Share

Drama Pendekar Wanita

Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.

Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.

Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."

Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur menari di udara, mengimbangi tarian katak Blentung.

Sementara itu, di antara para gadis, muncul persaingan cinta yang tidak terucapkan antara Dewi Meru dan Rara. Keduanya, meski menjadi sahabat dekat, diam-diam berusaha menarik perhatian Wira.

“Nyai, Kang Wira tampan dan gagah yah? Pasti istrinya nanti bakalan secantik dan semontok aku ya?“ Rara membanggakan dirinya sendiri di depan Meru.

“Ya jelas lah! Istrinya pasti juga sakti dan setia, ha ha! Dialah yang menemani setiap perjuangannya bahkan sejak masih kecil.“ Meru tidak mau kalah dengan Rara yang baru saja kenal Wira, karena dia memang sudah dekat sejak kecil di padepokan.

Keduanya tertawa bersama dan semakin akrab. Rara melanjutkan, “Mungkin, kalau dia bakalan punya istri dua, keduanya pasti cantik, setia dan juga sakti pastinya!“

Suasana persaingan itu semakin terasa dalam setiap senyuman dan tatapan.

Sari, yang baru beranjak dewasa mulai merasakan getaran cinta, dia juga merasakan kehangatan Wira. Malam itu, dia duduk berdampingan dengan Blentung yang saat itu beristirahat setelah lelah menari.

"Blentung, apa itu cinta sebenarnya?" tanyanya sambil melemparkan pandangan ke arah Wira yang sedang bermeditasi.

Blentung, dengan nada seriusnya, menjawab, "Sari, cinta itu seperti lompatan katak yang penuh keberanian. Kamu melompat, tidak tahu di mana akan mendarat, tapi selalu yakin bahwa di ujung perjalanan itu, ada sesuatu yang istimewa."

Sementara itu, tak menghiraukan tingkah laku teman-temannya, Wira tetap bermeditasi. Dia menyerap energi alam yang pekat di lingkungan itu dan diapun semakin berkembang, tidak hanya dalam kekuatan, tetapi juga karisma dan kepemimpinannya. Meditasi yang dilakukannya secara rutin memberinya ketenangan dan kebijaksanaan. Para pendekar di sekitarnya semakin kagum dengan aura ketenangan yang dipancarkannya.

Begitu malam semakin larut, para gadis beristirahat di kemah seperti biasa. Wira masih tenang dalam meditasinya, dan kedua makhluk kecil bergantian berjaga.

Pagi harinya, saat semua duduk di bawah pohon rindang menikmati sarapan dari perbekalan yang diberikan oleh guru Rara, Wira mengumumkan dengan wibawa, "Teman-teman, pesan dari guruku semakin jelas. Puncak gunung Susuh Angin menantikan kita, kita akan semakin dikuatkan dengan anugerah yang diberikan. Kita harus tetap fokus pada tujuan utama kita."

Rara dan Meru saling bertatapan, kemudian tersenyum. Mereka setuju bahwa meskipun ada sedikit persaingan, kebersamaan dan tujuan bersama lebih penting.

Perjalanan mereka melalui hutan yang semakin lebat dan lembah yang semakin dalam. Sesekali melewati perkampungan. Lonbur, dengan kelucuannya, menciptakan suasana cair dengan terus melemparkan lelucon dan tingkah konyolnya, membuat seluruh rombongan tertawa.

Di sebuah sungai yang deras, Blentung dan Lonbur terbang berkeliling. Mencari batang pohon yang kiranya bisa dibuat menyeberang. Mereka menemukan sebatang pohon pinus yang tumbang lalu memanggil Wira untuk membawanya. Dengan kekuatannya, Wira berhasil memotong dahan yang tidak diperlukan dan menggotong seluruh batangnya sendirian. Meletakkan di atas sungai sebagai jembatan.

Wira menyeberang lebih dulu, menguji kekuatan jembatan dan meyakinkan para gadis.

“Sungainya dalam dan deras, Kang. Apa jembatannya aman?“ Rara menampilkan gestur manja di depan Wira.

