Tanpa terasa enam bulan sudah aku kembali ke kampung. Kembali tinggal dengan Bue dan juga Sidik. Tak peduli lagi pada gunjingan tetangga dan warga sekitar atas statusku sekarang ini.Awal kepulanganku dulu, bisik-bisik mereka selalu terdengar. Katanya memang seperti itulah resiko menjadi wanita kedua. Hanya sebagai cadangan untuk bersenang-senang. Giliran bosan, pasti kembali ke pelukan istri pertama.Aku hanya diam, tak ambil pusing dengan pendapat mereka. Tak ada gunanya juga menceritakan hal yang sebenarnya. Asal Bue mengerti dan tidak terlalu memikirkannya hingga sakit, kurasa itu bukan masalah.Anggap saja memang ini adalah hukuman atas keserakahanku waktu itu. Lepas dari seorang pria beristri, malah berkhayal mendapatkan bujangan kaya raya.Tapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi bisik-bisik seperti itu kudengar. Semuanya seakan lupa, dan aku bisa menjalani kehidupan dengan normal kembali.Kini aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja dari pintu ke pintu untuk bekerja di rum
Biarlah hanya kami berdua yang tahu tentang semua ini. Seperti yang dia katakan, itu untuk yang terakhir kalinya. Kuberikan sebagai upah, atas apa yang dia berikan selama ini. Dengan begitu, nantinya dia hanya akan mengingatku sebagai wanita bayaran saja. Yang bisa dia cumbu tanpa hati, dan juga rasa cinta.Aku harus benar-benar terlihat murahan di matanya.*"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba ninggalin Mas seperti ini?" Mas Deni begitu syok saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya untuk berpamitan."Maafin Delima, Mas. Delima bukanlah wanita yang baik untuk Mas Deni." Lagi-lagi aku membatukan hati agar tak lagi goyah.Berbicara dengan Mama pun rasanya hati ini sudah akan luluh melihat kekecewaan di wajahnya. Apa lagi saat berbicara dengan Mas Deni. Aku harus benar-benar bisa mengendalikan diriku. Rasa sakit yang aku rasakan tak boleh terlalu nampak. Aku lebih memilih Mas Deni kecewa dan membenciku saja, dari pada harus menangis dan mengiba, memohon agar aku tetap tinggal."Sampai h
Mataku menghangat melihat orang-orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku merasa ini seperti sebuah mimpi. Aku berdiri terpaku dengan air mata yang mulai mengalir.Lalu tiba-tiba saja tubuhku direngkuh dan masuk dalam pelukan hangatnya."Mama?" Aku menangis sesenggukan."Iya, sayang. Ini Mama," ucap wanita yang sudah setengah tahun ini tak pernah lagi kutemui. "Kamu sehat-sehat aja kan, Delima?"Aku makin sesenggukan melihat sikap pedulinya. Lalu aku juga merasakan tangan seseorang ikut menyentuh dan mengusap bahuku. Benarkah apa yang sedang kulihat saat ini?Aku melepaskan pelukan Mama. Lalu menatap satu persatu wajah mereka yang ikut berkunjung ke rumahku."Mbak Silvi?""Iya, Delima. Mbak datang." Wanita yang pernah menamparku saat terakhir kali bertemu ini, tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.Lalu kulihat Mas Raka dan Mas Deni tampak berdiri sejajar. Sepertinya semua orang sudah baik-baik saja. Dan mereka semua terlihat akur.Pasti sudah banyak hal yang terjadi selama aku tak a
"Ba_bagaimana, Say... eh,... Delima?" Mas Deni tampak takut-takut menanyakan itu padaku. Aku kembali terdiam. Masih syok dengan semua ini. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Membuatku bingung harus bertanya mulai dari mana.Lalu Mas Raka meminta sesuatu pada Mbak Silvi. Dengan senyum kebahagiaan Mbak Silvi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dikeluarkan sebuah amplop ke tangan Mas Raka."Ini, Dek." Mas Raka menyodorkan kertas itu ke atas meja. Dengan ragu aku mengambil dan melihat apa isinya."I_ini?" Air mataku tumpah seketika."Iya, Dek. Itu surat cerai yang kamu inginkan. Kamu sudah bebas sekarang."Rasa di hatiku kini bercampur aduk tak menentu. Ada perasaan sedih, bahagia, juga lega."Jadi, gimana, Dek? Mas sendiri yang melamar kamu untuk Deni. Kamu mau, kan?"Aku menatap mereka semua secara bergantian. Lalu mengangguk."Iya, Mas. Delima mau.""Alhamdulilah...." Semua orang di ruangan ini mengucap syukur.*****Akhirnya hari bahagia yang dinantikan semua orang terjadi juga. M
