Raymond terduduk lesu di depan ruangan bersalin karena belum juga ada kabar dari Hilma. Tangannya memangku kepalanya yang terasa berat dan hatinya, tak henti-hentinya memanjatkan doa. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana hidupnya akan berjalan jika Tara tak ada di sisinya.
"Tidak, Ray. Ran pasti baik-baik saja. Istrimu perempuan yang kuat! Terlebih lagi, ada empat orang anak yang membutuhkan belaian dan kasih sayang!" Raymond berbicara pada dirinya sendiri. Berusaha menenangkan batinnya meski sulit.
Tak sanggup lagi terdiam dalam kekhawatiran, Raymond pun berdiri. Dia memutuskan pergi ke ruang rawat bayi yang ada di ujung lorong.
"Sebelah sini, Pak," kata seorang perawat yang sudah tahu maksud dan tujuan Raymond. Pria itu hanya tersenyum tanpa mengucapkan terima kasih lalu berjalan pelan ke sebuah tempat tidur bayi yang berisi anak-anaknya. Tiga laki-laki dan satu perempuan.
"Terima kasih karena kalian telah lahir dengan selamat," ucap Raymond pelan sembari mengelus pipi anak-anaknya yang kemerahan. Mereka sedang tertidur pulas dalam bedongan yang hangat. Dan wajah putrinya, sama persis seperti saat pertama kali lelaki itu melihat Tara untuk pertama kali.
Raymond mengangkat tubuh kecil putrinya, menimang-nimang dengan mata yang berkaca. "Cleo, bantu Mama agar bisa sehat kembali. Oke?" katanya Pelan pada Cleo, nama yang sudah ia rancang bersama istrinya.
Tara berharap putrinya bisa seperti Cleopatra yang merupakan ikon kecantikan dunia sampai saat ini. Cleoptara lahir pada tahun 69 Sebelum Masehi dan ia merupakan salah satu Firaun (raja) wanita Mesir terakhir yang menggunakan senjata “kewanitaan” untuk mempertahankan takhta dan pengaruhnya di dalam kerajaan. Cleopatra bahkan membuat Julius Caesar sang Kaisar Romawi tunduk di kakinya. Ya, meskipun banyak masyarakat yang menganggap bahwa Cleopatra hanya mengandalkan kecantikan, tapi Tara percaya bahwa wajah ayu, tubuh molek, tak akan cukup untuk membuat seorang perempuan menjadi pemimpin sebuah negara. Ia meyakini bahwa Cleopatra adalah perempuan yang tak hanya cantik, namun juga memiliki kecerdasan yang luar biasa.
"Mas Remon! Dicari Bu dokter!" teriak Bibi yang lari tergopoh-gopoh dari ambang pintu.
"Terima kasih, Bi. Lain kali jangan lari-lari," jawab Raymond kemudian meletakkan Cleo kembali ke dalam ranjang bayi tapi justru ia menangis dengan keras. Ia memanggil perawat untuk menggendong Cleo dan memintanya memberikan susu. Barangkali peri kecilnya merasa lapar. Tetapi, ketika perawat mengangkat tubuhnya, tangisan Cleo malah makin menjadi dan disusul tangisan ke tiga saudaranya.
"Haduh ... kok malah pada nangis semua?" keluh Bibi yang langsung mendekati keranjang bayi dan mencoba menenangkan majikan kecilnya itu. Tapi, saat Bibi mencoba menghibur, tangis mereka malah makin kencang dan suara yang terdengar cempreng serta paling keras adalah Cleo. Raymond mendesah, merasa cemas, padahal mereka tidak sedang lapar, pun popoknya masih kering.
Raymond akhirnya urung pergi dan kembali mendekati Cleo, saat ia menggendong putrinya, tangisan Cleo langsung berhenti diikuti ketiga saudara lelakinya. Raymond mendesah dan menyunggingkan senyuman. Cleo persis seperti istrinya. Manja, ingin diperhatikan dan diikuti kemauannya. Barangkali, dia jugalah yang meminta kakak-kakaknya untuk menangis agar Raymond mau menggendongnya.
