"Ka Ar-ga!" ucap mereka bersamaan.
"Sepertinya, tadi kudengar namaku disebut. Ada yang bisa aku bantu?"
"Su-dah lama Ka Arga di situ?"
"Lumayan."
Aku tahu mereka sedikit terkejut dengan keberadaanku. Mereka terlihat sedikit salah tingkah.
Aku tak boleh secepat ini memberi mereka pelajaran. Setidaknya kuikuti dulu permainan mereka perlahan-lahan.
"Ayo, ngomong!" Samar-samar kudengar Eka berbisik dan menyolek adiknya kemudian pergi begitu saja.
"Bagaimana - Ada yang bisa aku bantu?" Menunggu jawabannya.
"Mmm, lusa aku mau ulang tahun. Jadi, aku boleh request hadiah kan?" ucap Rita yang mulai berlagak sok imut di depanku.
"Hadiah?"
"Iya. Aku mau kado ultahnya jam tangan merek Olivia Burton bermotif kupu-kupu."
Mendengar permintaannya membuatku sedikit menelan ludah. Itukan jam tangan yang lumayan gak murah harganya. Sebenarnya, aku bukan tak ingin memberinya, tapi karena tidak ingin membuatnya terbiasa selalu meminta.
Dulu sebelum nikah dengan Luna, aku sering membawakan mereka oleh-oleh tas dan jam tangan bermerek sesuai request mereka yang sering kubelikan saat bepergian ke luar negeri. Bahkan, setiap aku datang ke rumah. Kini, aku baru tahu, mereka hanya ingin memoloroti-ku.
"Kuberitahu Luna dulu, ya," ucapku.
"Kok, beritahu Luna segala sih, Kak?"
"Yah, gimana pun juga Luna harus tahu. Dia kan istriku," ucapku tak acuh.
Kulihat wajahnya mulai cemberut. Hatiku sedikit tertawa riang melihat ekspresinya.
Kuraih gawai di dalam saku dan menelepon Luna.
"Halo! Assalamualaikum. Lun, jangan lupa sebelum pulang belikan jam tangan Olivia Burton bermotif kupu-kupu, ya." Sengaja kutekan loud speaker agar kedengaran olehnya.
"Wait, untuk siapa lagi?"
"Untuk Rita. Lusa kan dia Ultah!"
"Loh, kemarinkan sudah aku berikan hadiah, tas Gucci sesuai permintaannya. Katanya, mau dipakai langsung. Jadi, langsung aku kasih tanpa menunggu hari Ultahnya."
Mataku sedikit melirik ke Rita dengan ekspresi seakan terkejut.
"Oh, gitu!"
"Kalau gak mau beri, ya udah. Dasar pelit! Aku bisa beli sendiri, kok," sela Rita cemberut.
Ia pun berjalan meninggalkanku sambil mendengus kesal.
Bruk!
Bunyi pintu ditutup dengan kasar.
Akhirnya, keluar juga sikap aslimu perlahan, gumamku sambil tersenyum.
Sebenarnya, aku sudah tahu kemarin ia meminta hadiah ke Luna untuk ulang tahunnya. Luna memberitahukannya padaku sebelum membeli barang tersebut. Jelas, Luna tak ingin disebut istri yang tak baik karena menggunakan uang tanpa sepengatahuanku.
Uang hasil jualan setiap hari di kedai milik mereka, sangat banyak. Namun, biasanya diambil oleh mereka tanpa meninggalkan sepersen pun. Bahkan, Luna tak pernah digaji atau diberi imbalan. Bagi mereka, numpang hidup dan dibesarkan oleh keluarganya sudah cukup bagi Luna untuk bersyukur.
Entah, bagaimana keluarga ini berpikiran seperti itu. Menggunakan tenaga orang sepenuhnya untuk kesenangan mereka dan berfoya-foya. Hasil jerih payah orang, mereka gunakan untuk memenuhi gaya hidup sosialita mereka yang terkesan memaksakan.
**
Waktu sudah mendekati isya, tapi Luna belum juga datang. Aku memustuskan untuk menjemputnya saja dari pada menunggu di rumah. Mungkin saja dia masih sibuk.
Benar saja. Setelah tiba, aku terperanjat melihat Luna yang sibuk bolak balik mengantarkam makanan. Namun, yang membuatku tak habis pikir, orang yang diantarkan makanan bukan pelanggan, tetapi mereka, Rita, Eka dan ibunya, dan ditemani oleh teman-teman sosialita mereka. Pemandangan yang sangat tak beradab.
Bukannya kedai ini milik mereka. Kenapa bukan mereka sendiri yang menyediakan makanan?
