KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAH
Kisah Masa Kecil Yang Suram
Part 6
"Mengapa Mas Dewa bisa bersikap seperti itu, Dek Ratih?"
"Dingin ya, Teh, macam es balok." Ratih lantas tertawa, begitu pun Zhalika, merasa lucu dia, mendengar julukan yang Ratih berikan kepada Sadewa.
"Jahat ih kamu, sama abang sendiri juga?"
Ratih malah semakin tertawa terbahak, sembari sesekali memperhatikan kaca spion, dia menjalankan kendaraannya pelan-pelan saja.
Malam sudah semakin larut, jalan raya pun sudah terlihat lengang.
"Bang Dewa, walaupun sikapnya kaku, tetapi tidak sombong kok Teh. Bertanggung jawab dan sayang dengan keluarga, apalagi sama ibu. Ratih sedari kecil belum pernah melihat Bang Dewa membantah apa yang diperintahkan ibu. Makanya tadi dia sangat marah, kan, saat melihat Bang Bisma berbicara keras sama ibu," jelas Ratih.
"Iya, Dek, terus terang saja, bikin takut Teteh tadi," jawab Zhalika, terus terang.
"Tidak menyangka saja, jika Mas Dewa bisa semarah itu kepada adik kandungnya sendiri," jelas Zhalika lagi.
"Abang memang seperti itu, Teh. Dia akan marah jika melihat aku ataupun Bang Bisma berbicara dengan nada keras kepada ibu."
"Kaku gitu yah, macam opak singkong," canda Zhalika, dan itu membuat Ratih tertawa geli sekali. Suasana keakraban benar-benar sudah terjalin di antara kedua perempuan muda tersebut, padahal belum sampai setengah hari mereka saling mengenal.
"Abang Dewa memang keras, tetapi tidak berani bersikap dan berkata kasar sama perempuan, karena Abang merasa sedari kecil sudah diurus dan dirawat baik sama ibu, yang nyatanya memang perempuan." Ratih kembali tertawa, sementara Zhakila hanya tersenyum tetapi lalu tertawa pelan.
"Kami ditinggalkan Bapak saat Bang Dewa berusia tujuh tahun, Bang Bisma tiga tahun, dan aku masih di dalam perut ibu, saat usia kehamilan tiga bulan," jelas Zhalika.
"Masa kecil Bang Dewa habis buat membantu ibu mencari uang, Teh. Menurut cerita ibu daripada dia bermain dengan kawan sebayanya, Abang malah sibuk mencari uang dengan menjadi semir sepatu ataupun berdagang koran setiap sebelum ataupun sepulang sekolah."
Ratih terdiam, begitupun Zhalika.
"Terkadang ibu membuat kue-kue untuk didagangkan di depan rumah, sebagian dijual secara keliling oleh abang. Ibu bilang, sedikit pun Bang Dewa tidak pernah meminta upah, ataupun mengambil keuntungan dari dagangan ibu. Ratih bangga punya Abang seperti Bang Dewa, Teh," jelas Ratih lagi, matanya sudah terlihat berkaca-kaca.
"Bang Dewa tidak mau kuliah, tetapi Abang malah membiayai kuliah aku dan Bang Bisma sampai lulus. Abang banyak mengorbankan kehidupannya untuk kami semua Teh." Air mata mulai turun dari sudut netranya, tetapi cepat-cepat dihapus oleh Ratih.
"Maaf Dek, jika teteh boleh tahu, almarhum bapak meninggal kenapa, sakit kah?" tanya Zhalika, sedikit penasaran dia, ingin mengetahui penyebab dari kematian suami dari Ibu Daisah.
Air matanya malah semakin banyak yang keluar, genangan air di bulat matanya benar-benar terlihat jelas, lalu mengalir perlahan di pipinya, dan kali ini dibiarkan saja oleh Ratih. Sesekali terdengar suara isakannya.