"Bibi di sini saja jaga anak-anak. Saya akan bawa Cleo," pinta Raymond yang tanpa menunggu jawaban, ia langsung berjalan menuju ke ruang khusus untuk istrinya.
Di sana, ia melihat Tara masih terbaring tak sadarkan diri. Suara mesin pendeteksi detak jantung mengiringi setiap hembusan napas Tara. Pun alat pernapasan yang dipasangkan ke hidungnya, membuat Raymond langsung menitikkan air mata. Belum lagi darah yang terlihat mengalir di sendinya melalui jarum yang terpasang di tangannya. Dadanya terasa sesak dan kalau saja ia bisa menggantikan kehamilan dan bahkan melahirkan, Raymond tak akan menolak.
"Bangunlah, sayang ... anak-anak kita membutuhkanmu," ucapnya kemudian sebelum sosok Hilma muncul dengan wajah lelahnya.
"Sekarang istrimu baik-baik saja ... dia mengeluarkan terlalu banyak darah setelah melahirkan bayi yang terakhir. Dia mengeluarkan anakmu dengan sekuat tenaga. Kalau saja dia pingsan saat itu juga, terpaksa kami harus melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi dari dalam janin."
"Syukurlah. Terima kasih, Hilma," jawab Raymond lega kemudian menaruh Cleo di samping Tara yang masih tak sadarkan diri karena obat bius.
"Sudah menjadi tugasku. Aku pergi dulu, kalau butuh sesuatu panggil saja," balas Hilma kemudian keluar dari ruangan itu dan Raymond pun langsung duduk di tepi pembaringan.
"Terima kasih, istriku karena telah berjuang dengan keras," ucap Raymond lembut lalu memberikan ciuman kecil di dahi istrinya.
"Mas Remon! Mas Remon!" Bibi memanggil dari balik pintu dan Raymond pun menoleh. "Anak-anak pada nangis semua!" lanjut Bibi bingung karena sejak tadi Ares, Hades dan Hermes tak berhenti menangis.
Raymond pun menyentuh pipi Cleo yang terlelap di samping Tara kemudian pergi ke ruang bayi diikuti oleh Bibi yang berjalan tergopoh-gopoh.
"Suster, tolong bawakan keranjang bayi ke ruangan istri saya," pintanya sambil menggendong anak yang lahir untuk pertama kali. Ares. Atau yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai dewa perang.
"Bibi tolong bawa Hermes, biar suster yang menggendong Hades."
"Baik, Mas! Oya, ibu dan bapak pulang ke rumah. Tadi gak sempat pamitan sama Mas Remon."
"Tidak apa-apa, Bi. Bibi pulang saja setelah ini. Bantu om dan tante di rumah."
*****
Seoul, Korea ....
Matahari mulai menampakkan wajahnya dengan malu-malu. Masih setengah enam dan terlalu dini bagi Virna untuk bangun namun ia tidak bisa kembali tidur. Pikirannya tentang obrolan bersama Tiger masih menggelayut di otaknya.
"Tuhan ... di duniamu yang luas ini, tolong berikan keajaibanmu padaku," batin Virna sambil melipatkan tangannya di depan dada. Ia berharap agar secepatnya dia menjadi wanita yang sempurna. Wanita yang seutuhnya.
Saking khidmatnya Virna berdoa, ia sampai tidak menyadari bahwa Tiger yang baru saja bangun dan masih polos tanpa pakaian memeluknya dari belakang.
"Eh?"
Virna membuka kedua kelopak matanya kemudian membalikkan tubuhnya yang hanya mengenakan piyama tipis berwarna putih. "Mandi dan pakailah bajumu!" protes Virna karena Tiger terus saja mengendus tubuhnya.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" Tiger makin mengeratkan pelukannya dan melihat jauh ke dalam bola mata Virna. Dia tahu apa yang ada di pikiran istrinya.