Sepintas aku dengar dan lihat mereka sibuk membahas produk-produk terbaru. Entah, produk apa. Mereka bergantian menatap layar gawai sambil sesekali menggerakkan jari telunjuknya.
"Assalamu alaikum," ucapku.
Tak ada jawaban dari mereka. Perlahan aku berjalan masuk. Samar-samar, kudengar suara seseorang di antara mereka yang bertanya.
"Dia iparmu kan? Ganteng juga!"
"Iya, tapi kere dan juga pelit," jawab Rita. Dari suaranya dapat aku kenali.
"Haha ... makanya cari ipar kayak saya. Tiap saat dikasih kejutan. Pasti ada aja hadiahnya."
"Wah, keren juga ya, iparmu!"
"Iya, dong. Tau gak hadiah anniversary-ku?"
"Gak ...."
"Tuh, mobil yang kubawa."
"Wah, jadi mobil yang kaubawa, hadiah dari iparmu?"
"Jelas, dong!"
"Wah, aku mau dong calon kayak gitu. Cariin, ya!"
"Banyak ... Ntar kukenalin, ya."
"Oke. Gak sabar!"
"Aku juga, ya," sahut Eka.
Aku hanya menggeleng kepala. Mereka sama saja. Ternyata, memiliki teman itu takjauh dari sikap sendiri. Suara mereka terlalu besar dan dapat didengar dari jauh. Untung saja semua pelanggan malam ini sudah tak ada.
**
"Kak Luna, cepatan dong bangun! Aku mau sarapan."
"Iya, Dek. Sebentar, ya!"
Aku terbangun dari ngantuk karena teriakan anak itu. Aku tertidur karena membaca buku. Dan takingat sudah berapa lama.
Masih pagi sudah teriak! Kenapa selalu menggantungkan keperluan mereka sama Luna. Bukannya mereka sudah besar?
"Cepatan dong! Lama banget, sih."
"Iya, sebentar."
Luna mendekatiku, "Ga, gak ke kantor? Sudah pagi."
"Agak siang ke kantor. Ada yang ingin aku kunjungi dulu hari ini."
"Oh, ok. Aku ke bawah dulu, ya."
"Okay."
**
Setelah selesai dari kunjunganku siang ini, aku langsung pulang ke rumah. Aku kesulitan memarkirkan mobil karena ada sebuah mobil terparkir begitu saja di depan rumah - taktahu mobil siapa. Aku baru melihatnya.
"Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam."
Tumben wajah mereka sangat tidak bersahabat denganku hari ini. Ada apa ini?
"Kenalkan, ini Fisal - calon mantu mama."
"Halo, saya Fisal. Saya seorang manager."
"Oh, ya! Saya Arga."
"Dia seorang manager di perusahaan Global Company," sambung Eka dengan menjelaskannya padaku.
Aku taktahu apa maksud mereka sangat antusias memperkenalkan orang baru ini padaku.
"Global Company?" tanyaku.
Manager bagian apa, ya. Kok saya tidak pernah mendengar nama Fisal di perusahaan yang saya pimipin itu. Wajahnya pun kurang familiar. Atau mungkin saya kurang teliti.
Tapi, okelah. Sepertinya dia juga tidak mengenalku.
"Oh, ya. Aku hampir lupa! Aku bawa oleh-oleh untuk mama dan juga Rita," ucap lelaki itu.
"Serius!" ucap Rita yang mulai tersenyum. Semenjak aku datang, ia malas melirik ke arahku.
Dasar, mendengar oleh-oleh sangat antusias!
"Mama juga, ada? Wah, makasih ya! Kamu memang calon mantu mama yang sangat aku idamkan," ucapnya sambil melirik ke arahku.
Aku hanya terdiam melihat pemandangan aneh di depanku. Luna juga, sepertinya malas melihat tingkah kedua saudari dan ibu angkatnya tersebut. Mungkin kelelahan menunggu mereka. Entah, sudah berapa lama mereka duduk di sini.
"Iya, dong. Mama kan spesial. Makanya Ma, lain kali hati-hati cari calon mantu. Kan kasian kalau hanya PHP atau baik di awal aja," ucap lelaki tersebut seakan menyindirku.
Aku sedikit mengernyitkan dahi. Belum jadi mantu, sudah berasa paling terbaik aja nih cowok!
Aku pamit dari mereka sebentar hendak ke kamar. Segera kuhubungi kepala divisi di perusahaan untuk memastikan apakah benar ada seorang manager atas nama Fisal.
"Halo, tolong cari atas nama Fisal. Apakah benar dia bekerja di perusahaan kita?" Aku menelepon seseorang diseberang.
"@$#&*."
"Baik, kalau begitu suruh dia menghadap ke kantor besok pagi."
***
Bersambung...
