Share

Bab 2

Deg

“Teganya kamu bicara seperti itu Mas? Melati sedang sakit. Aku juga pergi ke dokter dengan sisa uang pemberian Ibumu. Tidak minta lagi padamu seperti kemarin. Kalau terjadi sesuatu pada Melati bagaimana?” Balasku tidak terima. Melati sudah menangis di pelukanku dengan tubuh yang semakin panas.

“Salah kamu sendiri nggak becus ngurus anak sampai Melati sakit. Sudah jangan membantah. Kamu bisa kompres dahi Melati sekarang lalu siapkan tas kerjaku.” Perintah Mas Anang tidak mau di bantah. Ia justru dengan santainya memakai dasi di leher.

“Ya Allah Mas. Siapa sih yang mau sakit. Lagian aku cuma ijin sama kamu untuk bawa Melati pergi ke rumah dokter. Bukan minta uang lagi. Tenang saja, aku baru akan pergi setelah kamu berangkat kerja.” Seruku kesal tidak bisa menahan amarah. Setengah mengiba padanya agar mengijinkan kami pergi.

“Terus siapa yang akan membersihkan rumah ini kalau kamu hanya sibuk dengan Melati? Urusi pekerjaan rumah dulu. Nanti Melati juga sembuh sendiri. Awas saja kalau sampai Ibu lapor kamu bawa Melati pergi sebelum pekerjaan rumah beres. Akan aku usir kalian dari rumah ini.” Ancam Mas Anang tidak main-main lalu segera memakai celana kerjanya.

Aku hanya bisa duduk sambil memangku Melati di tepi tempat tidur. Dengan cepat aku mengusap air mata yang sudah keluar. Mau bagiaman lagi? Tidak mungkin aku terpaksa terus merepotkan Hanin yang juga sibuk dengan keluarga kecilnya. Jika sampai besok panas Melati tidak turun, maka aku sendiri yang akan membawanya pergi berobat tanpa harus ijin dulu pada Mas Anang.

"Tunggu di kamar dulu ya sayang. Ibu amblkan kompres." Melati hanya bisa menganggukan kepalanya dengan lemah.

Di dapur, Ibu mertua baru saja meletakan dua kantung nasi uduk yang di belinya dari warung depan. Tanpa menghiraukan keberadaan Ibu mertua, aku mengambil baskom lalu mengisi separuhnya dengan air panas di dispenser. Kemudian, air panas itu sedikit demi sedikit aku campur dengan air dingin hingga berubah menjadi hangat. Tidak lupa juga aku mengambil handuk kecil di kabinet dapur lalu mencelupkannya ke baskom itu.

"Siapa yang sakit Rum? Apa Anang sakit?" Tanya Ibu mertua dengan nada khawatir. Aku menggelengkan kepala sambil mendengus pelan.

"Bukan Bu. Melati yang sakit."

"Oh." Jawab Ibu mertua datar, Reaksinya sangat berbeda saat menyebutkan tentang Mas Anang tadi.

Selesai mengkompres dahi putriku, aku menyiapkan tas kerja Mas Anang lalu meletakannya di sofa ruang tengah. Tampak Mas Anang yang tengah makan nasi uduk dengan teh hangat buatan Ibu mertua. Mereka bedua berbincang hingga tertawa. Sama sekali tidak khawatir dengan kondisi Melati seperti aku. Saat air mata sudah menggenang, aku segera menghapusnya. Aku tidak boleh lemah di saat seperti ini.

Dengan cepat aku berjalan menuju dapur untuk mengambil nasi milik Melati. Mengabaikan Mas Anang dan Ibu mertua yang tengah membicarakan tentang cucunya yang lain. Padahal Melati dan keponakan Mas Anang sama-sama anak perempuan. Tapi, Ibu mertua memang hanya sayang dari cucu dari anak perempuannya saja. Tanpa memandang gender seperti kebanyakan kakek dan nenek yang hanya sayang dengan cucu laki-laki mereka saja.

"Makan dulu ya sayang. Biar cepat sembuh." Bujukku lalu membantu Melati duduk bersandar di dinding.