“Kalian bertiga berjalanlah perlahan, fokus ke depan, jangan melihat ke bawah. Begitu tanganku bisa menjangkau, kalian akan kutangkap.“

Tidak mau kesempatan pertama diambil Rara, Meru melangkah dengan berani menuju jembatan. Perlahan-lahan berjalan, jantung semakin berdebar. Fokus mata ke depan, menatap Wira yang siap menangkapnya.

Namun, terjadi sedikit kesalahan. Saat Meru sampai di tengah, karena fokusnya selalu ke depan, dia salah melangkah. Dia tersandung potongan dahan, membuat keseimbangan goyah dan dia hampir terjatuh.

Dengan sigap, tangannya ditarik oleh Wira dan tubuhnya ditangkap, dipegang erat di pinggir sungai. “Awas! Hati-hati, Nyai!“

“Hatiku sudah tertangkap, Kang!“ Wajah Meru memerah seperti merahnya buah apel yang sudah masak.

“Sudah cepat minggir, gantian aku juga mau lewat!“ Rara bergegas menuju jembatan dengan rasa cemburunya.

Wira segera melepaskan tubuh Meru di tempat aman dan bersiap menolong Rara.

Rara dengan percaya diri berjalan cepat di atas batang pohon itu, aman tanpa terpeleset atau tersandung. Tapi begitu sampai pinggir, dia langsung beraksi menangkap tubuh kekar Wira.

“Aduh! Aku terjatuh! Selamatkan aku, Kang!“ pekik Rara saat mencengkeram Wira.

Sari yang terakhir dengan sangat santai bersiap menyeberang. “Alah kalian! Bilang saja mau dipeluk Kang Wira. Pakai drama segala. Padahal kalian kan pendekar, menyeberang jembatan begitu pasti sangat mudah!“

Melihat kekonyolan para gadis, Wira hanya tersenyum.

“Aku ini loh, pendekar pemula. Masalah sepele seperti ini, ya mending minta digendong saja lah!“ ucap Sari tegas.

Semuanya tertawa terbahak-bahak kecuali Wira. Dia hanya tersenyum tipis dan melangkah menjemput Sari.

Gadis lain semakin iri, karena Sari benar-benar digendong oleh Wira. Tapi mereka tetap sadar, selain Sari memang gadis kecil, tujuan utama mereka masih jauh di depan.

Ketika mereka tiba di sebuah pasar, kejadian lucu tidak terhindarkan. Saat Lonbur mencoba berbicara dalam bahasa setempat, ia membuat kesalahan yang membuat semua orang tertawa. Blentung, dengan cepat berubah menjadi kodok dan melompat keluar dari situasi memalukan itu.

Rombongan mampir di sebuah lapak yang berjualan beberapa bahan herbal. Wira memilih bahan yang dia butuhkan untuk keperluan penyembuhan. Sementara Sari dan Meru mencari bahan makanan untuk perbekalan tambahan.

Di dekat tanah yang lapang, ada sebuah gubuk bambu. Wira berhenti dan meracik beberapa ramuan dan mengolahnya. Bahan-bahan yang dibelinya di pasar, dipilah dan diolah menjadi ramuan obat.

Rara berlatih sesama Meru di pelataran yang cukup luas. Gerakan-gerakan pertarungan pedang dari masing-masing padepokan diperagakan. Setelah beberapa waktu berlatih bersama, Rara tertarik dengan kecerdasan dan kekuatan Meru. Terjalinlah persaingan yang sehat di antara mereka, menciptakan dinamika yang menarik dalam kelompok.

Di sela istirahat latihan, mereka melihat Wira yang telah beranjak dari pengolahan ramuan. Kini dia sedang melatih Sari beberapa gerakan memanah. Keahlian Sari semakin meningkat seiring bertambah dewasa.

Selanjutnya, setelah saling bertukar kisah dan ilmu, rombongan itu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak gunung Susuh Angin. Wira, dengan ketenangan batinnya, menuntun mereka melalui hutan yang semakin tebal, menyambut tantangan yang masih menanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status