Share

Tujuan dan Permulaan

“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.

Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.

Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.

“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.

Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.

Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjalan santai, sementara Lonbur dan Blentung menempel di pundak Wira, menjadi teman setia dalam petualangan ini.

Diantara mereka, hanya Lonbur yang mempunyai kemampuan untuk terbang. Sesekali dia terbang menelusuri jalan ke depan sambil mengamati keadaan juga melemaskan otot sayapnya.

Perjalanan panjang dan berliku membawa mereka ke sebuah pasar ramai. Di tengah keramaian, terdengar suara ribut dan teriakan. Seketika Lonbur terbang ke arah keributan dan segera kembali.

“Sedang ada perampokan, Wira! Ayo kita selamatkan para warga!“ Lonbur kembali dengan tergesa-gesa dan langsung melapor pada Wira.

Sejumlah perampok telah meneror pasar itu, beberapa warga dan pedagang tampak meringkuk ketakutan. Tanpa ragu, Wira dan Meru bergegas membantu. Namun, ternyata mereka tak sendirian. Seorang pendekar wanita tangguh, sudah berada di sana dan turut melibatkan diri.

Walau Wira bisa berlari secepat angin, menghadapi situasi yang ramai dia memilih berlari normal dan menghampiri pendekar wanita itu.

“Salam, Nyisanak.“ Wira menyapa sambil membidikan panah melawan perampok.

Pendekar wanita itu tersenyum dan mengangguk sambil terus memainkan pedangnya.

Dua pendekar pedang dan satu pemanah bekerja sama dengan efisien. Dalam pertempuran sengit, mereka melawan gerombolan perampok. Satu persatu musuh dijatuhkan.

Pendekar wanita itu menunjukkan keterampilan berpedangnya yang luar biasa, hampir seimbang dengan keahlian pedang Meru melawan para penjahat. Namun, semakin banyak perampok, semakin sulit mereka dikalahkan.

Lonbur terbang membantu warga untuk pergi menjauh dibantu Sari dan Blentung yang telah berubah menjadi wujud manusia. Mereka mengarahkan warga untuk sembunyi di rumah padepokan terdekat.

Sementara di medan pertempuran, semua berandal kecil telah dikalahkan. Hanya menyisakan satu orang pemimpin yang beringas.

Tiba saatnya pertarungan tiga lawan satu. Wira dari kejauhan dengan panahnya, sementara Meru dan pendekar wanita berhadapan langsung dengan Jaka Sentana, pemimpin perampok yang sakti.

“Kamu sudah kalah, Jaka! Menyerahlah segera!“ Pendekar pedang berbaju merah itu mencibir.

“Selama aku masih bisa berdiri dan melawan, pantang untuk mengaku kalah!“ Jaka menepuk dadanya dengan sombong.

“Katakan pada gurumu, Rara! Kalau dia berani, temui aku segera!“

“Kurang ajar! Kau akan kuseret untuk menemui guru dan kau katakan sendiri ucapanmu tadi!“ Pendekar Rara semakin marah.

Pertarungan itu menjadi lebih menegangkan. Dua gadis pendekar pedang hampir saja dikalahkan oleh Jaka. Rara tersungkur dan Jaka langsung menerkam berniat melecehkannya. Namun secepatn kilat, Wira yang dari tadi di kejauhan menyerang dengan panah, tiba-tiba sudah berada di depan jaka dan mengayunkan tinju anginnya.

Jaka Sentana terlempar cukup jauh dan jatuh pingsan dengan wajah penuh memar dan memuntahkan seteguk darah segar.

Setelah pertarungan selesai, Wira dan rombongan memperkenalkan diri pada pendekar wanita yang bertarung bersama. Ternyata dia bernama Rada Dewi, dan Rara pun berterimakasih.

Mereka lalu memutuskan untuk mampir ke padepokan Rara. Serta membantu membawa tubuh Jaka yang telah diikat kedua tangannya. Supaya diadili oleh guru Rara.

