Share

Bab 4

“Hebat ya kamu sudah membuat harga diri Anang jatuh di mata para tetangga. Seharusnya sejak awal kamu tidak memanggil Hanin untuk datang ke rumah. Lihatlah Melati yang hanya sakit radang tenggorokan saja. Karena kamu, Hanin sudah mengatai Anang sebagai suami yang tidak becus dan menagabaikan keluarganya.” Kata Ibu mertua tanpa henti. Tanpa memperhatikan jika banyak orang yang sudah memegang kamera tengah merekam kami. Mas Anang juga tidak sadar jika Ibunya tengah mempermalukan diri sendiri sehingga menarik perhatian orang lain.

“Maaf ada apa ini ribu-ribut?” Tegur suster yang datang bersama Hanin. Ibu mertua langsung gelagapan hingga tanpa sadar mundur menyentuh tembok. Aku menghela nafas lega saat meljhat adikku sudah masuk.

“Nggak ada masalah apapun suster. Hanya masalah keluarga saja. Maaf sudah membuat keributan.” Jawabku masih berusaha untuk menutup aib keluarga kami. Membuat aku bisa mendengar beberapa Ibu-ibu yang berbisik kagum padaku.

“Oh begitu. Tolong jangan buat keributan lagi. Kasihan sama pasien yang lain.” Kata suster itu sambil melepaskan infus di tanganku. Aku hanya bisa menganggukan kepala sungkan.

Setelah suster itu keluar dari ruangan ini, Hanin membantuku untuk berdiri. Tapi, aku menahannya sejenak agar kami tidak langsung keluar. Tanpa mempedulikan Ibu mertua yang masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa dia terlihat sangat ketakutan melihat Hanin. Padahal biasanya Ibu mertua dan Mas Anang hanya sungkan saja padanya. Mungkin aku harus bicara berdua saja dengan adikku itu untuk menyanyakan hal ini.

“Sebelumnya saya minta maaf karena sudah membuat keributan di ruangan ini hingga mengganggu waktu istirahat kalian.” Ucapku lalu menundukan kepala yang di sambut dengan beberapa ucapan bernada menyemangati.

“Saya tadi lihat ada beberapa orang yang mengacungkan ponselnya ke arah kami. Maaf jika saya mungkin salah menduga, jika ada di antara kalian yang merekam kejadian tadi, tolong untuk segera di hapus. Saya tidak ingin anak dan keluarga saya sampai malu saat video tadi sudah tersebar. Karena saya bisa menyelesaikan masalah tadi secara kekeluargaan.” Tampak raut wajah beberapa orang yang merasa bersalah. Tapi, mereka semua bergumam setuju atas permintaanku.

“Terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi dulu.” Hanin menuntunku untuk keluar. Meninggalkan Mas Anang dan Ibu mertua berdua saja di ruangan ini.

Kami masuk ke dalam ruang rawat Melati. Untunglah putriku tidak perlu menjalani operasi. Dengan makanan yang sehat, Melati akan bisa sembuh sendiri. Sejak tadi Hanin terus menolehkan kepalanya ke arah pintu. Ia bangkit berdiri saat aku tengah berbincang dengan Melati lalu mengunci kamar VIP ini.

“Melati sayang, Tante mau ngobrol sama Ibu di sofa dulu ya. Melati nonton TV aja. Mau nonton kartun apa?”

“Tayo tante.” Ucap Melati dengan suara lemah. Karena kondisi kesehatannya belum pulih benar. Hanin lalu memutar salah satu stasiun TV yang tengah menayangkan kartun yang berasal dari luar negeri itu.

Kami lalu duduk di sofa yang ada di pojok ruangan. Hanin memberiku sebotol air lebih dulu. Karena ia sendiri kemudian sudah minum botol air yang lain. “Apa yang ingin kamu bicarakan Nin?” Tanyaku heran.

“Mbak Harum jujur padaku sekarang. Apa saja yang sudah di lakukan keluarga laknat itu padamu?” Tanya Harum dengan suara rendah menahan amarah.

Aku bingung harus menceritakan hal ini pada Hanin atau tidak. Karena jika aku menceritakan semua detail yang aku lewatkan selama ini, Hanin pasti akan langsung memaksaku untuk pergi dari rumah itu. “Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Yang jelas aku belum bisa langsung berpisah dari Mas Anang, Nin?”

“Kenapa Mbak?” Tanya Hanin dengan kedua mata yang membulat tidak percaya.

“Aku mau mendapatkan semua hakku selama ini dari mereka. Bukan untukku. Tapi, untuk masa depan Melati kelak.” Hanin meraup wajahnya dengan pandangan tidak percaya. Dia tidak bisa melawan sifat keras kepalaku yang masih mau bertahan di rumah itu.

“Tapi, Mas Anang itu berbahaya Mbak. Dia saja bisa mendorong Mbak Harum sampai masuk ke rumah sakit. Ini bukan pertama kalinya kan?” Todong Hanin dengan wajah serius. Aku terpaksa menganggukan kepala dengan kaku.

“Itu karena aku terbiasa untuk mengalah. Besok-besok aku tidak akan diam saja jika mereka memperlakukanku dengan buruk. Karena tadi aku melihat Ibu mertuaku ketakutan denganmu setelah berani mengancamku, cerita sekarang apa saja yang sudah kamu katakan padanya.” Bukannya menjawab pertanyaanku, Hanin justru tertawa puas.