"Maafkan Teteh jika malah membuat Dek Ratih bersedih. Lupakan saja, tidak usah dijawab jika begitu," ucap Zhalika, sedikit menyesali diri ia, karena pertanyaannya, malah membuat adik bungsu dari Sadewa itu malah semakin bersedih.
"Ayah mati karena dibunuh, Teh," jawab Ratih, mulai menangis terisak ia, dan Zhalika mengusap-usap punggung badan Ratih, lalu dia pun ikut menangis. Yah, Zhalika bisa merasakan kesedihan seperti yang Ratih rasakan, karena dia pun sama seperti Ratih. Bukan hanya belum pernah melihat ayahnya, bahkan seperti apa wajah ibunya pun Zhalika tidak tahu. Dua perempuan muda ini menangis bersama di dalam mobil.
Ratih lantas meminggirkan mobilnya ke sisi jalan. Masjid Ar-Rahmah sudah terlihat kubahnya, sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat kost Zhalika, tetapi Ratih malah mematikan mesin kendaraannya, dan langsung memeluk Zhalika erat. Sebuah kesamaan perasaan yang membuat keduanya menjadi mudah dekat.
"Ratih mohon, jadilah bagian dari keluarga Ratih ya, Teh. Terserah Teteh mau memilih Bang Dewa ataupun Bang Bisma, karena ibu pun sepertinya sudah sangat sayang sama Teteh."
"Insya Allah, Dek, semoga Allah menunjukkan jalan, siapa yang harus teteh pilih."
"Insya Allah, sepengetahuan Ratih. Bang Dewa ataupun Bang Bisma, sama-sama menghargai wanita, dan tidak pernah mempermainkan perasaan perempuan," jelas Ratih, dan Zhalika hanya tersenyum, sembari sibuk menghapus basahan air matanya dengan tissue. Lalu tiba-tiba Ratih kembali berucap.
"Bang Dewa menyaksikan sendiri saat peristiwa penculikan dan pelaku pembunuhan ayah, Teh."
"Astagfirullah Al adzim ...."
"Tetapi karena alasan bukti tidak cukup, dan keterangan saksi di bawah umur dianggap tidak kuat, maka penyelidikannya pun dihentikan," jelas Ratih lagi.
"Ko bisa, Dek."
"Entahlah Teh, jika menurut cerita ibu dan Bang Dewa, si pembunuh itu menggunakan uang dan kuasanya untuk menyuap oknum-oknum yang berwenang, hingga kasus pembunuhan ayah itu tidak pernah sampai ke pengadilan."
"Orang kuat ya, berarti?"
"Ketua preman di kota ini, Teh."
"Berarti pelakunya ada di kota ini juga?" tanya Zhalika lagi, Ratih mengangguk pelan.
"Kata Bang Dewa, pembunuhnya adalah Gamal, ketua geng Serigala api."
"Kenapa bisa membunuh, ayah?"
"Soal itu Ratih tidak tahu, Teh. Tetapi jika ibu bercerita, ayah mempunyai bukti-bukti yang kuat, jika Gamal itu sebagai pemasok narkoba di kota ini, karena profesi ayah saat itu adalah seorang wartawan."
"Semoga Ayah Dek Ratih ditempatkan di tempat yang terbaik oleh Allah Subhanallahhu Wataala."
"Aamiin ya Allah."
Ratih kembali menjalankan kendaraannya, dan hanya beberapa saat langsung tiba di depan kost-kostan Zhalika.
"Dek Ratih mau mampir dulu ke dalam," ajak Zhalika kepada Ratih, saat mobil Ratih berhenti tepat di depan rumah, dan Zhalika hendak turun dari kendaraan.
"Lain kali saja ya, Teh. Sudah malam juga," jawab Ratih, sembari melihat jam pada handphone-nya, yang tadi dia letakkan di atas dasboard kendaraannya.
"Ya sudah jika begitu, hati-hati bawa kendaraannya," pesan Zhalika kepada Ratih
"Iya, Teh." Mereka pun saling berciuman pipi, dan Ratih sempat menahan saat Zhalika hendak turun.
