"Iya, Ma. Sebentar." Joan menoleh sebentar lalu kembali menatapku."El .... ""Nanti aku hubungi kamu, Jo." Aku memotong kalimat Joan sebab tidak enak pada Bu Anita."Aku tunggu, ya.""Ya." Aku mengangguk untuk meyakinkan pria ini."Oke, makasih sebelumnya. Aku permisi." Joan masih menatapku. Aku pun mengangguk sekali lagi.Beberapa detik kemudian punggung lebar itu menghilang di balik pintu butik, aku pun sontak menjatuhkan bahu."Kenapa Bu Lisa tidak terus terang pada Bu Anita?" Pertanyaan Gina mengakhiri lamunanku."Aku tidak suka membanggakan diri. Apalagi butik ini hanya warisan, bukan hasil kerjanya kerasku. Jadi apa yang bisa aku banggakan?" Aku tersenyum miring."Supaya beliau tidak seenaknya saja menyuruh Ibu.""Memangnya benar dia pelanggan butik ini?""Iya, Bu Anita itu terbilang sering datang ke sini. Meskipun dia termasuk pelanggan yang rewel tapi lumayan sering belanjanya. Mayan lah, udah gitu tiap-tiap ke sini selalu diantar anaknya. Jadi kita bisa cuci mata," ucap Gin
"Sejak kapan kamu di sana?""Sejak kamu turun dari go-jek," jawabnya dengan senyum jail."Kamu ....?""Kamu, sih, ingkar janji. Katanya mau menghubungi aku, tapi tidak ada juga. Tadi aku tungguin kamu di depan butik dan akhirnya aku buntuti sampai sini. Ini bukan rumah Mbak Tika 'kan?""Ini rumah .... ""Boleh aku masuk? Enggak enak kalau kita ngomong di pinggir jalan."Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku mempersilahkan Joan masuk. Benar juga yang dia katakan, laki-laki dan perempuan dewasa ngobrol di pinggir jalan nanti bisa mengundang perhatian warga. Meskipun jalanan komplek ini memang sepi.Kayla aku serahkan pada Mbak Tuti untuk diurus. Aku sendiri membawa minuman dan cemilan untuk disuguhkan pada Joan."Jadi benar, kamu sama Riko sedang tidak baik-baik saja?" tanya Joan begitu aku menjatuhkan bobot di atas sofa.Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Joan. Masalahku dengan Mas Riko memang tidak ingin aku ceritakan pada siapapun. Walau bagaimana kegagalan rumah
Dua hari kemudian, aku memutuskan untuk menemui Ibunya Mas Riko. Aku terus kepikiran lantaran belum berpamitan pada beliau. Dengan menggunakan taksi, pagi-pagi sekali aku berangkat. Sengaja aku tidak memakai mobilku lantaran belum bisa menyetir. Selain itu, aku tidak mau terlihat pamer di depan Ibunya Mas Riko. Selama perjalanan Kayla begitu senang mendengar kami akan mengunjungi Neneknya. Selama ini Kayla memang dekat dengan Ibunya Mas Riko, aku sering mengunjunginya berdua dengan Kayla tanpa Mas Riko. Selain itu ibu juga terbilang sering mengunjungi kami. Begitu turun dari taksi, Ibu menyambutku dengan sebuah pelukan. Tidak seperti biasanya beliau memelukku sambil menangis. Aku mengerti, mungkin karena beliau mengetahui kalau hubunganku dengan Mas Riko berakhir."Kamu itu menantu yang baik, Lis. Ibu tidak habis pikir, kenapa Riko sampai tega menyia-nyiakanmu.""Lisa baik di mata Ibu, tapi tidak di mata Mas Riko, Bu. Sekarang dia sudah menemukan wanita yang sesuai dengan seleranya.