Di padepokan, Jaka Sentana langsung dibawa ke dalam penjara dan Rara langsung melapor pada gurunya, “Guru. Jaka sudah dilumpuhkan dan segera dimasukkan penjara.“

“Baguslah, Rara.“ Pria paruh baya yang tampak bijaksana mengangguk ringan.

“Lalu siapa mereka?“

“Ini adalah Kang Wira, murid Garuda Emas dan ini Nyi Dewi Meru, lalu Sari, dan juga teman kecil mereka. Mereka semua tengah melakukan perjalanan atas perintah guru Kang Wira. Dan mereka telah membantuku untuk mengalahkan Jaka baru saja.“

Guru Rara yang diketahui bernama Ki Karta Wirya itu mengangguk, “Jadi kalian murid-murid kakek tua itu?“

“Betul. Paman Guru!“ tegas Wira.

“Beristirahatlah sejenak di sini. Dan lanjutkan perjalanan kalian saat sudah cukup berisirahat.“

Wira dan teman-temannya menagkupkan tangannya sembari mengucap terimakasih.

Mereka segera berpindah ke ruang lain untuk berbincang dan istirahat. Mereka berbagi kisah dan pengalaman. Rara, yang terkesan dengan keberanian dan semangat perjalanan mereka, memutuskan untuk bergabung.

“Apakah aku boleh ikut kalian?“ Rara menyeringai setelah mendengar rentetan cerita mereka.

Wira menjawab, “Nyai adalah murid Paman Guru. Baiknya, mintalah petunjuk beliau. Kalau beliau mengizinkan, kamu boleh ikut kami.“

“Baiklah, aku akan minta pendapat guru.“ Rara segera beranjak menemui gurunya setelah menunjukkan kamar tempat istirahat teman barunya.

Dewi Meru dan Sari masuk ke dalam kamar di padepokan puteri. Sementara Wira dan para teman kecil memilih ke halaman belakang.

Wira seperti biasa, istirahatnya dilakukan sambil terus berlatih. Dia bermeditasi di sebuah saung kecil di halaman belakang. Fluktuasi angin mengelilingi tubuh Wira hingga beberapa lembar kain ikat kepalanya menari-nari.

Diam-diam, Rara Dewi mengintai di balik pintu. Memperhatikan setiap gerak tubuh Wira membuat dia semakin terpesona.

'Kang Wira, apakah masih ada ruang kosong di hatimu? Bisakah aku ikut mengisi ruang kosong itu?' Begitu terpesonanya sampai batin Rara bertanya-tanya.

Begitu pagi menampakkan sinarnya, Rara bergegas menuju saung tempat Wira bermeditasi. “Kang Wira! Guru sudah mengizinkan aku ikut, Kang.“ Tanpa disadari, Rara berteriak sedikit manja pada Wira.

Wira segera membuka mata dan mulai bersiap.

Segera semuanya dipanggil dan berkumpul. Mereka menemui guru padepokan untuk pamitan. Tak disangka, mungkin karena Rara Dewi salah satu muridnya ikut, jadi mereka diberi perbekalan banyak.

“Terimakasih, Paman Guru. Kami serombongan telah merepotkan padepokan Sekar Jagat ini. Kami mohon diri.“

Ki Karta Wirya mengangguk dan bangga. Mengirim mereka menapaki jalan di depan padepokan. Dengan kualifikasi Wira, dia berharap Rara bisa berjodoh dengannya.

Perjalanan mereka dilanjutkan dengan semangat baru. Keempat pendekar, bersatu dalam tujuan yang sama, mengarungi tantangan demi tantangan.

Dewi Meru dan Rara Dewi mulai terlihat seolah bersaing mendapatkan hati Wira. Sari yang paling muda hanya tersenyum melihat tingkah para seniornya. 

Dengan setiap langkah, mereka semakin mendekati puncak gunung Susuh Angin, di mana anugerah dan kekuatan baru menanti untuk menguji dan memperkuat ikatan persahabatan mereka.

“Tujuan kita sudah terlihat, teman-teman! Ayo terus semangat!“ Lonbur yang telah terbang jauh ke depan dia kembali lagi menyemangati teman-temannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status