Juun membelalakkan matanya, terkejut jika sang ibu mempertanyakan hal seperti itu padanya. Namun dengan cepat dia memahami situasi yang terjadi. Dirinya paham, jika ini adalah ketakutan sang ibu yang tidak ingin putranya jatuh ke lubang dosa. Apalagi dirinya jauh dari pengawasan orang tua.
"Bismillah ... insyaAllah, tidak, Ummi!" sahut Juun dengan tegas."Alhamdulillah ....'' ucap ummi Fatimah, merasa lega setelah mendengar ucapan sang putra. Ummi Fatimah kemudian memberikan nasihat, meskipun Juun jauh dari kedua orang tua, dan bahkan orang tuanya tidak bisa mengawasi selama 24 jam, Ummi berpersan untuk tetap menjaga diri. Sejatinya, ada Allah SWT yang menjadi Penjaga Terbaik, Penjaga sebenar-benarnya dan tidak ada satu pun manusia yang luput dari pengawasannya. “Jadi, Ummi mohon, jaga kepercayaan Abi dan Ummi? Jaga Marwah kamu sebagai seorang Ikhwan sejati dan jaga tingkah lakumu sebagai umat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Ingat pesan Ummi ya, Anak Sholeh?" lanjutnya kembali seraya mengusap pipi kanan sang putra. Sembari menatap teduh padanya.Juun menganggukkan kepala, tanda dirinya mengerti jika sang ibu berharap besar padanya. "In syaa Allah ... Ian siap, Ummi!" sahut Juun sembari tersenyum manis kepada sang ibu, yang dibalas senyum serupa oleh ibunya. "Soal Abi, bagaimana, Ummi?"Juun merasa khawatir. Pasalnya tadi siang saja, sang ayah sudah menegur dirinya di hadapan Nami. Meskipun hanya memanggil namanya dengan nada tegas, tapi dirinya sangat mengetahui, jika sang ayah sedang marah padanya."Soal Abi, kamu tenang saja. Nanti Ummi yang bantu jelaskan, ya?" ucap Ummi Fatimah berusaha menenangkan kekalutan sang putra."Iya, Ummi," sahut Juun lega."Ya sudah, sekarang, lebih baik kamu tidur. Sudah malam, nanti kamu tidak bisa terbangun saat tiba waktu shalat tahajud.""Baik, Ummi. Assalamualaikum," ucap Juun sembari berdiri, kemudian berjalan meninggalkan sang ibu menuju kamarnya guna beristirahat."Waalaikum salam."**Tepat pukul 04:00 wib, nampak ummi Fatimah mengetuk pintu kamar Juun."Assalamualaikum, Anak Sholeh Ummi ... bangun yuk, Nak ... shalat bareng!" panggil ummi Fatimah dari luar pintu kamar."Waalaikum salam. Iya, ummi!" sahut Juun dari dalam.Tak lama kemudian, pemuda itu keluar sembari menenteng sejadah di tangan kanannya. Tak lupa membawa tasbih digital yang melingkat di jari telunjuk tangan sebelah kanan.Disambut sang ibu dengan senyum, yang dibalas senyum serupa oleh Juun. Pemuda itu tak lupa mencium punggung tangan ibunya yang dibalas dengan usapan lembut di bahu sang putra. Setelahnya baru Juun berlalu dari sana, menuju musala keluarga.Kemudian Ummi Fatimah berjalan menuju pintu kamar Aisyah, guna membangunkannya pula."Assalamualaikum, sholehah Ummi ... bangun, Nak, yuk!" panggil sang ibu dari depan pintu yang dia buka sedikit. Kepala wanita paruh baya itu melongok ke dalam. Terlihat jika Nami masih tertidur pulas, sedangkan sang putri nampak tidak terlihat, tapi samar terdengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Nampaklah sang putri keluar dari sana dengan sebagian rambut basah terkena air wudhu."Waalaikum salam, Ummi," sahut Aisyah sembari mencium punggung tangan ibunya. Dibalas sang ibu dengan usapan lembut di kepalanya. "Ayo kita