"Maka aku akan melakukan ini," tantang Virna yang jemarinya telah menguasai bagian dari tubuh Tiger yang menegang dan mengeras.
Tiger memencet hidung Virna dengan gemas. "Sweet heart, kau nakal sekali!"
"Tapi kamu menyukainya, kan?!" jawab Virna mengerlingkan mata kemudian langsung berjongkok di hadapan suaminya dan mengulum habis milik Tiger yang sudah sangat keras dan otot-otot nya terlihat. Virna memainkan lidah dan bibirnya di sana. Sesekali dia juga menghisap kuat hingga Tiger kelimpungan. Tidak hanya sekali dua kali istrinya melakukan itu tapi Tiger tak pernah bosan. Istrinya selalu bisa mengundang gejolak di dadanya dan membuatnya semakin membara.
"Apa kamu mau mencoba hal gila?" tanya Virna mendongak ke atas. Wajahnya memerah dan bibirnya terlihat sedikit lebih tebal dan terbuka.
"Apa?"
Jari telunjuk Virna menunjuk ke arah balkon dan tanpa ragu Tiger langsung mengangkat tubuh istrinya menuju luar kamar yang langsung menghadap ke arah matahari terbit.
*Komen dan masukkan novel ini ke rak kalian. Luv ....
"Apa kau menyukainya?" tanya Tiger dengan pelukan erat. Virna bersandar pada dada suaminya sambil menikmati matahari yang mulai bergeser ke barat sedikit demi sedikit. Peluhnya membasahi tubuh dan sesekali angin yang menerpa membuat tubuhnya terasa dingin. Ia berharap agar perasaan dingin itu tidak menyusup ke dalam hatinya. Ya. Dia ingin dirinya menjadi hangat. Sehangat punggungnya yang bersentuhan langsung dengan kulit Tiger."Ya."' Virna menjawab singkat. Ia ingin seperti ini untuk beberapa saat lagi. Di bawah selimut bersama dengan suami yang memiliki hati dan juga tubuhnya. Bersamanya dalam setengah tahun terakhir, Virna mendapatkan apa yang semua wanita impikan. Gelimang harta, suami tampan dan juga cinta yang seolah tak pernah ada habisnya."Apa kau ingin jalan-jalan?"Virna menggeleng cepat. Jalan-jalan? Ia sudah bosan. Baginya dulu, naik pesawat, makan di restoran mewah, menginap di kamar suite, adalah hal tabu. Tapi
Setelah lima jam perjalanan, akhirnya pesawat pribadi yang ditumpangi oleh Virna dan Tiger mendarat di Jakarta. Virna melihat ke luar jendela, lampu-lampu di landasan pacu begitu gemerlap dan terasa romantis karena ada suaminya berada di sampingnya. Meski tengah sibuk dengan laptop di pangkuan, Tiger tak pernah mengalihkan perhatiannya dari Virna yang sedang mengenakan celana jeans warna hitam dan t-shirt warna senada. Lelaki itu begitu perhatian dan tak pernah mengabaikan Virna sesibuk apapun dirinya."Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Virna melepaskan sabuk pengamannya lalu berdiri."Tidak, sweet heart. Ini sudah malam. Besok pagi saja. Oke?"Virna mengerucutkan bibirnya. "Aku ingin melihat keponakan ku."Huuffttt. Tiger menutup laptop dan meletakkannya di meja. Dengan sigap, pria yang berkulit bersih itu menarik tubuh Virna ke atas pangkuannya. "Dengarkan suami mu. Kau harus beristirahat malam ini."