"Tolong beritahu dia menghadap ke saya besok."**Pagi ini aku sangat terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Luna juga kuajak ke kantor. Akan tetapi, ia akan menyusulku setelah pekerjaannya di rumah dan kedai selesai.Ingin sekali kukenalkan padanya tentang pekerjaan dan tugas seorang sekretaris. Agar ia bisa membantuku memantau saham dan perkembangan pasar. Mungkin saja dia tertarik suatu saat nanti. Namun, tidak untuk saat ini. Luna belum siap dirinya dikenalkan ke keluarganya bahwa ia istri seorang CEO."Eh, Bro. Kamu bekerja di sini juga?" Segera kubalikkan badan. Nada suara itu sepertinya kukenal - pernah kudengar."Iya, anda juga bekerja di sini?" tanyaku padanya meskipun aku sudah tahu ia bekerja di salah satu cabang dari perusahaan ini."Masih ingat dengan saya kan?""Iya, masih. Anda Fisal kan?"&n
"Kau bilang belum selesai? Ini bagianmu lagi," ucapku dan melayangkan tinjuku berikutnya.Ia pun jatuh tersungkur tepat di bawah kakiku kemudian bangkit."Sudah Ga. Tak baik dilihat karyawan yang lain." Luna makin panik. "Satpam, tolong bawa dia keluar dari sini.""Baik, Non!""Hei, apa-apaan ini!" Fisal berusaha melepaskan genggaman satpam. "Tolong lepaskan!""Maaf, Pak. Anda harus kami bawa keluar. Dilarang membuat kegaduhan di sini," ucap satpam tersebut."Kau tak tahu aku siapa, hah? Aku Fisal, manager di Devisi Marketing. Mengerti?"Aku dan Luna saling berpandangan kemudian menggeleng kepala. Entah, sudah ke berapa kesekian kali mendengar kata itu."Maaf, Pak. Saya tidak mengenal anda. Saya hanya menjalankan tugas saya di sini."Kami pun tersenyum geli."Kubil
Mataku membulat, melihat Fisal keluar dari kamar. Jadi, Fisal tidur di rumah ini semalam? Dan itu kamar Rita ...! Arghh, denyut kepalaku terasa pusing memikirkan ini! Masih pagi, tetapi sudah disuguhi praduga yang membuat kepalaku pening. Kulihat ia hanya menyunggingkan senyum melihatku kemudian merenggangkan ototnya. Gegas, kubalik ke kamar dan menanyakan hal ini ke Luna. Jelas saja, Luna tak tahu masalah itu dan ia baru tahu kalau tidak kutanyakan. Bahkan, Luna melarangku untuk memperpanjang masalah ini. "Tapi, tak boleh dibiarkan seperti itu, Lun. Ntar, dia kebiasaan dan tak baik untuk keluarga ini nantinya," ucapku yang tak terima dengan usulannya. "Sudahlah, Ga. Siapalah kita ini di mata mereka. Bahkan mungkin kita dianggap mencampuri urusan mereka kalau dipermasalahkan," ujar Luna menenangkan. "Kau kan bisa memberitahu Eka dan Rita dengan baik. Bagaimanapun juga mereka adik-adikmu walaupun adik angkat." "Iya, lain kali akan aku coba. Aku ke bawah dulu ya, mau nyiapin sara
Bab 6 Plak! Bunyi tamparan keras. Aku terperanjat mendengar teriakkan Luna. Gegas kubangkit dan keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Kau pikir kau siapa, hah? Berani sekali menamparku," teriak Fisal. "Ada apa, Lun?" tanyaku seraya mendekatinya. Seketika ia menghamburkan tubuhnya kepelukanku dan terisak. Kuarahkan pandanganku ke lelaki tak bermoral itu. "Dengar ya, aku tak punya masalah denganmu. Berani-beraninya kau lecehkan istriku," ucapku geram. Kini, aku sudah berada di hadapan lelaki itu. Mataku memerah, menatapnya tajam. Gigi gerahamku saling bergesekan. Satu-persatu jemariku mengepalkan tinju. Gegas kutarik dan melayangkan pukulan hingga tubuhnya terhempas ke bawah. Ia pun jatuh tersungkur. Berani-beraninya dia melecehkan istriku. "Ka Arga?" Teriak Eka yang baru saja ikut bergabung dengan kami di dapur. Bu Mega dan Rita berhamburan juga- mendekat untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tatapan mereka mengarah ke kami, bergantian. "Ada apa
