"Kamu udah ganti baju, Delima? Wah, cantik banget mantu, Mama." Mama tiba-tiba datang sambil tersenyum pada kami."Makasih, Ma," ucapku membalas senyumannya."Kok kamu ditinggal terus? Mana Silvi sama Raka?""Lagi ganti baju, Ma.""Panggilin sana! Acara sudah mulai ini," pintanya. Lalu pergi meninggalkan kami."Mas Deni, kalau begitu, Delima permisi dulu, ya."Aku izin pamit dan meninggalkannya. Lalu menyusul kembali ke lantai dua. Lagi-lagi aku tak sengaja mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu."Sabar, Sayang. Sabar. Kamu jangan marah-marah sama aku dong." Suara Mas Raka seperti sedang menenangkan."Sabar gimana? Belum apa-apa aja, Delima sudah dikasi kalung sama Mama."Aku terperanjat. Lalu memegangi kalung yang sedang aku pakai saat ini. Ternyata Mbak Silvi sudah menyadari. Tapi kenapa tadi dia diam saja, dan tak bertanya?"Kamu kan juga udah pernah dikasi, Sil. Berarti Mama berbuat adil, kan? Lagian, kamu sendiri yang memilih Delima untuk jadi menantunya. Kenapa sekarang
Aku menemani Mbak Silvi yang sudah mendapatkan penanganan di ruang IGD. Sementara Mas Raka menghubungi keluarga di luar ruangan."Sakit banget, Suster." Mbak Silvi kembali merintih. "Sebentar ya, Buk. Biar saya pasang infusnya dulu," jawab suster menenangkan. Aku hanya bisa melihat mereka menanganinya tanpa bisa berbuat apa-apa.Tak lama Mas Raka masuk dan langsung mendekati istrinya itu. Kata Dokter, kandungan Mbak Silvi yang baru berusia tiga minggu sangat lemah. Agak berbahaya jika terlalu stres dan banyak pikiran. Aku pun tak terlalu paham apa istilah yang kudengar dari Dokter tadi. Untungnya saat ini kandungannya tidak apa-apa, namun tetap harus menginap sampai keadaannya benar-benar pulih dan janinnya kuat.Mas Raka setuju saja. Asal istri dan anaknya baik-baik saja. Sampai di ruangan, aku membantu Mbak Silvi untuk menyeka badannya yang tadi sempat berkeringat. Hanya saja tak ada pakaian ganti yang bisa aku pakaikan. Betapa risihnya dia harus berbaring memakai terusan brokat s
Canggung juga rasanya berada dalam satu mobil bersama Mas Raka. Laki-laki yang menjadi suamiku, namun jarang sekali berbicara hal-hal tidak penting padaku. Padahal kalau sama Mbak Silvi dan keluarga lainnya, Mas Raka terlihat sangat ramah dan juga banyak bicara. Mungkin memang dia benar-benar merasa tidak nyaman saat bersamaku.Perjalanan kami terasa sangat kaku. Aku yang baru kali ini duduk sejajar dengannya di kursi depan, tak berani melihat. Hanya bersandar, dan membuang pandangan ke arah jendela."Kamu ngantuk, Delima?" Tiba-tiba saja suara Mas Raka menegurku. Aku yang sama sekali tidak menyangka langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya."Eh, enggak kok, Mas. Delima nggak ngantuk. Ada apa, Mas?""Nggak apa-apa kalau memang ngantuk. Hari ini kan kita semua memang capek. Nanti kamu tinggal aja di rumah. Biar Mas sendiri yang jagain Mbakmu."Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar saat dia berbicara padaku. "Nggak usah, Mas. Delima ikut aja. Nanti selesai mandi, dan m
"Eh, Maaf Dek. Mas masuk nggak ketuk pintu dulu. Mas tunggu di luar aja, ya." Mas Raka langsung melangkah keluar dengan cepat-cepat, dan kembali menutup pintu.Aku memegangi jantungku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang. Kenapa Mas Raka malah meminta maaf. Bukankah dia juga punya hak untuk melihatku. Lagi pula, tak seharusnya juga aku bersembunyi dan menutup erat tubuh ini.Usai berpakaian, aku segera keluar untuk menemui Mas Raka. Kulihat dia duduk sambil memainkan telepon genggamnya di ruang tamu."Eh, Dek. Kamu jadi ikut?" Mas Raka terdengar gugup dan salah tingkah. Dia pasti masih memikirkan hal tadi."Iya, Mas. Kasihan kalau Mama yang nungguin. Nanti Mama sama Mas Deni disuruh pulang aja. Delima udah biasa kok jagain pasien di rumah sakit. Dulu waktu Bue operasi, Delima juga, kok yang jagain.""Iya. Mas tau. Sekali lagi, terima kasih ya, Dek. Mas jadi merasa tidak enak sama kamu.""Nggak enak kenapa, Mas?" Apa dia masih ingin membahas soal di kamar tadi? Atau tentang niatnya m