"Mulutku pahit Bu. Tenggorokanku juga sakit." Keluh Melati dengan suara yang masih serak seperti tadi.

"Waktu minum air tadi sakit juga apa nggak?" Melati menganggukan kepalanya. Perasaanku jadi semakin tidak enak.

"Ya sudah Ibu belikan bubur di luar dulu sama beli obat penurun panas di warung." Pirng itu aku bawa kelur lalu di letakan di meja tengah.

Kakiku dengan cepat pergi ke warung terdekat. Membeli bubur ayam yang mangkal di depan rumah tetangga lalu membeli obat penurun panas anak di warung. Tidak lupa juga aku memeriksa tanggal kadaluarsanya. Baru saja aku masuk ke dalam rumah, Mas Anang sudah siap dengan tas kerjanya.

"Kamu darimana saja Rum? Suami mau berangkat kerja bukannya di bantu untuk bersiap malah kelayapan." Omel Ibu mertua yang tengah menyodorkan sepatu kerja Mas Anang.

"Aku beli bubur ayam dan obat penurun panas untuk Melati Bu. Mas Anangkan sudah siap sama Ibu. Aku mau masuk ke dalam kaamr dulu biar Melati cepat makan."

"Halah, anak sakit gitu doang langsung beli obat." Cibir Ibu mertua dengan mata mendelik tajam.

"Ya iyalah Bu. Anak sendiri sakit pasti khawatir. Beda sama anak Ibu itu yang biasa saja waktu anak kandungnya sakit, tapi langsung khawati waktu dengar keponakannya sakit hingga ijin kerja demi mengantar cucu kesayangan Ibu itu ke rumah sakit." Sindirku tidak mau kalah yang membuat Mas Anang segera memegang tangan Ibu sebagai isyarat agar diam saja.

"Nah nggak bisa balaskan. Mungkin tiba-tiba Ibu jadi amnesia sama kejadian waktu itu." Sarkasku balik.

"Sudahlah Rum. Lebih baik kamu segera masuk agar Melati bisa makan. Asal kamu nggak minta tambahan uang kalau jatahmu habis."

"Iya Mas. Nanti aku pinjam adikku lagi kalau jatah uang darimu habis." Kakiku segera masuk ke dalam kamar.

"Kenapa kamu mengijinkan Harum pinjam terus ke adiknya Nang? Mau di taruh dimana muka kamu di depan keluarga Harum?" Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Ibu mertua yang memarahi Mas Anang.

"Didik dong istri kamu supaya bisa belajar hemat."

Aku sudah tidak memedulikan mereka lagi karena segera menyuapi Melati dengan bubur ayam. Putriku hanya mau makan tiga sendok saja. Setelah itu dia menggelengkan kepalanya. "Tenggorokanku sakit Bu."

"Ya sudah Ibu ambilkan minum dulu. Setelah ini minum obat biar panasnya turun."

Mas Anang sudah tidak ada di rumah saat aku keluar untuk mengambil air. Ibu mertua juga pasti sudah pergi ke rumah anak perempuannya yang jaraknya tidak jauh dari sini. Pergi shopping bersama. Kebiasaan mereka yang sudah aku hapal di luar kepala.

Setelah meminum airnya, Melati mau minum obat. Hingga hari menjelang malam, panas Melati tidak kunjung turun juga. Mas Anang dan Ibu mertua juga diam saja setiap aku berjalan melewati mereka. Mungkin masih teringat dengan ucapanku tadi pagi.

Keesokan harinya, panas Melati tidak kunjung turun. "Pagi ini aku mau bawa Melati ke puskesmas. Terserah Mas mau mengijinkan atau tidak." Ujarku begitu Mas Anang yang baru saja mandi, masuk ke dalam kamar.

"Tunggu sampai besok saja. Kenapa terburu-buru sih?" Aku menatapnya tajam karena dia juga tidak setuju seperti kemarin.

"Awas saja kalau kamu mau tetap pergi. Tanggung akibatnya." Selalu saja mengancam seperti itu.

