Assalamu'alaikum. Hari ini, cerita ini akan tamat. Semoga Othor diberi kesempatan untuk menghadirkan sekuel kelanjutannya yang berjudul BUKAN SANG PEWARIS.. InsyaAllah tapi next book. Tidak dalam waktu dekat ini karena othor lagi fokus sama ISTRI BERCADARKU MANTAN MAFIA. Yang belum baca, ke sana ya, 😄 TERIMAKASIH BANYAK buat yang sudah ngasih GEM di buku ini semoga sehat semuanya. Dukungan GEM senantiasa othor harapkan 😁
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Kami sudah sepakat. Hantaran yang harus dibawa itu dua ratus juta dan perlengkapan buat Belinda. Sebenarnya itu pun masih kurang. Segala jenis makanan dan perlengkapan rumah tangga juga sangat perlu. Tapi kalau memang gak bisa, ya kami akan coba maklumi," ucap Bu Yuni. "Kalau perlengkapan rumah tangga untuk Belinda, itu sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Tentang aneka makanan, saya akan usahakan dengan maksimal," jawab Aditya sekenanya. "Perlengkapan rumah tangga buat kalian dengan yang dibawa ke sini beda dong. Kami sudah membesarkan Belinda sampai jadi sarjana dan bekerja di perusahaan besar itu butuh waktu dan tenaga. Dia sudah kami kasih perlengkapan hidup yang mewah. Soal begitu aja perhitungan," tanggap calon ibu mertua Aditya itu kecut. Aditya menelan salivanya. Bagaimana ada seorang ibu yang tega menghitung-hitung jasanya sebagai orang tua? "Soal uang hantaran, saya hanya sanggup lima puluh juta tunai, Bu.""Loh, kok bisa sedi
Kedua bola mata Belinda seperti akan keluar dari tempatnya. Manik matanya terus mengikuti tangan Aditya yang sedang menunjuk gadis berhijab coklat muda. Seolah akalnya hilang, Belinda mencoba menerka maksud dari ucapan dan perilaku Aditya. "Dahlia?" Suara Belinda bergetar. 'Oh rupanya, namanya Dahlia. Hemmm ... tak buruk.' Aditya membatin. Gadis itu berhenti. Ia membalik tubuhnya lalu celingak-celinguk. Semua mata di ruangan itu sedang menatapnya serius. Ia semakin bingung. "Saya Non?""Tak usah berdiri di situ! Enyah lah dari pandanganku!" perintah Belinda yang dipenuhi rasa was-was. Ia takut apa yang sedang dipikirannya itu sesuai dengan pikiran Aditya. "Jangan pergi. Kita harus bicara sekarang, Mbak," ujar Aditya terdengar luwes dan meyakinkan. "Kamu jangan gila, ya!" seru Bu Yuni berang pada Aditya. Aditya tak peduli. Ia mendekati Dahlia memberikan sorot mata yang tajam. Siapa pun akan tahu, Aditya sedang tidak bermain-main. Dia serius dengan apa yang sedang direncanakannya
Aditya langsung melingkarkan cicin berlian itu di jari manis Dahlia. Mulutnya sedikit mengerucut heran. Mengapa bisa pas seolah-olah cincin itu memang diciptakan untuknya? "Apa perlu kami abadikan, Tuan?" tanya pelayannya. "Boleh," jawab Aditya singkat. Pelayan itu mengeluarkan ponselnya yang ada gambar apel yang digigit dengan tampilan edisi terbaru. Belinda menghampiri mereka dengan wajah pucat. Jantungnya sebentar lagi akan jatuh karena silau dengan kilauan cincin itu. Dengan kasar, dia meraih tangan Dahlia. "Ini apa Mas?! Kamu bohong kalau harganya ratusan juta!" serunya marah seperti tak percaya. Aditya tersenyum kecut. Laki-laki itu mencebik karena Belinda seperti bunglon, bisa berubah-rubah. Baru melihat yang berkilau langsung mencoba mesra. Aditya bertekad tidak akan luluh. Ia merasa harga dirinya sudah diinjak. Ia tak akan berubah pikiran. "Memangnya matamu rabun? Itu cincin," ketus Aditya. "Iya! Aku juga tahu, ini cincin! Ini cicin kw apa asli?!"Belinda memekik semb
"Lepasin, ih!" Dahlia menyentak tangan Aditya kasar. Aditya juga baru sadar masih mencekal pergelangan tangan gadis itu. Segera dilepaskannya begitu saja. Aditya pura-pura tak bereaksi, seolah tak merasa bersalah. Dahlia terus melihat ke belakang meskipun mobil sudah bergerak meninggalkan rumah Belinda. Terlihat ada keragu-raguan pada sorot matanya. Aditya acuh saja. Laki-laki itu merasa baru saja mengangkat statusnya. Meski tak selamanya, tapi setidaknya untuk beberapa waktu. "Mana sepuluh jutanya?"Tiba-tiba suara Dahlia membuyarkan pikiran Aditya yang sedang memutar otak membuat rencana. Gadis itu sekarang menengadahkan tangannya, tepat di depan wajahnya. "Cincin yang di tanganmu itu nilainya ratusan juta. Sekarang kamu mau minta sepuluh juta. Apa kamu sedang memerasku?!"Aditya menarik nafas. Apa jangan-jangan dia lebih matre dari Belinda? Begitu pikir laki-laki itu. "Ini cincinmu!" Dahlia meraih tangan Aditya lalu meletakkan benda berkilau itu begitu saja."Eeeeh!" Aditya m
"Dahlia!" teriak Aditya dari dalam mobil. Untuk pertama kali Aditya memanggil nama gadis itu."Lusa sore, aku akan ke sini lagi!"Gadis berhijab itu mengangguk samar lalu kembali membelakangi Aditya. "Kita langsung pulang ke rumah ya, Pak!""Baik, Tuan Muda," jawab Suparman santai. Setelah cukup lama menit terbuang, tiba-tiba saja hati Aditya terusik. "Menurutmu, dia gimana?""Manis, Tuan. Hanya belum dipoles dan dirawat saja."Pemuda itu tersenyum."Tapi gadis-gadis yang sudah pernah dijodohkan denganmu, jauh lebih cantik dan terawat. Hmm ... mereka terlihat lebih elegan dan pastinya memiliki pendidikan yang terbaik. Apalagi kalau Tuan Besar tahu, sepertinya dia tidak akan setuju. Bibit, bobot dan bebet itu adalah hal yang paling utama. Bukan maksudku untuk menginterfensimu. Namun perkara pernikahan bukan hal yang mudah.""Hanya kau dan Parjo juga istrinya yang tahu masalah ini. Aku mohon, rahasiakanlah. Gadis itu akan kunikahi bukan semata-mata untuk segera mendapatkan kepercayaa