“Mas aku minta uang tambahan untuk beli seragam barunya Melati.” Todongku begitu Mas Anang, suamiku baru pulang kerja. Matanya menatapku tajam“Kan masih ada uang dua ratus ribu yang di kasih Ibu. Masa sudah habis? Tunggu sampai aku gajian lagi Rum.” Kening Mas Anang berkerut tanda ia tidak senang dengan ucapanku tadi.“Tinggal seratus ribu aja Mas. Cuma cukup untuk biaya makanku dan Melati untuk dua minggu ke depan. Dulu waktu Melati baru masuk ke tk kecil akukan sudah bilang kalau perlu uang tambahan untuk pendaftaran dan membeli peralatan sekolah seperti tas, sepatu, buku sama seragam. Kamu saja yang tidak mau bilang pada Ibu untuk memberikan uang tambahan padaku.” Mas Anang berdecak kesal lalu mengulurkan uang seratus ribu padaku.“Kalau ada lebihnya pakai buat kebutuhan sekolah Melati yang lain. Makanya kamu juga harus kerja Rum. Biar nggak minta terus padaku.”CkitSeperti ada yang mencubit ulu hatiku. Selalu seperti ini jika aku minta tambahan uang. Maka Mas Anang akan menyuruh
Deg “Teganya kamu bicara seperti itu Mas? Melati sedang sakit. Aku juga pergi ke dokter dengan sisa uang pemberian Ibumu. Tidak minta lagi padamu seperti kemarin. Kalau terjadi sesuatu pada Melati bagaimana?” Balasku tidak terima. Melati sudah menangis di pelukanku dengan tubuh yang semakin panas. “Salah kamu sendiri nggak becus ngurus anak sampai Melati sakit. Sudah jangan membantah. Kamu bisa kompres dahi Melati sekarang lalu siapkan tas kerjaku.” Perintah Mas Anang tidak mau di bantah. Ia justru dengan santainya memakai dasi di leher. “Ya Allah Mas. Siapa sih yang mau sakit. Lagian aku cuma ijin sama kamu untuk bawa Melati pergi ke rumah dokter. Bukan minta uang lagi. Tenang saja, aku baru akan pergi setelah kamu berangkat kerja.” Seruku kesal tidak bisa menahan amarah. Setengah mengiba padanya agar mengijinkan kami pergi. “Terus siapa yang akan membersihkan rumah ini kalau kamu hanya sibuk dengan Melati? Urusi pekerjaan rumah dulu. Nanti Melati juga sembuh sendiri. Awas saja k
Sontak saja aku merasa panik hingga berlari menuju ruang tamu. Namun, langkahku seketika berhenti saat melihat Mas Anang dan Ibu mertua sudah duduk di ruang tamu. Selain itu, ada Hanin yang tengah duduk sambil memangku tubuh Melati. Sepertinya mereka baru saja bicara. Tapi, langsung diam saat melihat keberadaanku. “Kamu sudah selesai Mbak?” Tanya Hanin langsung berdiri. Aku hanya bisa menganggukan kepala dengan wajah bingung. “Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang. Biar Melati bisa cepat di tangani. Jangan di bawa ke rumah praktik dokter saja. Keponakan suamimu saja bisa di bawa ke rumah sakit. Kenapa Melati tidak bisa?” Sindir Hanin sambil menatap ke arah Mas Anang dan Ibu mertua yang hanya bisa menundukan kepalanya. Mereka memang segan pada Hanin karena masih mengharapkan harta dari orang tuaku.“Ehm. Adik iparku yang mentransfer langsung biaya anaknya di rumah sakit Nin. Aku hanya mengantarnya saja.” Hanin tertawa tidak percaya. Kentara sekali jika tawanya adalah tawa mengejek.
