Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
[Mba, apakah yang ini lelaki yang anda cari?] Sebuah pesan masuk ke messenger-ku. Kubaca sekali lagi isi kalimat tersebut. Entah siapa gerangan orang tersebut, ia mengirimkan sebuah gambar hasil tangkapan layar di salah satu media sosial ke messenger-ku. Aku memicingkan mata, memerhatikan dengan seksama gambar tersebut.Seketika, batinku mengiyakan. Wajah lelaki di gambar tersebut sama dengan suamiku. Tapi, wanita di sampingnya dan seorang bayi yang ada di pangkuannya? Rasanya aku mengenali wajah wanita ini, tapi siapa? Aku masih berusaha terus mengingat siapa wanita ini. Bagai disambar petir, mata ini seakan merah padam. Dada ini terus menderu-deru. Aku khawatir kalau dugaanku benar."Tidak ... tidak mungkin ... Ini bukan Raisya! Dulu, yang kutahu, ia tidak berhijab seperti di foto ini. Semoga aku salah. Astaghfirullah!" Aku menahan deru di dada dengan telapak tangan. Jariku seakan kaku untuk mengetik, benar-benar tidak percaya.[Iya Mba, benar. Terima kasih, ya. Boleh aku minta
Saat aku membuka gawai di saku karena bingung mau buat apa, sebuah notifikasi beberapa kali berbunyi. Pesan masuk ke messenger. Aku tak sabar membukanya. Mata ini membulat hampir sempurna dengan apa yang kulihat. Beberapa foto mereka sedang asyik bermain di depan rumah, dan juga foto di mana mereka sedang menikmati kuliner di sebuah resto yang cukup mewah menurutku. Wanita ini, bagaimana dia bisa setega itu merebut suamiku tanpa merasa bersalah. Dia kan sangat tahu Mas Adnan, suamiku. Kami juga dulu sangat berteman baik.Hati ini begitu sakit, dikhianati oleh dua orang yang tidak asing bagiku. Dua tahun menunggunya ternyata hanyalah sia-sia belaka. Sepertinya, ia memang sengaja meninggalkan aku dan Naya. "Nak Jihan! Sudah lama datang?" Aku sedikit terkejut dengan sapaan bapak yang baru saja keluar dari kamar. Gawai kuletakkan kembali ke dalam tas. "Iya, Pak, lumayan!" Sambil menyalaminya. "Loh, belum ada apa-apa di atas meja? Tadi siapa yang bukain pintu? Kok gak sediain minuman
Gadis kecil berambut kuncir itu mengikuti ajakanku tanpa menolak. Usianya hampir sama dengan Naya. Ingin sekali kutanyakan Papanya kerja apa, tetapi kuurungkan karena anak seperti ini tak mungkin mengerti apa yang orang dewasa lakukan. Aku terus berjalan sambil menuntunnya. "Tante, Dita lupain boneka di lumah Yani." Dita menoleh padaku diikuti dengan langkah kakiku untuk berhenti."Biar Tante aja yang ambilin. Kamu masuklah dulu!" Aku membukakan pintu pagar rumah dan menutupnya kembali. Setelah mendapatkan boneka tersebut, aku beranjak pulang, tak sabar ingin menanyakan perihal suamiku. Boneka ini akan membuat mereka mengatakan di mana Mas Adnan berada. Aku harap mereka tidak menyembunyikan sesuatu dariku. Sebuah mobil melintas di depan kedai Bu Sumi. Seketika, wajah seorang wanita tertangkap oleh kedua netraku tepat di depan rumah Bu Sari saat aku keluar. "Sepertinya, tadi wajah mama. Ke mana dia pergi? Dan wanita di sampingnya, bukankah Lisa? Padahal seharian tadi aku menungguny