Kuputuskan mendobrak pintu kamar. Tak ada cara lain. Kuulangi berkali-kali mendobrak dengan bahuku seperti kesetanan hingga akhirnya, Braak! Pintu terbuka. Seketika aku bergeming dari tempatku berdiri, mematung setelah apa yang kulihat. Mataku membulat. Lututku lemas bak tak bertulang. Tak terasa butiran embun di netraku seperti berkaca-kaca. Akhirnya, tubuh ini ambruk di atas lantai dalam keadaan berlutut. Apa yang terjadi denganmu sayang? Luna, aku tak bisa hidup tanpamu, Lun! Kupaksakan kaki ini bangkit kemudian mendekatinya, "Luna, ini aku sayang. Kau baik-baik saja kan?" Luna masih meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk kedua lututnya seperti ketakutan. Kenapa jadi seperti ini sama Luna-ku. "Luna ... sadar, Lun." Segera kumemeluknya. "Ga!" "Iya, ini aku, sayang!" Hatiku merasakan damai saat ia berada dalam dekapanku. Seminggu tidak mendengar sapaannya terasa lama sekali. Tak akan kubiarkan Luna terlalu lama seperti ini. ** Setelah Kunjungan kami ke psikiater b
Mendengar ucapan Fisal membuatku makin berpikir. Apa maksud dalam kendalinya dan siapa yang dia maksud? Mungkinkah keluarga ini yang dia maksud. Kuputuskan untuk balik ke kamar sebelum ia sadar dengan keberadaanku. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya tentang ucapan tadi. Apa sebaiknya kuberitahu esok hari. Bagaimanapun Bu Mega harus tahu. Akan tetapi bila kuberitahu, mereka akan menganggapku menghasut. Atau menuduhku ingin menggagalkan rencana pernikahan tersebut. Ah, sudahlah! Sebaiknya kuurungkan saja. Lagi pula, aku belum punya bukti yang cukup. "Yang, aku harus pergi ke kantor pagi ini." Aku telah siap dengan pakaian yang rapi pagi ini. "Kau bisa melakukannya sendiri kan di kedai?" tanyaku ke Luna. Sejenak ia berpikir kemudian menjawab, "Iya, aku bisa." Dengan senyum hambar yang entah tak bisa kuartikan apa maksudnya dan nada suaranya terdengar ada keraguan yang kutangkap. Aku belum berani apa yang sebenarnya Fisal lakukan hingga membuatnya trauma bekerja sendiri di dapur ata
"Tolong beritahu seluruh direksi bahwa acara promosi jabatan dialihkan ke pesta pernikahan Fisal dan Eka. Jangan lupa buat susunan acaranya sekalian!" "Baik, Bos. Jadi ...." "Ya, aku ingin proses pemecatannya di acara pernikahannya sendiri." "Laksanakan, Bos. Saya izin keluar sebentar." Iwan bergegas keluar dari ruangan kemudian mengambil gawainya, hendak menghubungi semua direksi dan beberapa orang yang sudah kuberitahu sebelumnya. "Silakan," jawabku. Sejenak kumenatap undangan pernikahan tersebut. Tertulis nama 'Fisal Pratama dan Freska Ariska'. Ku menghela napas panjang dan mengembuskan kembali sambil membayangkan bagaimana raut wajah mereka nanti. Setelah selesai pertemuan dengan Iwan, kumemutuskan pulang ke rumah. Sepertinya, Luna telah lama menungguku. Mobil terus melaju, membelah jalan raya. *** "Ka Luna, tolong dong ambilin air hangat!" seru Rita. "Ka Lunaaaa ... Tolongin dong." "Iya, Dek. Sebentar!" "Kenapa gak ambil sendiri, Rit?" ucapku yang baru saja dari kamar ke
"Surat keputusan pemberhentian karyawan. Nama-nama tersebut adalah Fisal Pratama dan Freska Ariska." Entah, bagaimana menggambarkan raut wajah Fisal dan Istrinya, hitam legam atau merah padam? Semua bercampur menjadi satu padu. Begitu juga raut wajah Rita yang dipoles make-up mewah, hasil dari nyalon berubah memerah seolah telah memakan cabe sekilo. Gadis kecil yang masih usia belia, tetapi sikapnya yang sangat tidak santun itu layak mendapatkan pembelajaran seperti ini. Bukan hanya dia, tetapi mereka semua. Aku harap mereka menyadari akan sikap semena-menanya terhadap orang. Bukankah saling menghargai jauh lebih indah. Karena kita di mata tuhan, sama. *** Setelah memberi sambutan dan membacakan surat keputusan, aku dan Luna bergegas pulang. Acara masih tetap berlangsung meskipun tanpa kedua mempelai dan kami. Aku terburu-buru menyalakan mobil dan mengendarainya. Mobil terus melaju melewati hiruk pikuk kendaraan hingga akhirnya kami pun tiba di rumah. Aku tak dapat memarkirkan m