Share

Eps 04

Semua orang terkejut dengan apa yang Tian lakukan, terlebih Ardan yang berada di depannya saat ini. Wirma yang baru saja masuk terkejut, belum sempat ia melangkah mendekat sudah lebih dulu Tian menggores nadinya.

"Ratian!"

Tetes demi tetes darah mulai berjatuhan mewarnai lantai, Wirma berlari dan merengkuh tubuh yang limbung itu. Semua orang panik, semua orang terkejut dengan tindakan Tian barusan. Di saat semua orang tengah berusaha menyelamatkan Tian, Ardan hanya terdiam di tempatnya dengan pandangan tak percaya di depannya.

"Bunda, panggil dokter."

"Ti loe kenapa sih, loe harus bertahan," tangis Lecy sembari menekan pergelangan tangan Tian dengan sebuah kain.

"Lihat, lihat apa yang kamu lakukan nak. Ini yang kamu mau?"

Ardan terduduk lemah tak berdaya mendengar teriakan ayahnya, ia tak menyangka jika akan seperti ini kejadiannya. Ia tak berniat menyalahkan Tian atas apa yang terjadi dengan orang tuanya, emosi yang membuat Ardan buta dengan keadaan. 

Wirma memindahkan Tian ke atas ranjangnya, sembari menunggu dokter datang Lecy masih terus menekan pergelangan Tian. Tak lama Dewi datang dengan seorang dokter di sebelahnya, semua orang menyingir memberi ruang untuk pengobatan.

"Setelah ini ikut ayah bicara," seru Wirma tanpa menatap putranya.

"Bagaimana putri kami dok?"

"Ibu tenang saja, untung saja goresannya tidak dalam. Pendarahan juga sudah berhenti," ada keraguan saat dokter tersebut hendak mengucap sesuatu.

"Ada apa dok?"

"Maaf sebelumnya pak, tapi menurut saya putri kalian ini sedang dibawah tekanan mental. Saya hanya menyarankan untuk membawanya ke psikiater agar tak membahayakan hidupnya," sarannya.

"Tentu saja dok, besok ketika kondisinya lebih baik akan kami bawa sesuai saran dokter."

Lecy masih terus menangis di sebelah Tian, ia merasa bersalah karena tak ada di sebelah Tian saat semua masalah menimpanya. Hatinya sakit mendengar apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan sahabat kecilnya itu, ingin ia menolong namun ia sendiri tak tahu apa yang bisa ditolongnya.

"Lihat tindakan gegabahmu ini, kamu hampir membunuh Tian dengan pernyataan konyolmu itu," marah Wirma ketika hanya ada keluarganya saat ini.

"Kenapa hanya diam saja? Menyesal? Atau nggak menyangka akan seperti ini?" lanjutnya.

"Maaf yah, Ardan hanya terbawa emosi. Ardan nggak nyangkan kalau Tian akan berlaku nekat seperti tadi," tertunduk lesu di depan orang tuanya. 

Wirma menuntun putranya untuk duduk di sebelahnya, ia memang marah dengan kecerobohan putranya namun ia juga mengerti dengan kondisi putranya saat mendengar perkataannya tadi.

"Bukan Tian yang meminta pernikahan itu Ar, itu bunda juga ayah yang menginginkan," ucap Dewi yang kini ada di sebelah Tian.

Lecy sempat terkejut mendengar apa yang diucapkan bundanya, namun sebisa mungkin ia memendam rasa ingin tahunya. Saat ini yang paling penting baginya adalah Tian, tak ada yang lebih penting dari itu saat ini.

"Kalau ayah memiliki calon lain pasti ayah tidak akan menyusahkanmu, tapi kami tidak bisa menemukan suami yang pantas untuk Tian saat ini. Hanya kamu yang bisa kami mintai bantuan nak."

Ardan hanya terdiam, ia bimbang dengan apa yang harus dilakukannya. Ia memang menyayangi Tian, namun itu hanya sebatas adik dengan kakaknya dan tak lebih. 

"Ini bukan hanya tentang pernikahan, tugas terberat yang kamu emban adalah menyelamatkan nyawa Tian nak," ujar Dewi mengejutkan semuanya.

"Maksud bunda apa?" tanya Ardan mengangkat kepalanya.

Wirma memberitahu semua yang terjadi pada kedua anaknya, semua yang mungkin akan terjadi ke depannya dengan hidup Tian. Ada rasa iba dalam batin Ardan, dan ada luka di hati Lecy memikirkan nasib sahabatnya.

Sejenak semua terdiam, Wirma juga Dewi memberi waktu bagi putranya untuk memikirkan semuanya. Ini tak mudah, terlebih untuk Ardan yang memang masih sangat muda ketika harus mengemban tugas ini.

"Ardan akan menikahi Ratian."

Suara yang mengejutkan sekaligus melegakan akhirnya terdengar juga, Ardan mengikuti keinginan orang tuanya untuk menikahi Ratian. Namun Ardan juga memiliki sebuah syarat untuk semua keluarganya dengan keputusannya itu.

"Katakan," ucap Wirma.

"Aku akan membawa Tian kembali ke Jakarta."

Nampak Wirma terkejut sedang Dewi berusaha menyanggahnya, namun isyarat suaminya menghentikan semua niatnya itu.

"Bagaimana?"

"Baiklah, tapi semua keselamatan Tian kamu yang bertanggung jawab."

"Baiklah."

Dan terjadilah kesepakatan antara mereka, terlihat tangis haru Dewi yang memeluk putrinya Lecy. Ia tak menyangka akan menikahkan putranya dengan cara seperti ini, cara yang terlalu sederhana untuk Tian juga.

**

Esok pagi yang begitu cerah terlihat Tian sudah segar sedang menikmati sinar mentari, Ardan yang baru saja pulang sehabis lari pagi tanpa sengaja menatap kearah calon istrinya itu. Pandangan kosong itu membuat hati Ardan berdesir, ada rasa iba juga rasa bersalah yang menyelimuti hatinya.

Hari ini rumah nampak sepi, hanya ada Tian juga Ardan di rumah sebesar itu tentunya dengan beberapa pelayan.

"Bi Darma, kok rumah sepi? Pada kemana?" tanya Ardan pada salah satu pelayan rumahnya,

"Tuan sedang keluar mengurus persiapan pernikahan aden, kalau nyonya keluar juga memesan apa gitu bibi lupa. Nah kalau non Lecy ya sekolah," jawabnya.

"Oh," seru Ardan yang  tak menyangka jika kepulangannya kali ini akan menjadi perubahan dalam hidupnya.

"Yaudah bibi mau mastiin non Tian makan dulu ya, kasian dari tadi diam gitu."

"Bibi kembali aja ke dapur, biar saya aja yang pergi ke sana."

Perlahan kaki  itu melangkah mendekat, semakin dekat membuat rasa gugup melanda Ardan secara tiba-tiba. Terlihat Ardan sempat menghentikan langkahnya, sesekali ia terlihat menarik nafasnya.

"Kenapa diam saja?" tanyanya ketika berdiri disebelah Tian.

Tian hanya terdiam, pandangannya masih menatap kosong pada hamparan tanaman bunga di depannya. Tanpa diminta Ardan pun mendudukan dirinya di sebelah Tian, memangku piring yang masih utuh isinya itu.

"Bukan mulutmu," mengarahkan sendok berisi makanan.

"Kakak aja yang makan."

"Apa perlu aku suapi kamu dengan mulutku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status