Pagi-pagi sekali aku sudah membereskan semuanya, membantu ibu yang kemana-mana harus di bantu dan di awasi karena kakinya yang sudah tidak kokoh lagi menopang berat tubuhnya. Malam tadi suamiku tidak pulang, apa dia tinggal dan menginap di tempat Dania? Dadaku bergemuruh jika membayangkan hal tersebut. Setelah menyiapkan makanan untuk ibu, membantunya pergi ke kamar mandi untuk mandi pagi, aku segera membersihkan diriku sendiri dan bersiap untuk pergi ke ruko. Aku harus menemui wanita itu hari ini juga. "Bu, Safa pamit dulu ya. Mau ke ruko, kalau ada apa-apa langsung hubungi Safa saja ya. Ada yang harus di selesaikan," ucapku berpamitan kepada mertuaku. "Hati-hati kalau kemana-mana ya, Bu," pesanku memastikan. "Iya tenang saja, ibu bisa di tinggal kok. Kamu juga perlu sekali-kali keluar rumah jangan ngurusin ibu terus. Kamu juga perlu refreshing," tutur wanita yang sudah melahirkan mas Galih itu. Setelah kucium tangannya dan berpamitan, segera ku ayunkan langkahku menuju pintu k
"Tidak bisakah kamu meninggalkan wanita itu untukku mas," ucapku sambil menyiapkan makanan untuk suamiku.Bagaimanapun juga aku masih berusaha untuk mengembalikan suamiku padaku, apalagi setelah tadi aku bertemu dengan Dania. Aku semakin yakin jika wanita itu tidak hanya tertarik pada suamiku, tapi juga apa yang dimilikinya. Bahkan saat tadi dia pulang, aku tidak menanyakan darimana dia. Semalam tidur dimana, aku menyambutnya bagikan tidak terjadi apa-apa sebelumnya."Tidak usah membohongi diri sendiri, Safa. Kamu tahu jika keputusanku tidak bisa diubah. Bagaimana bisa istri yang sudah di khianati suaminya masih berharap dia kembali, lagi pula Dania sedang hamil. Dia mengharapkan aku selalu bersamanya dan meninggalkan dirimu."Jawaban dari pria yang sedang duduk di hadapanku ini sangat menusuk hatiku, dia benar-benar sudah tidak memedulikan lagi bagaimana perasaanku.""Kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini mas? wanita itu hanya tertarik dengan kesuksesanmu, apa kamu yakin d
POV Galih_______Aku sudah terlelap saat ponselku terus berdering, aku pikir siapa yang malam-malam begini menelponku. Saat melihat nama Dania yang tertera di layar, aku segera mengangkat panggilan tersebut. Dia bilang perutnya sakit hingga akhirnya aku segera bergegas ke rumahnya. Aku tidak mempedulikan lagi bagaimana perasaan Safa, toh dia sudah tahu semuanya. Dan bahkan dia juga sudah setuju dengan keinginanku untuk bercerai, tinggal mengurus semuanya ke pengadilan dan kami akan resmi menjadi mantan suami istri.Begitu sampai di rumah yang di tinggali oleh Dania aku segera membuka pintu dengan memakai kunci yang aku miliki. Rumah ini adalah rumah yang aku dan Safa beli di kota ini diawal-awal usaha kami mulai merangkak naik. Daripada dibiarkan kosong karena kami pindah ke rumah yang lebih besar dan nyaman seiring makin suksesnya usaha kami, maka rumah ini di tempati oleh Dania yang saat itu baru datang dari desa untuk bekerja di tempat kami. Tentunya ide itu keluar dari kepala S
Mas Galih begitu sibuk mengurusi perceraian kami, bahkan dia tidak peduli dengan permintaan ibu untuk memikirkannya kembali keputusannya. Sepertinya dia memang sudah tidak peduli lagi padaku, dan akupun juga sudah mulai bisa menguasai diriku sendiri. Bahkan aku dengar wanita itu mau juga merawat ibu mas Galih. Baguslah jika memang begitu, beliau tidak akan hidup disia-siakan oleh anak dan menantu barunya. Mas Galih lah yang mengurus semuanya, dokumen-dokumen yang diperlukan hingga daftar kekayaan yang kami miliki setelah menikah. Yang aku tahu, memang harus melampirkan itu jika kami berniat langsung membagi harta Gono-gini. Jika tidak melampirkan saat mengajukan gugatan cerai, maka kami harus mengurusinya lagi setelah terjadi perceraian. Dokumen yang di siapkan oleh mas Galih berupa, surat nikah asli, Fotokopi surat nikah 2 lembar lengkap dengan materai dan sudah dilegalisir, Fotokopi KTP, Fotokopi KK serta Surat kepemilikan harta. ( sumber : pobela.com.)Kami tidak menyertakan akt