Pria itu nampak kaget untuk beberapa saat melihat Kayla yang menyambutnya. Detik berikutnya ia melihat ke arah Ibu dan aku. Sementara wanita yang keluar dari pintu lain berjalan sambil menatapku sinis. "Itu Riko bersama .... " Pertanyaan Ibu tertahan."Itu Mas Riko bersama istri barunya."Ibu tak menjawab lagi, wanita yang sudah kuanggap Ibu kandungku itu nampaknya tidak enak hati. Dalam hati aku menggerutu kenapa taksi yang aku pesan belom juga datang. Aku berusaha untuk tenang ketika Mas Riko dan pelakor itu bergerak mendekat. Mata pria itu menelisik ke arahku. Sepertinya Mas Riko kaget melihat penampilanku yang jauh berbeda depan kemarin-kemarin. Beruntung, gamis yang aku kenakan saat ini adalah best seller di butik. Aku juga sempat memoles wajah ini dengan riasan tipis. Jelas saja Mas Riko pasti pangling melihatku meski kulit wajahku belum se-glowing Alin.'Bagaimana, Mas, aku cantik 'kan kalau dirawat?"Keduanya semakin mendekat, beberapa langkah lagi mereka akan sampai di hada
"Maafkan Ibu yang selalu merepotkanmu." Sekali lagi Ibu merangkulku. Setelah itu aku pun bermaksud pergi, kalau saja ponselku tidak berbunyi. Kebetulan, ini kesempatan untuk menunjukkan ponsel mahalku pada Mas Riko dan jalang itu. Aku berhenti tepat di samping Alin yang masih memberikan lirikan sinis padaku. Agak kesusahan lantaran sedang menggendong Kayla, akhirnya aku bisa merogoh tas branded yang kemarin dipesankan oleh Gina dengan barang-barang lainnya. Sengaja sedikit kuangkat tas berwarna maroon itu agar Alin bisa melihatnya. Rupanya Gina yang menghubungiku. Dengan percaya diri kugeser tanda hijau di layar ponsel. Sengaja kuhadapkan bagian belakang ponsel ke arah Alin dan Mas Riko. "Ya, Gin. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu.""Ada apa, Gin?""Ada yang mau pesen baju untuk seragam acara resepsi pernikahan, tapi katanya ingin bertemu dengan owner butiknya. Apa Ibu masih lama perginya?""Satu jam lagi aku sampai di sana. Kalau beliau bersikeras ingin bertemu, mohon sabar me
Pov RikoSaat ini Lisa benar-benar menjadi wanita yang berbeda di mataku. Setelah kemarin dia berani pergi dari rumah ini, sekarang dia tidak mau menunjukkan di mana kunci kamar itu disembunyikan. Aku yakin, benda itu bukan terjatuh, tapi Lisa sengaja menyembunyikannya.Lisa yang selama lima tahun ini kukenal sebagai wanita yang penurut. Kini berubah jadi wanita yang menyebalkan, padahal dulu dia selalu mengikuti apa yang aku katakan termasuk untuk berhemat. Tapi sekarang membalas pesanku pun dia tidak mau, menerima telepon juga terkesan santai.Aku sudah menanyakannya secara baik-baik tentang kunci itu, tapi dia bilang kunci itu jatuh di sekitar halaman rumah. Namun setelah aku cari memang tidak ada dan Lisa bersikeras tidak mau menjawab. Siang ini aku kembali mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan kunci itu, tapi jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Memangnya apa yang dia lakukan di rumahnya Mbak Tika. Aku yakin di sana dia hanya bantu-bantu membereskan rumah. Rumah Mbak Lisa i
"Coba lihat ini!" Tangan kanannya teracung, sontak saja aku terbelalak melihat benda yang dipegang Alin."Di mana kamu temukan benda sialan itu?!" Aku menunjuk tiga buah anak kunci yang bergantung di antara jemari Alin."Di sini, Mas. Di dekat rak bumbu." Alin menunjuk toples-toples kecil yang berderet, tempat biasanya Lisa menyimpan bumbu. Di sampingnya terdapat toples bertuliskan gula dan kopi."Apa ini kunci kamar yang hilang itu?" tanya Alin menyelidik."Benar, ini kunci kamar sialan itu." Aku mendengus kesal lantaran benda itu yang kemarin sempat membuatku masuk got. Benda itu pula yang menyebabkan aku kehilangan uang ratusan ribu untuk membayar tukang. Kepergian Lisa benar-benar kesialan bagiku, hanya karena masalah kunci saja aku sudah rugi dua kali."Sepertinya Mbak Lisa sengaja mengerjai kita, Mas. Dia pasti iri dengan kebahagiaan kita." Suara Alin berubah manja."Ya sudah, buatkan kopinya. Aku akan melanjutkan bersih-bersih."Aku pun kembali melangkah menuju tiga pintu yang
Aku membuang nafas perlahan, Alin adalah wanita karir yang tidak bisa kupaksakan mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi terpaksa besok aku harus mencari jasa pembantu."Baiklah, besok aku cari pembantu untuk beres-beres di rumah dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Supaya istri cantikku ini tidak kecapean.""Nah begitu dong, Mas. Itu tandanya kamu sayang sama aku. Tapi nyari pembantunya jangan yang muda, harus bibi-bibi yang sudah tua.""Loh kenapa? Bukannya yang muda itu bagus? Masih kuat tidak mudah capek.""Ih, enggak ah, nanti yang muda itu malah keganjenan. Sudah banyak kasus majikan ada main sama pembantu.""Kamu itu kebanyakan nonton sinetron, jadi pikirannya suka kemana-mana.""Nggak. Pokoknya harus bibi-bibi yang tua, jangan yang masih muda. Titik!""Apa sih yang bisa aku lakukan untuk istriku ini." Aku tidak bisa membantah Alin. Aku selalu berusaha membuatnya bahagia dan menuruti semua keinginannya demi untuk melihat wanita itu tersenyum. Besoknya, atas rekomendasi salah seorang t