shalat!'' ajak Ummi Fatimah sembari tersenyum lembut, yang dibalas senyum serupa pula. Wanita paruh baya itu selalu mengajak kedua anaknya agar melaksanakan shalat sunnah tahajud dan shalat sunnah witir berjamaah di musala rumah, jika keduanya sedang berada di rumah seperti saat ini. Lain hal jika saat Juun di Jepang, sedangkan Aisyah di pondok pesantren. Maka, cukup dia mengingatkan keduanya lewat telepon.Kesibukan di luar sana membuat Nami ikut terbangun. Gadis itu kebingungan karena melihat mereka semua nampak ramai berseliweran. "Maaf, kalian sedang apa?" tanya Nami terbata-bata, karena masih canggung saat berucap dalam bahasa Indonesia.Ketujuh orang yang sedang menggelar sajadah masing-masing menoleh ke arah Nami yang berdiri di depan pintu kamar Aisyah. Gadis berpiyama lengan panjang serta celana panjang itu pun mengucek-ngucek matanya disertai kuapan besar, tanda dirinya masih mengantuk.Aisyah—adik Juun, yang kebetulan berdiri paling belakang dan paling dekat dengan Nami sontak berjalan mendekati teman kakaknya. "Afwan, oni-chan ... kami mau shalat sunnah tahajud dan shalat sunnah witir. Oni-chan mau ikut?"Aisyah tersenyum manis. Kali ini terlihat jelas wajah manis gadis remaja itu, karena dia tidak mengenakan niqabnya. Nampak lesung pipi menghiasi kedua belah pipinya, disertai alis tebal, pipi kemerah-merahan, bibir pink alami, serta mata yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu sipit. Gadis remaja dengan tinggi 150 cm itu nampak mengenakan mukena berwarna biru navy."Shalat, ya?" tanya Nami dengan logatnya yang khas. "Iya! Oni-chan mau ikut?" tanya Aisyah dengan penuh semangat. Wajahnya nampak semringah, penuh dengan energi positif, sehingga membuat Nami pun ikut tergugah dibuatnya."Bolehkah?"“Bolehkah?” Nampak sekali Nami takut mengganggu kegiatan beribadah keluarga Juun, jika dia bersikeras untuk ikut. Aisyah yang mendengarnya sontak berbalik menghadap sang Ummi, kemudian bertanya dengan nada yang sangat ceria. "Ummi, Oni-chan mau ikut belajar shalat. Boleh tidak?" Ummi Fatimah tersenyum lembut ke arah keduanya. "Ma syaa Allah ... tentu saja boleh." Beliau pun melanjutkan, "Sekarang bantu, Oni-chan berwudhu dan bersiap-siap. Ummi, Abi dan yang lain akan shalat sunnah dua rakaat dulu, baru kalian menyusul ya?" Nampak Nami maupun Aisyah tersenyum bahagia mendapatkan respon positif dari sang ibu. Begitupun dengan Juun yang nampak ikut bahagia mendengarnya. Hanya Namira serta orang tuanya—paman dan bibi Juun—yang nampak kesal.Namun, mereka tidak berani berkata apa-apa, karena mau bagaimana pun, mereka bekerja di bawah naungan Abi Rahmat dalam bidang konveksi. Abi dan Ummi memang memiliki usaha konveksi pakaian syar'i serta alat shalat dan perlengkapan haji yang terkenal
Selepas Namira pergi, Nami pun mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Dia berusaha menghubungi Devina, tetapi ternyata yang mengangkat justru bocah berusia 7 tahun yang memiliki wajah begitu tampan. "Moshi-moshi!" sapa Danryuu dari seberang dengan suara imutnya. Nami terkekeh geli melihat Danryuu dan wajahnya yang lucu. “Moshi-moshi!" sahut Nami balik, tersenyum manis. "Mama Ryu di mana?" tanya Nami kembali. "Sebentar aku panggil, Nami-chan!" Nampak layar handphone bergoyang ke