Pagi yang cerah ini, aku mengawali hari yang baru. Sekarang aku tinggal sendirian, tidak ada kerabat maupun saudara di rumah yang sebesar ini. Ibu mertuaku, lebih tepatnya mantan ibu mertuaku sudah dibawa oleh anaknya pergi dari rumah ini. Hari ini aku berniat untuk mengurus balik nama atas toko yang masih atas nama mas Galih, sedangkan rumah ini sudah atas namaku. Beberapa aset sudah di jual dan kami bagi dalam bentuk uang. Bahkan mobil yang biasa aku pakai juga kami jual, lalu aku sudah menggantinya dengan mobil lain yang sama-sama mungil. Aku pikir karena aku berkendara sendiri hanya memerlukan mobil yang tidak terlalu besar. Aku juga akan mulai pergi ke toko dan menjaganya sendiri, karena mas Galih juga menarik karyawan dari sana. Padahal biar saja mereka bekerja disana dan aku yang akan menggajinya. Entah ide siapa untuk mengambil karyawan dari sana. Rumah sudah rapi, aku pun sudah siap pergi. Mulai hari ini aku tidak terlalu sibuk seperti dulu lagi, aku hanya mengurus diriku
"Jangan sombong mbak, apa yang kamu banggakan sekarang? kamu tidak memiliki siapapun yang bisa menjadi tempatmu bersandar," ejeknya."Aku tidak butuh siapapun untuk bersandar, aku punya Allah. Dia sudah sangat cukup buatku." Wanita yang sudah merebut suamiku itu hanya tersenyum miring menanggapi perkataanku. Dia langsung masuk kedalam tokoku, melihat dan menyentuh baju-baju yang terpajang disana. Gesture tubuhnya sudah seperti seorang bos yang sedang memeriksa pekerjaan stafnya. Benar-benar menyebalkan. Kalau bukan sedang hamil rasanya aku ingin menjambak rambutnya dan melemparnya keluar dari tempat ini. "Sampai kapan toko ini akan bertahan mbak," tanyanya sinis. "Bukankah tempat ini tetap membutuhkan isi, darimana kamu akan mendapatkannya," lanjutnya berkata. Perkataan yang sama seperti yang pernah mas Galih ucapkan padaku kala itu, mungkin dia mendapatkan perkataan itu dari wanita ini. Aku tertawa keras mendengar ucapannya, wanita dengan gaun sepanjang lutut itu langsung berbaik
"Bagaimana dengan tempat ini?" tanya Kaira begitu kami turun dari mobil. Aku dan Kaira sedang mencari tempat baru untukku membuka konvensi kecil-kecilan yang baru. Aku memang harus segera melakukan hal itu karena bagaimanapun juga aku harus bisa menafkahi diriku sendiri. Kami masuk kedalam gang yang tidak jauh dari jalan besar, gang itu cukup lebar, bisa muat satu mobil dan satu motor. Bahkan kami memarkirkan mobil tepat didepan bangunan yang kami ingin lihat. Bangunan itu ada di antar bangunan-bangunan lain yang seperti hunian. Kami membuka pagar dan masuk kedalam bangunan yang lebih mirip dengan rumah tersebut. Begitu membuka pintu, yang terlihat adalah ruangan tanpa sekat dan cukup luas. Kata Kaira dulu disini juga di gunakan untuk menjahit. Sepertinya ini memang muat untuk sepuluh mesin jahit, atau kalau mau lebih longgar cukup delapan saja. "Ayo lihat keatas," ajak Kaira. Kami berjalan menaiki tangga menuju lantai atas, begitu sampai diatas ruangannya tidak begitu jauh berbe
Berkat bantuan dari Kaira, aku akhirnya mendapatkan asisten rumah tangga dan sekaligus satpam keduanya adalah suami istri. Lebih baik memang seperti itu karena keduanya akan sering bertemu di rumahku. jika mereka suami istri maka hal-hal yang tidak diinginkan tidak akan terjadi di rumah ini. Mas Wahyu yang menjadi satpamku berusia tiga puluh lima tahun. Sedangkan istrinya, mbak Lala berusia tiga puluh tahun, mereka sudah seperti kakak bagiku. Saat ini aku sendiri berusia dua puluh enam tahun, usia yang sangat muda untuk menjadi seorang janda. Aku menikah dengan mas Galih saat berusia dua puluh tahun dan mas Galih sendiri saat itu berusia dua puluh enam tahun.Aku juga sudah mendapatkan dua orang wanita yang menjadi karyawan untuk menjaga tokoku. Satu adalah temannya karyawan Kaira, dan satu lagi aku mendapatkannya dari iklan online yang aku pasang. Konveksiku juga sudah mulai berjalan. Begitu menyelesaikan jual beli atas tempat tersebut, aku langsung mencari karyawan dengan memasan