“Hebat ya kamu sudah membuat harga diri Anang jatuh di mata para tetangga. Seharusnya sejak awal kamu tidak memanggil Hanin untuk datang ke rumah. Lihatlah Melati yang hanya sakit radang tenggorokan saja. Karena kamu, Hanin sudah mengatai Anang sebagai suami yang tidak becus dan menagabaikan keluarganya.” Kata Ibu mertua tanpa henti. Tanpa memperhatikan jika banyak orang yang sudah memegang kamera tengah merekam kami. Mas Anang juga tidak sadar jika Ibunya tengah mempermalukan diri sendiri sehingga menarik perhatian orang lain.“Maaf ada apa ini ribu-ribut?” Tegur suster yang datang bersama Hanin. Ibu mertua langsung gelagapan hingga tanpa sadar mundur menyentuh tembok. Aku menghela nafas lega saat meljhat adikku sudah masuk.“Nggak ada masalah apapun suster. Hanya masalah keluarga saja. Maaf sudah membuat keributan.” Jawabku masih berusaha untuk menutup aib keluarga kami. Membuat aku bisa mendengar beberapa Ibu-ibu yang berbisik kagum padaku. “Oh begitu. Tolong jangan buat keributa
“Baiklah jika Bu Munah tidak setuju. Papa saya akan membawa masalah penganiayaan pada Mbak Harum ke jalur hukum saat Mbak Harum mengajukan gugatan cerai. Dan Mas Anang akan membayar mahal sekali untuk waktu empat setengah tahun karena tidak memberikan Mbak Harum dan Melati nafkah dengan layak. Mungkin jumlahnya akan lebih dari seratus juta. Apakah Mas Anang sanggup untuk membayar uang sebesar itu?” Ibu mertua sudah terlihat gelisah. Padahal Hanin hanya menggertak saja. “Belum lagi dengan nafkah per bulan yang akan di bebankan pada Mas Anang. Jika Mas Anang melanggar, mudah saja bagi Papa membuat Mas Anang keluar dari pekerjaannya.” Sekali lagi Hanin membawa nama Papa untuk menakuti mereka. Padahal belum tentu Papa mau membelaku.“Ibuku hanya bercanda saja Nin. Tentu saja aku akan menyerahkan semua gajiku pada Harum. Asal Harum mau memaafkan aku.” Tangan Mas Anang terlihat memegang tangan Ibunya agar tidak bicara lagi.“Iyakan Bu?” Mas Anang mengedipkan matanya berulang kali.“Iya.” J
Ya ampun. Bagaimana ini? Kalau Papa dan Mama semakin marah padaku, mereka pasti tidak akan mau untuk membantuku lagi. Sia-sia sudah ancaman yang di berikan Hanin pada Mas Anang dan Ibu mertua. Hanin menjelaskan kondisi Melati pada Papa dan di rumah sakit mana Melati sudah di rawat. Selain itu, Hanin juga menceritakan tentang rencana kami pada Papa. Membuat aku melotot tidak setuju. Tidak lama kemudian, Papa sudah minta Hanin menyerahkan hpnya padaku.Selama lima tahun ini aku sudah tidak pernah bicara berdua saja dengan Papa. Membuat dadaku berdegup kencang. Tanpa terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Mengingat kesalahan masa lalu saat aku sudah mengabaikan nasihat Papa dan Mama demi bisa menikah dengan Mas Anang.“Jangan menangis Mbak. Bicara berdua saja dengan Papa disini. Biar aku yang beli makanan di kantin.” Bisik Hanin menguatkan saat menyerahkan hpnya padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu dengan cepat menghapus air mata yang menggenang agar orang-orang
“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas A
Tubuh Mas Anang seketika menegang mendengar peringatan dari Rasyid. Membuat aku berusaha menahan tawa. Setelah kepergian keluarga Hanin, Mas Anang dan Ibu mertua kembali duduk di sofa. Aku sudah menggelear seprai tipis yang tadi di bawakan oleh Rasyid. Lengkap dengan bantal dan guling.“Ibu nanti tidur di atas sofa saja biar nyaman. Aku dan Mas Anang akan tidur di bawah.” Ujarku pelan tanpa menatap ke arah Ibu dan anak itu. Entah bagaiaman raut wajah mereka saat ini.“Nggak usah Rum. Biar Ibu saja yang tidur di bawah. Kasihan Anang kalau badannya pegal. Diakan masih harus kerja besok.” Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas. Di usia yang sudah setua itu saja Ibu mertuaku tetap memanjakan Mas Anang seolah dia masih anak kecil. Sampai Ibu mertua tidak memberikan perhatiannya sebagai seorang Nenek pada Melati.“Jangan Bu.” Ucapku tegas membuat senyum di wajah Mas Anang seketika luntur. Mulai malam ini, aku akan membuat mereka tidak bisa mengaturku lagi.“Kalau aku membiarkan Ibu