Share

Keluarga Yang Terabaikan
Keluarga Yang Terabaikan
Penulis: Alita novel

Bab 1

“Mas aku minta uang tambahan untuk beli seragam barunya Melati.” Todongku begitu Mas Anang, suamiku baru pulang kerja. Matanya menatapku tajam

“Kan masih ada uang dua ratus ribu yang di kasih Ibu. Masa sudah habis? Tunggu sampai aku gajian lagi Rum.” Kening Mas Anang berkerut tanda ia tidak senang dengan ucapanku tadi.

“Tinggal seratus ribu aja Mas. Cuma cukup untuk biaya makanku dan Melati untuk dua minggu ke depan. Dulu waktu Melati baru masuk ke tk kecil akukan sudah bilang kalau perlu uang tambahan untuk pendaftaran dan membeli peralatan sekolah seperti tas, sepatu, buku sama seragam. Kamu saja yang tidak mau bilang pada Ibu untuk memberikan uang tambahan padaku.” Mas Anang berdecak kesal lalu mengulurkan uang seratus ribu padaku.

“Kalau ada lebihnya pakai buat kebutuhan sekolah Melati yang lain. Makanya kamu juga harus kerja Rum. Biar nggak minta terus padaku.”

Ckit

Seperti ada yang mencubit ulu hatiku. Selalu seperti ini jika aku minta tambahan uang. Maka Mas Anang akan menyuruh aku bekerja untuk mendapat uang sendiri guna memenuhi kebutuhan putri kami. Padahal gajinya di perusahaan sudah mencapat tujuh juta per bulan. Tapi, semua uang itu di berikan pada Ibu mertua yang juga tinggal di rumah ini. Ibu mertua juga yang memberiku uang sebesar dua ratus ribu sebulan untuk kebutuhan makanku dan Melati. Karena Ibu mertua sendiri yang akan memasak untuknya dan Mas Anang.

“Aku akan kerja kalau Melati cukup umur. Kalau aku kerja sekarang siapa yang akan menjaga Melati? Aku tidak mungkin meminta Ibu melakukan hal itu bukan.” Jawabku tenang yang selalu bisa membuat Mas Anang terdiam. Ia langsung membuang muka karena kalah berdebat denganku. Tentu saja ia juga tidak mau menyuruh Ibunya untuk menjaga Melati.

Aku sudah menyibukan diri melipat pakaianku dan Melati yang ada di atas tempat tidur. Untuk pakaian Mas Anang di cuci tangan dan di lipat sendiri oleh Ibu mertua. Awalnya aku sempat protes tentang hal ini pada Mas Anang. Seolah-olah Ibu mertua tidak mengijinkan aku menjalankan peran sebagai istri karena tidak puas dengan hasil kerjaku. Tapi, Mas Anang selalu membela Ibunya jika hasil pekerjaanku tidak sesuai dengan standar Ibunya. Sehingga Mas Anang keberatan jika untuk masalah pakaian dan makanan masih di urus oleh Ibu mertua. Dia tidak pernah mencoba untuk membelaku selama empat tahun lebih kami menikah.

Tidak lama kemudian aku mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mas Anang keluar dengan membawa bajunya. Mungkin dia akan mandi. Suara TV bergema di ruang tengah. Pasti Ibu mertua sedang menonton di sofa dengan camilan buah atau gorengan yang selalu di belikan Mas Anang setiap pulang kerja. Tapi, Mas Anang tidak pernah membelikan apapun untukku dan anaknya sendiri.

Tanpa sadar air mataku sudah menetes. Ya Allah jika dulu aku mendengar perkataan Papa dan Mama untuk mengurungkan niat menikah dengan Mas Anang, hal ini pasti tidak akan pernah terjadi. Setelah menikah dan sadar sifat Mas Anang yang sebenarnya, aku tidak kuasa untuk pulang karena terlalu malu pada Papa dan Mama. Pada saat itu aku juga sedang hamil Melati.

Akhirnya selama empat tahun lebih berumah tangga aku memilih mengalah. Demi kewarasanku agar tetap bisa menjaga Melati. Hanya adik perempuanku yang menjadi tempat curhat dan dengan sigap membantu jika aku butuh bantuan. Apalagi dalam merawat anak. Semakin besar Melati, semakin banyak biaya yang di butuhkan. Sedangkan aku sama sekali tidak punya uang selain gaji Mas Anang yang di berikan padaku sebesar dua ratus ribu saja untuk satu bulan.

Aku sudah memasukan bajuku ke dalam lemari saat Mas Anang masuk ke dalam kamar. Tidak ada percakapan di antara kami seperti pasangan suami istri pada umumnya. Satu tahun pernikahan kami di penuhi dengan pertengkaran membuatku sangat lelah baik secara fisik dan mental hingga mempengaruhi asi yang kuberikan untuk Melati saat itu. Karena khawatir dengan kondisi Melati, aku pergi ke puskesmas.

Dokter di puskesmas menyarankan agar aku jangan banyak pikiran. Sejak saat itu aku memilih tidak mau mengawali percakapan dengan Mas Anang dan Ibu mertua. Lebih banyak mengalah serta hanya menjawab seperlunya saja. Kadang aku mendebat mereka seperti tadi hingga terdiam. Membuat Mas Anang tidak lagi bisa membalas.