sana kemari, seiring langkah si bocah yang berlari mencari ibunya. "Mama ... Nami-chan nyari Mama!” Suara menggema Danryuu terdengar melalui sambungan telepon Nami, membuat wanita itu terkekeh geli. "Danryuu ... sudah Mama bilang, jangan panggil Nami-chan? Dia seusia Mama, Sayang. Panggil bibi, ya?" Suara Devina yang gemas menyahuti anaknya terdengar frustrasi mengingatkan sang anak untuk memanggil Nami dengan sebutan Bibi. Kekehan Nami semakin tak terhenti. Apalagi saat mengingat bocah tampan itu
Wajah Abi Rahmat tampak memerah, menahan geram akan ulah putra kesayangannya, yang sudah berani melanggar perintah agama.Apalagi dirinya dan sang istri, sudah sangat memberikan penjelasan sedetail mungkin tentang hukum halal dan haram kepada putra putrinya. Bahkan Juun sempat bersekolah di pondok pesantren selama 4 tahun lamanya, jenjang Diniyah dan Tsanawiyah. Saat Aliyah saja dirinya bersekolah di luar negeri, yakni Tokyo - Jepang karena mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar dari bupati setempat."Tolong jelaskan pada Abi, apa maksud dari perbuatan kalian barusan?" Tanya Abi Rahmat, memulai pembicaraan, menatap tajam kearah Juun, yang menundukkan kepalanya, malu kepada keluarganya karena dirinya telah mencoreng nama baik keluarga. Meskipun tidak sampai berbuat yang tidak-tidak, namun tetap saja, berhasil membuat malu dirinya sekeluarga yang di kenal taat dalam agama."Maaf, Abi," ucap Juun lirih, menyesali perbuatannya yang mudah terbawa suasana."Kenapa kamu melakukannya?" Tanya
POV JuunAku tidak menyangka hal ini akan terjadi.Gadis yang ku cintai, terpaksa pergi meninggalkan ku.Semua ini karena kesalahanku yang suka terbawa suasana, jika sudah bersamanya.Gadis supel nan periang, yang selalu mewarnai hari-hari ku selama 7 tahun ini, akhirnya terpaksa kembali ke negaranya dengan sejuta luka dan tangis, akan ketidakberdayaan ku. Pemuda culun nan bodoh.Meskipun awalnya, aku tidak memiliki rasa sedikitpun dengannya, namun melihat keceriaan dan kebaikan yang selalu dia tawarkan, di kala gundah ku, akhirnya membuatku mencintainya, meskipun aku tau, jika untuk bersamanya, akan banyak rintangan yang menghadang.Apalagi, aku tau, jika kedua orang tua ku, tidak mungkin memberikan restu, jika keadaan kami masih senantiasa berbeda seperti ini."Ian!" Panggil Ummi sembari menyentuh pundak ku. Membuatku tersentak dari lamunan."Iya, Ummi," sahutku lembut, seraya tersenyum pada beliau. Karena mau bagaimana marahnya aku, tetap aku tidak mampu menyakiti surgaku ini. Karen
POV JuunBaru satu hari Nami pulang ke negaranya, aku sudah merasa seperti satu tahun lamanya.Kangen...Aku rindu padanya.Membuatku jadi teringat obrolan dengan sahabatku Ryu di waktu dulu. Saat dirinya ditinggalkan oleh Devina pergi begitu saja, tanpa jawaban, setelah dirinya melamar.Yang tentu saja sempat ku ledek, ketika melihat wajah frustasi dari sahabatku kala itu. Padahal dia sempat berkata, jika Devina sebelum kepergiannya waktu itu, sempat berkata jujur, jika dirinya juga mencintai sahabatku itu.Flashback on"Hei, kamu baik-baik saja?" Tanyaku pada Ryu yang ku lihat asyik meneguk minuman beralko**l di club, tanpa merespon ucapanku sedikit pun, bahkan dirinya juga tidak merespon saat ada seorang wanita berpakaian sek** menggodanya."Pergi kamu, dasar jal***! Aku benci wanita jal***!" Makinya kesal, mendorong tubuh wanita itu yang duduk di atas pangkuannya.Alunan musik terdengar begitu memekakkan telinga. Membuat telingaku menjadi pengang, apalagi saat melihat di sekitar, o