“Mas, akhirnya aku hamil, Mas. Aku hamil.” Tanpa sengaja aku mendengar ungkapan kebahagiaan dari Mbak Silvi.Tadinya aku bermaksud mengetuk pintu untuk memberitahukan bahwa makan malam sudah siap. Namun belum sempat tanganku mendarat di pintu, terdengar lagi suara itu.“Sebaiknya kamu ceraikan saja Delima, Mas. Kita udah nggak butuh dia lagi.”Deg!Astaghfirullah alaziim. Kenapa sampai hati dia mengatakan hal sekeji itu. Padahal dia sendiri yang memohon dan memaksaku agar mau menikah dengan suaminya. Jelas-jelas aku dan Mas Raka sama-sama sudah menolak dan menganggap permintaan dia itu terlalu berlebihan dan tidak masuk akal.“Apa-apaan kamu, Silvi. Jangan seenaknya saja kalau ngomong. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Apa kata keluargaku nanti? Juga bagaimana dengan keluarganya?” Suara Mas Raka terdengar tegas menolak. Membuatku merasa sedikit lebih tenang.“Halah. Ngapain kamu pikirin. Orang kampung begitu aja kok. Dikasi duit dikit juga udah nurut. Lagian kan kalian belum melakuk
Masa depanku pun kelihatannya hanya begini-begini saja. Apa yang bisa aku lakukan dengan ijazah SMP. Hanya sebentar saja aku menikmati bangku SMA, lalu tiba-tiba Bapak jatuh sakit dan aku terpaksa berhenti sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga. Bue yang sering sakit-sakitan tak kuat lagi untuk bekerja.Tapi harga diriku sebagai wanita, jauh lebih tinggi dari itu semua. Akhirnya aku benar-benar menolak tawaran itu. Mbak silvi terlihat sangat kecewa. Tapi apa mau dikata. Tak ada kewajibanku untuk menuruti keingananya yang kuanggap tabu itu.Namun takdir sepertinya punya rencana lain. Jantung Bue kumat dan harus dirawat ke rumah sakit. Operasi pun jalan satu-satunya. Dalam tangisan dan perasaan kalut, Mbak Silvi muncul lagi dan menawarkan bantuan. Dengan imbalan pernikahan pastinya.*Satu bulan pasca operasi, aku dan suaminya akhirnya melangsungkan ijab kabul. Hari itu juga aku baru melihat laki-laki yang baru saja sah menjadi suamiku datang bersama istri dan juga keluarganya. Di
“Mbak mau bicara apa?” Bibirku bergetar mempertanyakan hal yang pasti sudah aku tahu.Namun, sanggupkah ia melakukan semua ini padaku? Pada sesama wanita yang dia bilang sudah seperti adik baginya?“Begini, Delima. Saat ini Mbak itu sedang....”“Sayang.” Suara Mas Raka tiba-tiba terdengar dan muncul mendekati kami. “Mama mau ngomong sama kamu, nih,” ucapnya pada istrinya sembari memberikan ponsel yang sedang menyala.Mbak Silvi terlihat panik, lalu dengan cepat meraih ponsel itu.“Iya, Ma.”"Iya, iya."“Besok Silvi dan Mas Raka akan datang lebih awal.”“Delima?” Dia melirik ke arahku. “Iya, iya. Pasti silvi ajak dong, Ma. Dia kan juga istrinya Mas Raka.” Aku melihat mimik wajahnya yang sepertinya sedang kecewa. Entah apa yang mereka bicarakan barusan. Dia menarik napas setelah panggilan dimatikan. Lalu kembali menoleh ke arahku.“Mbak tadi mau bicara apa?” tanyaku sembari menatap wajahnya dan Mas Raka secara bergantian.“Oh, itu.” Mbak Silvi kembali memasang senyum manis. Tak seperti
“Wah, kamu rajin sekali, Delima." Mama mertua tersenyum ramah padaku."Nggak papa, Ma. Dari pada bengong nggak ada kerjaan," sahutku dengan sopan."Sudah, bantu seadanya saja. Lagian ngapain kamu bengong-bengong. Mana Suami kamu sama Silvi? Kok dari tadi nggak keliatan. Bukannya bantu-bantu, malah ngilang.""Ada kok, Ma. Tadi Delima lihat mereka di ruang keluarga.""Oh, ya sudah. Ikut Mama, yuk. Mama mau ngasi sesuatu sama kamu.""Iya, Ma." Lagi-lagi hanya itu yang aku ucapkan tanpa bertanya ke mana dan mau diberi apa.Aku mengikuti Mama dari belakang. Melewati ruang keluarga dan kembali melirik ke arah mereka. Segera kualihkan pandangan begitu saja karena tak ingin merasakan sakit yang sama."Nanti ganti pakai seragam ini, ya. Berikan juga sama Silvi. Kemarin baru selesai dijahit. Jadi nggak sempat ngirim buat dicobain. Sekalian itu batik, kasi sama suamimu."Aku menerima tumpukan baju berbahan brokat dari tangan Mama. Kainnya bagus dan terlihat mahal. Aku merasa tersentuh diperlakuk