“Ceritanya cukup panjang.”

Hanin cerita jika dia mendengar suara cekcok kami dari luar rumah. Perasaannya tidak enak saat tidak terdengar suara lagi dari dalam rumah kami. Hanin lalu memutuskan untuk masuk ke dalam. Ia membuka pintu tanpa peringatan dan melihatku sudah jatuh pingsan. Melihat Mas Anang yang buru-buru menyingkirkan kardus kosong dari atas kepalaku membuat Hanin segera keluar rumah. Mengabaikan Ibu mertua yang tengah asyik menonton TV di ruang tengah.

“Tolong kakak saya. Dia pingsan. Tolong. Tolong.” Teriak Hanin yang membuat para tetangga jadi berdatangan. Ibu mertua sudah terlonjak kaget mendengar teriakan Hanin. Apalagi saat melihat para tetangga sudah masuk ke dalam rumah.

Termasuk Pak RT yang rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Para tetangga segera masuk ke dalam rumah. Melihatku yang tengah berusaha di gendong oleh Mas Anang. Para pria dengan sigap membantu Mas Anang hendak membawkau ke atas tempat tidur. “Jangan Pak. Tolong masukan kakak saya ke dalam mobil di depan. Dia tadi baru di dorong sama suaminya sampai tertimpa kardus kosong. Saya takut terjadi hal yang buruk pada kakak saya seperti gegar otak.” Kedua mata Mas Anang membulat mendengar pengakuan Hanin.

Para Ibu-ibu sudah bergosip ria sambil menatap Ibu mertua yang tegang. Tubuh Mas Anang juga menjadi kaku hingga tidak sadar jika aku sudah di gendong menjauh. Setelah kami sampai di rumah sakit, Hanin langsung memaki Mas Anang sebagai suami yang tidak becus dan pilih kasih pada keluarganya. Dia juga mengatakan akan melaporkan hal ini pada Papa karena orang tua kami sudah memaafkanku. Mudah saja membuat Mas Anang di pecat dari pekerjaannya lalu di penjara jika benar melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga padaku.

“Ibu mertuamu langsung memohon ampun di depanku Mbak. Dia tidak mau anaknya di penjara karena Mas Anang adalah tulang punggung keluarga. Ia bahkan sampai berlutut di kakiku di hadapan banyak orang. Membuatku jadi malu sendiri. Aku pikir permintaan maaf suami dan ibu mertuamu tadi tulus. Tapi, ternyata mereka hanya berpura-pura.”

Aku menghela nafas pelan. Sudah tidak bisa terlalu lama menyimpan kelakukan Mas Anang dan Ibu mertua selama ini padaku. Namun, di sisi lain aku juga tidak bisa kembali pada Papa dan Mama. Masih terngiang dalam kepala bagaimana Mama yang melarangku datang ke rumah mereka kecuali saat hari raya saja. Walaupun Hanin mengatakan jika Mama sudah memaafkanku.

“Lalu, apa rencana Mbak Harum selanjutnya?” Pertanyaan Hanin seketika membuyarkan lamunanku.

“Aku ingin menggunakan ketakutan mereka untuk mengambil gaji Mas Anang yang seharusnya ia berikan padaku selama ini. Kamu mau membantukukan Nin?” Aku sudah menggenggam tangan Hanin yang kasar karena setiap hari harus memasak di warungnya.

“Tentu saja aku mau Mbak. Kita akan beri pelajaran pada mereka.”

***

Melati masih akan di rawat satu hari lagi hingga kondisinya pulih. Aku yang juga sudah sehat meminta Hanin agar art di rumahnya mengirim baju Hanin agar bisa aku pinjam. Karena Hanin sendiri tidak mau meninggalkanku dan Melati di ruangan ini.

Tok… tok.. tok..

“Masuk.” Jawab Hanin yang tengah duduk di sofa. Sedangkan aku duduk di kursi samping tempat tidur Melati untuk menemani putriku yang sedang menonton kartun di TV.

Tampak sosok Mas Anang dan Ibu mertua masuk ke dalam kamar. Wajah Ibu dan anak itu kelihatan tegang sekali. Mereka pasti masih memikirkan ancaman Hanin tadi. “Melati sudah mulai sembuh Rum?” Tanya Mas Anang yang langsung berjala menuju sisi lain tempat tidur Melati. Di ikuti dengan Ibu mertua yang berjalan di belakangnya.

“Sudah Mas.” Jawabku pendek. Ibu mertua hanya berdiri mematung di belakang tubuh anaknya.

“Ehm. Ada yang mau aku dan Ibu bicarakan dengan kalian sebentar saja. Bisakan Rum?” Aku menganggukan kepala lalu berjalan menuju sofa.

Hanin sudah meletakan laptopnya di atas meja dengan tangan bersedekap. Mas Anang dan Ibu mertua lalu duduk di sisi sofa yang lain. “Apa yang ingin kalian bicarakan sekarang?” Tanyaku langsung pada intinya.

“Tolong jangan laporkan aku ke polisi. Aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan.”

“Termasuk dengan memberikan semua gajimu padaku?” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi menyeramkan.

“Apa? Nggak boleh. Lebih baik kalian berpisah daripada Anang menyerahkan semua gajinya padamu.” Seru Ibu mertua tidak terima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status