Share

Bab 2. Flashback

Malam itu sekitar jam setengah sembilan malam, Mas Ezran pulang. Kudengar suara mobilnya masuk ke carport. Aku hanya bergeming di depan kaca rias sambil menyisir rambut.

“Di mana, Laras, Ma?” tanya Mas Ezran dengan cerianya seolah telah mendapatkan kabar bahagia. Ia tidak tahu saja, kesedihan yang telah putrinya rasakan kini karena ulah ayahnya. Aku membutuhkan waktu lama untuk menenangkan Laras dan memastikan dia tidur malam ini.

Aku diam seribu bahasa. Tak menjawab apa pun yang suamiku tanyakan. Mas Ezran pun menghampiri dengan tatapan heran.

“Ma. Ayah dari tadi tanya di mana Laras? Biasanya dia akan menyambutku saat pulang ke rumah. Tapi, kali ini enggak. Apa dia sakit?” tanya Mas Ezran membuatku menganjurkan napas.

Aku berbalik sembari menatap suamiku lamat-lamat dengan pandangan tajam menusuk.

“Kamu sudah melanggar janjimu. Mas pikir, untuk apa aku selama ini hanya diam ketika kamu bilang mencintai wanita lain? Itu semua hanya untuk Laras, Mas. Aku hanya tidak mau putriku melihat orang tuanya bertengkar gara-gara orang ketiga. Aku hanya ... tidak ingin Laras tahu kamu sudah berselingkuh dan membuatnya terluka,” ungkapku bergetar di akhir kalimat.

“Maksudmu apa, Sayang?” tanya Mas Ezran seolah tidak mengerti yang kuucapkan, membuat diriku seketika mencebik serta menatap sinis suamiku. Lagi pula, semakin hari aku semakin jijik mendengarkan kata ‘Sayang’ yang terucap dari mulut pengkhianat seperti dia.

“Habis dari mana kamu Mas dengan wanita itu hari ini? Tahukah kamu, Mas. Apa yang telah putri kita lihat tadi siang?”

Mas Ezran hanya menggeleng sambil menatapku seolah meminta penjelasan.

“Jangan berbelit-belit seperti ini. Langsung saja katakan yang sebenarnya. Aku capek!” sergahnya tidak sabar.

“Capek menyenangkan jalang itu maksudnya, Mas?”

“Hentikan, Ras. Jangan pernah mengatakan yang tidak baik mengenai dia. Kamu tidak ingat kalian bersahabat sekian lama,” tutur Mas Ezran membuatku seketika tertawa miris.

Ya.

Wanita yang menjadi selingkuhan suamiku tidak lain adalah Sinta, sahabat baikku sendiri. Bahkan, hubungan kami seperti saudara kandung. Namun, itu dulu, sebelum aku mengetahui pengkhianatan mereka. Aku memergoki Mas Ezran mencium kening Sinta, saat aku berniat mampir ke rumah sahabatku itu.

“Apa-apaan kalian ini!” teriakku hingga membuat Sinta dan Mas Ezran menoleh. Mereka sepertinya terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba.

“Kenapa? Kaget aku di sini? Aku sungguh berterima kasih kepada Pak Bryan yang sudah menitipkan sesuatu untukmu Sinta. Makanya aku mampir ke sini. Dan apa yang kulihat ini? Sebuah kejutan.” Aku menggelengkan kepala sambil bertepuk tangan. Meski kuyakin wajah ini sudah memerah dengan mata yang mulai meredup.

“Sayang ....” Suamiku menjauh dari tubuh Sinta dan berusaha mendekat ke arahku. Namun, diri ini mundur beberapa langkah.

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, Mas! Aku jijik mendengar kata-kata itu keluar dari pengkhianat macam kamu!” teriakku namun terdapat getaran di tiap katanya.

“Ras, kumohon jangan begini. Biar kami jelaskan semuanya,” Sinta ingin meraih tanganku. Akan tetapi, segera kutepis.

“Jangan sentuh aku! Tidak ada lagi yang harus kalian katakan sekarang. Semuanya sudah jelas kalau kalian hanya pengkhianat!”

Aku hendak berbalik ke dan meninggalkan mereka dengan amarah yang memuncak. Tak mungkin tetap di sini lebih lama lagi. Kalau tidak, aku tak menjamin bisa menahan semua amarah di dada ini. Namun, seketika bibirku kelu, tanganku mulai bergetar dan mengepal dengan kuat sampai kuku di jari menusuk kulit hingga terasa perih ketika mendengar ucapan Sinta.

“Kami saling mencintai, Ras. Bisakah kita saling berbagi Mas Ezran?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status