Setelah sholat maghrib denga Melati, aku mengajak putriku untuk makan malam di ruang tengah. Bukan di ruang makan yang menyatu dengan dapur karena aku tidak mau Melati merengek melihat menu makanan yang di masak oleh Ibu mertua untuk dirinya sendiri dan Mas Anang. Karena Ibu mertua pasti tidak akan mau membaginya dengan kami.

“Ibu baru buat hari ini ikan pepes kuningnya? Gimana enakkan, Nang?” Tanya Ibu mertua dengan suara yang di buat sekeras mungkin saat aku menyendokan nasi ke dalam piring.

“Enang banget Bu. Masakan Ibu memang paling enak.” Puji Mas Anang terdengar tulus. Sama sekali tidak menangkap maksud Ibunya yang ingin menyindirku.

“Iya dong. Nggak seperti istri kamu yang nggak becus masak. Nggak ada rasanya sama sekali.” Sindir Ibu mertua tanpa mau mengerem mulutnya.

Seperti biasa aku memilih diam. Dua piring nasi dengan lauk orek tempe sudah aku letakan di atas nampan. Kakiku segera melangkah menuju ruang tengah agar tidak terus mendengar perkataan Ibu mertua yang sangat menyakitkan.

“Makanya Ibu ajarain Harum masak lagi. Biar Ibu nggak ngasih uangg ke Harum setiap bulannya agar kita bisa irit.” Kata Mas Anang yang masih bisa kudengar saat keluar dari ruang makan. Dia memang membelaku karena tidak ingin pengeluaran untukku semakin banyak.

Ya Allah rasanya sakit sekali. Kutahan air mata yang sudah menggenang lalu mengusapnya dengan cepat setelah meletakan nampan di atas meja. “Kita makan sekarang yuk sayang. Ayo berdoa dulu.”

“Iya Bu.” Jawab Melati ceria lalu mengucapkan doa makan lebih dulu. Malam ini kami makan dengan menu sederhana. Orek tempe. Berbanding terbalik dengan Ibu mertua dan Mas Anang yang bisa makan dengan ikan kakap di pepes kuning. Lengkap dengan sayur bayam dan tempe.

***

Pagi harinya aku tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Mencuci peralatan masak yang di gunakan Ibu mertua semalam. Karena setiap pagi beliau lebih memilih membeli sarapan di warung tetangga. Tentu saja hanya untuk dirinya sendiri dan Mas Anang. Sedangkan aku dan Melati hanya bisa makan seadanya. Di pertengahan bulan seperti ini biasanya aku memilih tidak makan agar Melati bisa sarapan. Sekaligus mengirit uang pemberian Ibu mertua. Berbanding terbalik dengannya yang suka menghambur-hamburkan uang gaj Mas Anang.

Saat menegur tentang Ibu mertua yang terlalu boros pada Mas Anang, jawabannya dulu sangat menyakitkan hati. “Lah aku kerja buat Ibuku. Terserah dia mau menghamburkan uang juga. Tidak seperti kamu yang hanya orang lain dan kebetulan jadi istriku. Jadi, jangan protes tentang kebiasaan Ibu. Justru lebih baik kamu cepat mencari pekerjaan agar bisa membantuku dan Ibu.”

"Lalu, untuk apa kamu menikahiku Mas? Apalagi kamu sempat mengiba restu pada Papa dan Mama. Kalau tahu jika istri adalah orang lain, lebih baik kamu jangan menikah."

"Sudah berani melawan ya kamu." Bentak Mas Anang saat itu yang membuat Melati menangis keras di atas tempat tidur. Membuat Mas Anang menghentakan kakinya kesal lalu keluar dari kamar.

"Berisik." Gerutunya saat itu.

Aku tidak menuruti permintaan Mas Anang untuk mencari kerja karena saat itu umur Melati baru satu setengah tahun. Kutahan semuanya dalam hati agar Melati tumbuh bersama sosok Ayah. Sayangnya semakin Melati besar, sikap Mas Anang masih tetap acuh pada anak kami.

Sarapan telur dadar sudah siap. Aku segera masuk ke dalam kamar Melati untuk membangunkannya. Kutepuk bahu Melati yang tidur menghadao dinding. “Bangun sayang. Sarapannya sudah siap.”

“Eenngggh. Pusing Bu.” Keluh Melati dengan suara serak. Wajahnya tampak pucat dengan mata sayu.

Tanganku segera meraba kening Melati yang panas. Bibirnya juga tampak pucat sekali. “Kita ke rumah praktik dokter saja ya sayang.” Aku segera menggendong Melati lalu masuk kembali ke dalam kamar utama untuk mengambil hp dan dompet. Jam segini puskesmas belum buka. Antriannya juga pasti lama. Jadi, aku memilih untuk pergi ke rumah praktik dokter.

“Kamu mau pergi kemana sepagi ini Rum?” Tanya Mas Anang yang baru saja selesai mandi.

“Aku mau pergi ke rumah praktk dokter Mas. Badan Melati panas.” Mas Anang berdecak tidak puas.

“Kompres saja dulu pakai handuk basah. Jangan langsung bawa ke dokter. Buang-buang uang saja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status