Pagi ini aku membawakan semua keperluan Mbak Silvi. Mas Raka pun sudah izin tak masuk kantor. Katanya ingin memastikan istrinya baik-baik saja. Padahal aku sudah bilang untuk tak perlu khawatir, karena aku akan merawat Mbak Silvi dengan sebaik mungkin.Di sana aku kembali bertemu dengan Mama dan Mas Deni. Ternyata Mbak Dian pulang pagi-pagi sekali karena suaminya harus pergi ke kantor.Aku melirik ke arah Mbak Silvi yang masih terbaring lemah. Wajahnya lebih cemberut dari hari kemarin. Aku jadi semakin tidak enak dibuatnya."Ya udah, Ka. Mama sama Deni pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kamu kabari." Mama bersiap-siap untuk pulang."Dek, kamu ikut Mama sama Deni aja dulu cari sarapan, ya. Kan tadi belum sempat makan di rumah." Mas Raka memberi perintah. Sepertinya dia sengaja mencari alasan untuk menyuruhku keluar, dan membiarkan mereka berduaan.Entah apa lagi yang akan mereka bicarakan. Melihat wajah Mbak Silvi yang dari tadi tak tersenyum sedikit pun, aku yakin pasti Mas Rak
Aku tak mau lagi jadi duri dalam rumah tangga mereka. Meski miskin dan berasal dari kampung, aku masih tetap memiliki harga diri. Kalau seperti ini, baiknya aku saja yang mundur. Dari pada selalu berharap-harap cemas tentang keputusan mereka, yang bisa datang kapan saja untuk menendangku keluar dari kehidupan mereka.Baru saja aku ingin mengungkapkan semua yang aku dengar, tiba-tiba saja suara ponsel berdering. Sepertinya itu ponsel Mbak Silvi yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang.Mas Raka mewakili untuk mengambilnya. Mengernyitkan dahi karena tak ada nama pemanggil katanya."Angkat saja!" ketus Mbak Silvi masih dengan wajah cemberut. Lagi-lagi Mas Raka hanya menurut."Halo," sahutnya, sembari meletakkan benda pipih itu di telinga."Oh, iya. Ada, ada. Sebentar." Mas Raka menoleh ke arahku. Menyodorkan ponsel itu.Aku yang kebingungan, langsung menerimanya tanpa bertanya."Mbak Delima. Ini Sidik." Sidik? Oh, aku baru ingat. Nomor ini pernah kuberikan padanya jika ada perl
"Terima kasih ya, Delima." Mbak Silvi tersenyum saat aku mengantarnya berbaring di kamarnya. Sikapnya masih baik seperti di awal saat aku baru pindah ke rumah ini.Entah itu memang tulus, atau hanya kepura-puraan. Yang jelas, sikap dan gaya bicaranya sangat jauh berbeda saat kudengar dia membicarkanku dengan Mas Raka jika aku tidak ada.Dan kurasa, aku harus sering-sering menguping pembicaraan mereka, agar aku tahu dan selalu waspada dengan rencana mereka kedepannya.Sungguh, aku pun sudah tak betah berlama-lama tinggal di rumah ini. Ingin rasanya segera pergi dan mengakhiri pernikahan konyol ini."Iya, Mbak. Ini kan sudah menjadi kewajiban Delima mengurus Mbak Silvi sebagai seorang adik.""Mbak boleh minta tolong lagi nggak, Delima?""Bilang aja, Mbak. Delima bakal lakuin, kok.""Kamu nggak keberatan kan, kalau saat ini, Mas Raka tidur di kamar Mbak terus. Mbak nggak ada temennya. Takutnya kalau malam tiba-tiba terbangun dan butuh sesuatu."Ternyata benar. Kebaikannya memang karena a
Keesokan harinya aku pamit pada Mbak Silvi untuk keluar sebentar. Hari ini aku akan pergi ke Bank untuk membuka tabungan seperti yang diperintahkan oleh Mas Raka. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak ada alasan untuk menunda-nunda.Waktuku tak banyak berada di sini. Begitu Mbak Silvi mulai sehat, dia pasti akan segera menendangku dari rumah ini. Aku sengaja mengerjakan semuanya pagi-pagi sekali. Agar tidak terburu-buru, dan kebutuhan Mbak Silvi sudah kupenuhi.Aku tak lebih dari asisten rumah tangga, dan juga perawat pribadi baginya. Tapi tak mengapa. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini. Pekerjaan ini bahkan jauh lebih mudah dari pada yang kujalani di kampung sebagai buruh cuci di berbagai tempat."Delima janji akan pulang cepat, Mbak. Begitu selesai, Delima langsung pulang." Aku pamit pada Mbak Silvi yang sedang bersantai di ruang tivi. "Iya, Delima. Mbak bisa sendiri, kok." Sikap Mbak Silvi masih sama baik di hadapanku.Padahal tadi malam aku dengar sendiri kalau merek