Saat Mas Anang sudah keluar dari kamar, tanganku sudah meraih hp untuk mengirimkan pesan pada adikku yang bernama Hanin. [Tolong Mbak, Nin. Kamu bisa datang kesini dengan mobil? Tubuh Melati demam. Tapi, Mas Anang tidak mengijinkanku untuk membawa Melati ke rumah praktik Dokter. Mbak sangat khawatir karena tubuh Melati sudah panas sejak kemarin.]

Selagi menunggu balasan pesan dari Hanin, aku kembali mengompres tubuh Melati dengan air hangat yang baru lalu meninggalkannya sejenak untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang tertunda. Dengan cepat aku menyapu halaman depan dan rumah ini. Termasuk ruang makan yang merangkap dengan dapur. Tempat Ibu mertua dan Mas Anang tengah makan.

“Kamu ini nggak sopan banget Rum. Suami dan Ibu mertuamu sedang makan malah kamu menyapu sekarang.” Aku hanya melirik Ibu mertua sekilas lalu tetap melanjutkan pekerjaan.

“Melati sakit Bu. Mas Anang bilang aku tidak boleh keluar sebelum menyelesaikan pekerjaan rumah hari ini. Lebih cepat selesai, lebih cepat aku bisa membawa Melati berobat. Panas Melati belim turun sejak kemarin?”

“Jangan manjain anak deh. Baru sakit demam aja mau di bawa periksa. Tunggu sampai tiga hari kenapa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Mataku sudah panas menahan air mata yang hendak jatuh. Sebisa mungkin aku tahan agar mereka tidak melihatku lemah.

“Tentu saja aku sangat khawatir Bu. Namanya juga darah daging sendiri. Seharusnyakan lebih khawatir sama anak sendiri daripada sama keponakan.” Balasku dengan suara serak.

“Jangan minta uang pada Anang lagi. Kamu sendiri yang ingin membawa Melati berobat.” Aku menganggukan kepala tanpa ragu.

“Iya. Aku tidak akan meminta uang. Nanti aku akan berhutang lagi pada Hanin.” Jawabku sinis sambil menatap mata Mas Anang yang membelalak kaget.

Tanpa memberikan kesempatan mereka untuk menjawab, aku segera berjalan menuju ruangan belakang tempat mesin cuci berada. Mengambil cucian yang sudah di keringkan lalu menjemurnya di halaman belakang. Terdengar langkah kaki yang berjalan mendekat kini sudah berdiri di belakangku.

“Untuk apa kamu melibatkan Hanin lagi dalam urusan rumah tangga kita? Kamu mau citraku di mata orang tuamu jadi semakin jelek jika Hanin menceritakan hal ini pada orang tuamu?” Hardik Mas Anang dengan suara tertahan.

“Aku tidak akan menghubungi Hanin jika tidak berkaitan dengan keperluan Melati. Daripada aku menyesal jika terjadi sesuatu yang buruk pada Melati, lebih baik merendahkan diri dengan minta tolong.” Jawabku tanpa membalikan badan.

“Melati hanya panas biasa. Nanti juga akan sembuh sendiri.” Teriak Mas Anang tertahan menarik tanganku agar membalikan badan untuk melihat wajahnya.

“Benar. Karena itulah aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan anakku. Sama seperti kamu yang mengabaikan kami saat keponakanmu harus di bawa ke rumah sakit. Padahal hanya demam karena radang.” Teriakku keras menarik perhatian para tetangga yang juga sedang menjemut pakaian mereka.

“Kenapa kamu harus membawa keponakanku juga?” Wajah Mas Anang sudah terlihat panik. Karena Ibu-ibu yang seumuran dengaku menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan.

Aku mendengus tidak peduli lalu segera melanjutkan pekerjaan untuk menjemur pakaian ini dengan cepat. Mas Anang justru menjejalkan uang dua ratus ribu ke tanganku dan segera masuk ke dalam. Mungkin ia takut jika akan di amuk masa oleh para tetangga.

Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada keberadaan Ibu mertua yang biasanya sudah menonton TV di ruang tengah. Aku masuk ke dalam kamar Melati untuk mengambil hp jika ada balasan pesan dari Hanin. Kedua mataku sontak membulat saat tidak melihat keberadaan putriku di atas tempat tidurnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status