"Jadilah bagian dari keluarga Ratih, ya, Teh," pinta Ratih sekali lagi.
"Insya Allah, Dek." Senyum lembut kembali tergambar pada raut wajah Zhalika.
Zhalika lalu segera turun dari kendaraan, belum masuk ke dalam rumah, Zhalika menunggu sampai mobil Ratih tidak terlihat lagi, dan malam terlihat sudah semakin larut. Baru saja Zhalika hendak masuk ke dalam pagar halaman rumah, sebuah motor tiba-tiba berhenti di depannya. Ternyata Ustazah Rosmini dan suaminya. Ustazah senior di kampung ini. Menatap Zhalika dengan pandangan yang tajam.
" Assalamualaikum, Ustazah," sapa Zhalika kepada Ustazah Rosmini, yang masih terduduk di atas boncengan.
"Kum salam," jawabnya ketus, tidak ada senyum sama sekali.
"Kelakuan yang tidak pantas. Guru ngaji sih pulang tengah malam begini?" Senyum sinis terlukis di wajahnya.
"Saya barusan--"
"Sudahlah, jangan banyak alasan. Guru ngaji tetapi tidak memberikan contoh yang baik."
"Tapi Ustazah, saya--"
"Ayuk jalan, Bi," ujar Ustazah Rosmini kepada suaminya, dan langsung pergi meninggalkan Zhalika, tanpa diberikan kesempatan untuk menjelaskan.
"Astagfirullah Al adzim," ucap Zhalika lirih. Lalu mulai masuk ke dalam, sembari menutup pintu pagar halaman.
Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.
Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa
4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil
Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany
Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s
Suara mobil dan motor terdengar di pagi hari ini selepas Sholat Subuh. Zhalika masih saja melantunkan bacaan ayat kitab suci Al-Qur'an, sebuah rutinitas pasti jikalau tidak sedang datang bulan. Dan Zhalika baru saja menyelesaikan bacaannya. Menutup kitab suci, dan meletakkannya di atas pangkuan, lalu terdiam mengingat kejadian semalam di rumah Hajah Daisah. Semalam, sepulang dari rumah Sadewa. Zhalika langsung terlelap, karena memang terbiasa tidur tidak terlalu malam, selepas Salat Isya pun Zhalika biasanya langsung tidur.Semalam, jam setengah empat Zhalika sudah me
"Mungkin sebagian untuk membeli perlengkapan buat sang mayit, Buk," jawab Zhalika, walaupun sebenarnya tidak akan habis seperempatnya dari jumlah uang yang diberikan tersebut."Tidaklah Ustazah, uang itu khusus buat biaya memandikan dan mengkafaninya saja, sedangkan perlengkapan kebutuhan mayit, macam kain kafan dan lain-lain, tetap dari keluarga si mayit," jelas Bu Deden. Zhalika terdiam."Maaf ya Ustazah jika saya lancang bertanya, tarif Ustazah berapa untuk memandikan dan mengkafani orang yang meninggal?" tanya Bu Heni, dan sem
Ceu Entin langsung berdiri dan memeluk Zhalika yang masih terduduk di tempatnya, bahkan ingin berlutut di kaki ustazah muda tersebut, tetapi Zhalika cepat-cepat mencegahnya."Tidak boleh seperti itu Ceu, berterima kasih dan bersujud-lah kepada Allah. Sekali lagi, saya hanya perantaranya saja.""Saya benar-benar mengucapkan terima kasih ya, Ustazah, satu beban sudah terlepas dari pundak saya. Sedih rasanya, jika untuk memandikan jenazah ibu pun, saya harus berhutang." Tangisnya tak jua berhenti.Ibu Hajah Rosna pun ikut berlinang air mata, tersenyum penuh arti, menyaksikan adegan mengharukan di depan matanya. Seorang wanita muda dengan segala keterbatasannya, mau membantu walaupun dirinya sendiri kekurangan.Zhalika segera mempersilahkan Ceu Entin untuk duduk kembali. Dia sendiri yang memasukkan uang yang dia berikan ke dalam amplop