitu cekatan dan luar biasa ramah menyambut para pengunjung.

"Makan aja ya, gak sewa komik. Totalnya jadi empat puluh dua ribu. Pembayarannya mau pake apa?"

"Pake cinta boleh?" Seorang pengunjung pria balik bertanya pada Rimbu.

"Bahan-bahan nasi goreng seafood sama jus melon emang bisa dibeli pake cinta?"

Si Pengunjung Pria berdeham, "Cash. Saya bayar cash aja."

Sementara tepat di seberang kafe komik milik Rimbu, seorang pria bersetelan training hitam tak kalah sibuknya. Pria berpenampakan bak boyband Korea kenamaan itu, Aksara, adalah pemilik sekaligus pelatih seni bela diri muay thai. Aksara tampak bersemangat memaki murid-muridnya yang tidak berlatih dengan sungguh-sungguh.

Aksara menghampiri salah satu muridnya yang masih berstatus siswi SMA. "Kamu sengaja salah biar saya benerin?"

Si Siswi SMA mengangguk berulang kali. "Abis couch gantengnya meresahkan banget sih."

Aksara ikut mengangguk-angguk. "Kalo gitu, bayar bulanannya buat mantengin muka saya aja daripada buat latihan gak faedah."

•••••

"Mas Aksara, dapet salam dari Mba Rimbu. Serius kali ini saya gak peres*," ujar bapak pemilik warteg yang kebetulan melintas di depan ruko Aksara.

Peres* merupakan istilah gaul yang sering digunakan oleh anak-anak muda di media sosial maupun dalam obrolan. Kata gaul ini terkadang disebut 'Perez' yang memiliki arti palsu, bohong, atau tidak tulus.

"Kerjaan Bapak bukannya tiap hari peres?"

Spontan si Bapak terbahak. "Ehem, pada janjian pake baju biru-biru ya? Kalo gak janjian berarti jodoh tuh, Mas."

"Itu Bu Jamila juga pake baju biru. Jodoh dong kita."

Spontan si Bapak berteriak, "Eits, jangan dong. Bu Jamila mah milik saya seorang."

"Makanya ka--"

"Mba Rimbu, ini Mas Aksara sengaja pake baju biru biar makin sehati sama Mba Rimbu katanya," sela si Bapak pada Aksara, saat melihat Rimbu keluar dari kafenya.

Spontan Rimbu tersenyum paksa, dan kembali masuk ke dalam kafenya dengan langkah terburu. Aksara dan Rimbu segera mengganti kaos oblong mereka yang kebetulan memiliki warna yang sama persis. Namun, kaos oblong kedua yang mereka kenakan malah membuat semua orang lebih bersemangat menjadi Mak Comblang.

Rimbu dan Aksara memiliki hubungan yang ambigu, agak canggung jika dikatakan tidak dekat, namun merupakan fitnah besar jika dikatakan dekat. Hubungan Aksara dan Rimbu terjalin dari hutang balas budi. Aksara pernah menggagalkan aksi kejahatan di rumah kos Rimbu, dan Rimbu pernah menyelamatkan Aksara yang jatuh pingsan di gang sepi.

Orang-orang di sekitar ruko usaha Aksara dan Rimbu sering mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang sedang menjalani hubungan backstreet*, karena kecanggungan keduanya yang malah dianggap manis, serta keserasian paras satu sama lain yang seperti sudah ditakdirkan. Mereka hampir setiap hari menjodoh-jodohkan keduanya.

Backstreet* adalah istilah singkat dari hubungan rahasia. Artinya tentu saja merahasiakan sebuah hubungan dari sekitar supaya hubungan itu tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya. 

Namun, tak peduli meski semesta mendukung, tidak akan pernah ada benih-benih cinta yang tumbuh di hati Aksara dan Rimbu, sampai kapan pun. Luka masa lalu yang masih membekas di hati mereka meski telah bertahun-tahun berlalu, membuat mereka yakin jika hubungan yang kini mereka jalin tidak lebih dari sekadar hutang balas budi semata. 

•••••

KRINCING.. KRINCING..

Bunyi berisik sebuah hiasan bunga sakura dengan lonceng-lonceng mini yang tergantung di pintu masuk sebuah kafe komik, membuat si Pemilik, Rimbu, yang sedang sibuk menata botol jus buah ke dalam lemari pendingin menghentikan aktivitasnya sejenak.

Rimbu berdiri, bersiap menyuguhkan senyum ramahnya pada pengunjung pertama. Tetapi setelah tahu yang baru saja datang adalah pengunjung jadi-jadian alias tetangga kosnya, Theo, senyum ramah Rimbu seketika hilang entah ke mana.

Theo, adalah guru PAI* di salah satu SMA negeri favorit. Sosoknya saat tengah memakai seragam guru memang luar biasa layak dijadikan panutan. Tetapi sosoknya saat tengah memakai hoodie dan ripped jeans seperti sekarang, benar-benar menjengkelkan, seperti kutu rambut.

PAI* kepanjangan dari Pendidikan Agama Islam.

Rimbu tak mengindahkan Theo, ia hanya terus melanjutkan menata botol jus buah titipan Bu Jamila di rak-rak lemari pendingin. Hingga tanpa terasa, kafe super bersih beraroma segar lemon itu mulai disesaki para muda-mudi yang menggilai komik.

Jam memesan makanan dan minuman pun dibuka ketika semua pekerja paruh waktu Rimbu sudah siap di posisinya masing-masing. Dan seperti biasa, pengunjung bernama Theo yang selalu duduk di kursi nomor tiga puluh tiga di lantai dua, hanya mau pesanannnya diantar oleh Rimbu.

"Ini yang seri keenam belom keluar?" Theo menunjukkan sebuah komik bersampul menyeramkan pada Rimbu yang baru saja datang mengantarkan makanannya.

"Sebentar saya check."

"Berapa menit?" Theo menerima seporsi roti bakarnya.

"Diusahain gak makan waktu lama."

"Semenit cukup?" Theo melahap roti bakar kacangnya.

"Cukup. Tolong ditunggu."

Theo bergumam sembari memandangi Rimbu yang tengah berjalan setengah berlari. "Kerjaan saya dari tiga taun lalu emang cuma nunggu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status