Setelah selesai membantu Ummi dan Aisyah yang berkemas, karena sebentar lagi mau pulang ke pesantren, aku pun bergegas menemui Namira, karena penasaran ingin tahu apa yang mau dia bicarakan. "Adek mau ngomong apa?" Tanyaku pada Namira, yang duduk di kursi. Membuat gadis itu menoleh ke arahku sebentar, kemudian menundukkan wajahnya kembali."Hmmm ... Itu bang, Mira mau nanya? Tapi Abang jangan marah ya?" Ucap Namira malu-malu. Bahkan dirinya menggoyangkan bahunya, membuat keningku berkerut heran. Tetapi enggan bertanya."Tanya saja?!" Sahutku cepat-cepat ingin menghentikan diskusi ini."Hmmm ... Mira ingin tahu, temen Abang yang di bawa itu siapa?" Tanyanya, sedikit menatapku kemudian menundukkan wajahnya kembali."Ya, temanku. Kenapa?" Tanyaku bingung, tidak mengerti arah pembicaraan."Iya ... Aku tau! Maksudnya itu, temen dalam arti apa bang? Orang spesial kah dia? Gitu???" Sahutnya dengan bibir mengerucut. Namun tidak terlihat dari balik niqab yang gadis itu kenakan. Merasa sedikit k
Bandar Udara Narita, pukul 08.00 waktu setempat.Dengan langkah gontai, Nami berjalan dari arah gerbang arrived, menuju ke lobi, dimana terlihat sang sahabat bersama putranya Danryuu, datang menjemput.Setelah sebelumnya, Nami menghubungi Devina, guna menjemputnya. nampak pula di belakangnya, Reiko serta Wisnu beserta putra mereka, Inoue yang kini berusia 5 tahun."Vina-chan!" sapa Nami dengan gurat sendu. yang di balas Devina dengan merentangkan tangannya. Nami pun bergegas masuk kedalam pelukan sang sahabat, yang kini menangis tersedu-sedu."Sudah! Tidak apa-apa. Kamu kuat!" ucap Devina, menenangkan."Nami-chan kenapa menangis?" celetuk Danryuu, menarik ujung jaket yang Nami kenakan.Sontak Nami dan Devina saling melepaskan pelukan mereka. sembari mengusap air mata, Nami sedikit membungkukkan badannya, menatap kearah Danryuu, yang mengulurkan tangannya, meminta di genggam.Nami menurut, menggenggam tangan Danryuu, sembari mengulas senyum tipis."Jangan nangis, Nami-chan! jika kamu be
"Pagi, dokter Okahara!" Sapa suster Mitsui, adik dari dokter Reiko, dengan ceria. Saat dirinya berpapasan dengan Nami di parkiran rumah sakit.Nami yang baru keluar dari dalam mobilnya, sontak menoleh kebelakang, "Pagi, Mitsui-chan!" Balas Nami, tak lupa tersenyum manis pula padanya."Dokter hari ini tugas pagi?" Tanya Mitsui kembali, matanya berbinar-binar, seraya mendekap buku jurnal keperawatan di dada, sementara tas ransel berwarna hitam, tercangklong di punggungnya."Huum! Iya!" Jawab Nami lugas, berpaling sebentar, menutup pintu mobil, tak lupa menguncinya. Setelahnya memasukkan kunci ke dalam tas tangannya. "Apa yang sedang kamu cari?" Tanya Nami, bingung, saat melihat Mitsui nampak celingak-celinguk, seolah mencari keberadaan seseorang atau sesuatu."Dimana, Kakak?" Tanya Mitsui, heran."Siapa? Ryu?" Tanya Nami balik, bingung akan pertanyaan yang di berikan oleh Mitsui."Bukan ... Juun-kun! Dimana dia? Bukankah, kalian selalu berdua?" Tanya Mitsui dengan mata berbinar.Nami pun