Burung-burung yang bertengger di atas pohon mangga mulai bercicit ketika Raymond baru saja selesai menidurkan Cleo. Seminggu sudah Tara dan anak-anaknya kembali ke kediaman Lewis dan seminggu itu pula Raymond melakukan pekerjaan barunya. Ayah rumah tangga!"Apa dia sudah tidur?" tanya Tara yang baru saja memeras air susu dan dimasukkan ke dalam botol untuk disimpan di lemari pendingin. Ia tak mungkin menyusui keempat anaknya dalam waktu bersamaan. Apalagi Cleo? Dia sama sekali tak ingin minum susu langsung dari ibunya. Bahkan, saat Tara menggendongnya, si mbontot justru menangis."Ya. Sekarang kau istirahatlah. Aku akan menyimpan botol-botol itu," jawab Raymond membetulkan selimut yang menutupi tubuh kecil Cleopatra yang ada di tengah-tengah ranjang. Jika ketiga anak yang lainnya cenderung pendiam dan mau dijaga oleh pengasuh, maka, Cleo sedikit spesial. Dia hanya akan diam menangis jika Papa nya lah yang memintanya diam.
"Kamu yakin suami dan anakmu akan ikut?" bisik Virna di telinga Tara ketika Raymond sedang menyiapkan keperluan Cleopatra. Pria itu bergerak dengan semangat. Memasukkan popok, baju ganti, tissue basah dan kering, dan juga mainan ke dalam sebuah tas yang ukurannya cukup besar. Benar-benar Papa baru yang teladan!"Ya. Aku aku tidak bisa melarangnya," jawab Tara santai sambil memperhatikan Cleo yang ada di pangkuan Mamanya. " ... dan Mbak Virna tahu, kan? Di mana ada Raymond, di situ ada Cleo. Di mana ada Cleo, di situ ada Raymond! Mereka adalah amplop dan perangko! Harus nempel!""Memangnya masih jaman orang pakai perangko?""Entahlah ...." Tara mengangkat kedua bahunya. Kalau Raymond sudah bilang mau ikut, badai yang. Isa mencegahnya. Jangankan lautan yang berisi air asin. Lautan lahar pun akan diseberangi!Raymon
Virna menarik napas dalam-dalam ketika suara Sofi terus saja terdengar oleh telinganya. Kawannya itu memang tak pernah berubah. Cerewet dan memang suka memandang rendah dirinya karena dianggap tidak sekelas. Terlebih, Virna adalah yatim piatu yang hanya mengandalkan otaknya agar bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa."Vir, makan, dong. Udah gue ambilin, nih! Gue inget banget waktu kuliah dulu, Lo jarang ke kantin," kata Sofi menyodorkan kimbab yang baru saja diambilnya dengan nada setengah memaksa."Makasih, Fi. Aku masih kenyang." Virna menjawab enggan dan sesekali melambaikan tangan pada kawan-kawan yang menyapa dirinya dari kejauhan."Sarapan apa, Lo? Nasi bungkus sama seperti waktu kuliah dulu? Kerja di mana sekarang? Eh, itu tas KW kan? Emang, sih. Kalau barang tiruan memang murah dan cocok sama Lo! Ya gak, Hans?"
Akhirnya selesai juga. Desah Virna dalam hati ketika ia telah sampai di dalam mobil dan duduk di belakang kemudi setir dengan
"Virna?"Mata Firman terbelalak melihat perempuan yang barusan ditabraknya itu ternyata adalah mantan istrinya. Virna.Tubuh wanita itu kini makin berisi, wajah berseri, terlebih lagi pakaiannya yang terlihat mahal dan makin modis. Pokoknya lebih cantik dari istrinya. Kalau tahu begini, dia tak akan menceraikan mantan istrinya itu. Kalau tahu kehidupannya akan makin runyam begini ... tak akan dia mengkhianati pernikahannya. Tak akan dia bermain mata di belakang Virna. Seandainya waktu bisa diputar kembali, Firman akan dengan ikhlas kembali ke masa lalu. Tapi, tiada guna penyesalan Firman. Kini dia sudah hidup dengan istri, anak, dan calon jabang bayi yang masih ada dalam kandungan."... apakah istrimu hamil lagi?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Virna. Lagipula, tidak mungkin, kan, laki-laki ada di rumah sakit ibu dan a