Share

Kucing Penyelamat

Tubuhku mematung seperti gunung es, hawa dingin sudah menyeruak ke seluruh aliran darah, aku nampak terkesima, sulit mengendalikan tubuh untuk menyingkir dari depan pintu saat Mas Aksa melangkah hendak keluar.

‘Ya Tuhan ada apa dengan tubuhku?’ tanyaku dalam hati, ‘mungkinkah ini akibat dari perbuatanku yang tidak meminta izin pada Mas Aksa saat memberikan uang itu pada Mbak Ratna?

Aku memberikan uang itu pada Mbak Ratna karena permintaan Ibu, kalau bukan Ibu yang meminta, aku tidak akan memberikannya.' Hati terus meracau.

Sebenarnya pernah suatu hari Ibu mengatakan hal yang membuatku takut menjadi anak durhaka, ia mengatakan kalau aku sama sekali tidak bisa diandalkan.

“Kamu itu ya Hil, suami punya uang banyak, seratus ribu sebulan pun, kamu nggak pernah memberinya pada Ibu,” ucapnya kala itu.

Hatiku sangat sakit ketika Ibu mengatakan hal itu, apalagi baru saja Mas Ilham, suaminya Mbak Ratna membawakan belanjaan untuk memenuhi kebutuhan harian beliau.

“Tak ada lagi menatu sepengertian Ilham pada orang tua, tiap bulan ia bagi rezeki untuk ibu tanpa diminta, makanya rezekinya lancar,” ucapnya lagi sedikit lebih menekan. Aku tahu maksud dari perkataan Ibu itu jelas untuk menyindirku yang belum pernah memberinya apapun.

‘Kreeeeek ….’

Suara pintu yang dibuka perlahan oleh Mas Aksa dari dalam membuatku cepat berjongkok di balik kursi. Persis di samping dinding kamar kami.

Saat kuintip dari celah pertemuan dua kursi, Mas Aksa masih sibuk menyibak lemari tv, meja keluarga sampai ke kamar tamu. Tanganya bahkan menggeser-geser kursi dan nakas kecil yang kami simpan di ruang tengah.

Dahiku sudah mengeluarkan keringat dingin, entah apa yang akan aku katakan kepada Mas Aksa kalau sampai ia menemukanku bersembunyi di sini.

Mas Aksa semakin mendekat ke arahku, tangan dan kakinya menggeser celah kursi, dan meraba bagian sisinya.

Aku menahan napas saat tangan Mas Aksa terlihat menjulur ke depanku sekarang, ia masih menggeser-geser kursi hingga menjepit tubuhku ke dinding, sandaran sofa yang tinggi ternyata mampu menyembunyikan tubuhku yang kecil dan luput dari pandangannya.

“Hilya!” panggilnya. Suaranya sudah seperti petir di siang bolong.

Yasalam, tamatlah aku!

“Hilya!” panggilnya lagi.

'Pasrahlah sudah, sebaiknya aku mengatakannya saja. Tapi, bagaimana kalau Mas Aksa tidak memaafkan dan menelantarkanku berhari-hari?'

“Hilyaaa!” panggilnya semakin keras.

“I- …." Baru saja aku akan membuka mulut.

Brank! Suara keras terdengar dari dapur.

“Hilya!” panggil Mas Aksa seiring suara langkah yang menjauh.

Aku segera berdiri dan berlari mengikuti Mas Aksa ke dapur. Menyeka keringat yang sempat mengucur deras. Bukan hanya karena takut di temukan, tapi ternyata hawa di balik kursi itu juga panas.

“Iya Mas,” sahutku pelan di belakangnya.

“Kamu dari mana saja sih! Mas, sudah manggil dari tadi! lihat tuh, kucing mencuri Ikan!” sentaknya. Aku segera mengejar kucing hingga teras dan akhirnya ia menjatuhkan ikannya. Pelan kubersihkan kotoran yang sedikit menempel pada ikan, dan membawanya kembali ke dapur, menyimpannya di piring kosong.

Kulihat Mas Aksa makan dalam diam, wajahnya nampak kesal dengan kejadian barusan, aku berjongkok di bawah meja untuk mengelap jatuhan ikan yang di bawa sang kucing. Sungguh tidak berani menegur Mas Aksa sekarang, ia memang punya sifat seperti itu, mudah tersinggung dan cepat kesal. Jika sudah seperti itu, jangankan bersikap baik ditanya pun tidak akan dijawabnya.

Kulihat Mas Aksa menyelesaikan makannya dengan cepat, ia menyimpan piring kotornya begitu saja dan mengambil air minum tanpa menegurku. Ikannya tinggal tulang dan kepalanya saja, kebetulan Mas Aksa hanya membeli dua ekor ikan tadi pagi, aku tidak pernah makan siang dan hanya menunggu makan sore bersamanya. Namun, kini dihadapanku hanya tinggal ikan yang digigit kucing tadi. Haruskah aku memakannya? perut berbunyi lirih dan terasa sangat perih. Sedangkan tak ada lauk lagi di meja makan selain sambal cobek yang kubuat untuk menemani ikan goreng.

Kucing itu memang menyelamatkanku dari Mas Aksa, tapi akhirnya ia menyiksaku juga. Perlahan aku mencubit bagian ikan yang belum koyak, setahuku kucing tidak menyebarkan virus lewat mulutnya, mungkin tidak apa-apa kalau aku memakannya dari tempat yang tidak ia gigit.

‘Bagaimana ya? pertanyaan dibenakku kembali datang, ‘haruskah kutanyakan pada Mbak Ratna perihal uang itu? tapi Ibu yang meminta, masa iya aku tanyakan pada Mbak Ratna,’ batinku terus berbicara.

“Hilya!” panggil Mas Aksa dari dalam rumah.

Seketika suaranya membuyarkan lamunan, hingga membuatku terperanjat.

“Uhuk … huk … huk …." Aku tersedak nasi yang baru saja sampai di tenggorokan.

“Iya Mas,” jawabku pelan sembari memuntahkannya kembali.

“Kemarilah!” pintanya.

Aku segera mencuci tangan dan menghampiri, “Ada apa Mas?” tanyaku gelapan.

Mas Aksa baru selesai mandi dan ia sedang duduk di kursi tamu, kepalanya masih memperhatikan berbagai sudut di ruangan itu.

“Kamu …,” ucapnya terjeda.

Aku menelan ludah kasar, terdengar suaranya hingga ketelinga.

“Kamu lihat …,” nampak Mas Aksa berpikir untuk memilah kata. Aku masih menunggu ia melanjutkan ucapannya dan sibuk membaca segala mantra.

“Kamu lihat yang merah nggak?” tanyanya.

“Hm!” aku tertegun dengan pertanyaan si merah, ‘bukannya yang berwarna merah itu banyak, hari ini aku hanya melihat uang tapi tidak melihat cat merah misal.’ Alibiku terus berputar membuat alasan agar bisa berbohong

“Ah sudahlah! Mas mau istrihat, kepala serasa pecah mikirin itu dari pagi!” kelakarnya berjalan ke dalam kamar.

"Hah!"

Aku mengelus dada, “Selamat!”

Bersambung .....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status