Aku lelah menghadapi mereka yang tak punya otak. Suami malas, keluarganya pun terus merongrong aku. Dipikir aku sapi perah mereka apa?
Mulai sekarang sepertinya aku harus tegas menghadapi mereka. Aku bangkit untuk mandi dan salat subuh. Aku menoleh sebentar, melihat Mas Reno asyik tertidur. Bagaimana mau menjemput rezeki kalau tidur baru jam tiga pagi asyik bermain game Online.
Kubangunkan salat saja tak akan bangun. Pantas rezeki kabur darinya dan berimbas padaku. Gemas aku sama keluarga Mas Reno. Biarlah suatu saat dia akan menyesal membuat aku menderita.
Setelah mandi aku bergegas membuat sarapan untuk diri sendiri. Tak seperti biasa aku selalu membuatkan untuk Mas Reno, kali ini biar saja dia kelaparan. Mungkin dia akan kenyang dengan hanya bermain game online.
Aku bisa bayangkan jika dia membuka tudung nasi hanya ada sebuah kertas dariku.
'Maaf, Mas, uangku habis. Kamu cari makan sendiri, ya. Seperti aku mencari makan untuk diriku sendiri.'
Untuk saat ini aku puas dan tak bisa membayangkan pula ekspresi wajah suamiku. Pasti dia marah besar, lalu mengadu pada ibunya. Biar saja, semoga Mas Reno sadar dan mau mencari pekerjaan yang layak.
"Mas, aku jalan kerja dulu," panggilku pelan.
"Hmm ...."
Benar, kan, dia hanya menjawab seperti itu. Boro-boro mau mengantar aku, kadang pulang saja malah orang lain yang menawarkan aku. Masih bersyukur aku memandang dirinya, kalau tidak lumayan tumpangan juga, tak ke luar ongkos.
Tak penting juga aku memikirkannya. Mulai sekarang tak ada yang gratis. Aku tak mau menyetok makanan. Biar si Rena tak ke rumah menghabisi stok makananku.
Belum juga sampai kantor sebuah pesan masuk dari Rena. Anak itu tak pernah di ajarkan sopan santun.
[Mba, hari ini gajian, kan? Aku nanti minta buat beli buku. Kata Mas Reno, sekarang kalau minta untuk kebutuhan aku sama Mba Widya. Karena uang Mba juga uang Masku.]
Ck! Apa-apaan ini? Enak saja minta uang padaku. Uangku, ya, uangku. Bukan uang Kakaknya. Seenak jidat aja mengklaim semuanya.
Aku tersenyum tipis saat di kepalaku muncul ide bagus. Lihat saja kalian jika ingin meminta uang akan kubuat kalian bekerja keras.
Aku memasukkan kembali ponsel ke tas dan cepat berlalu dari rumah sebelum Mas Reno bangun dan sadar tak ada makanan di rumah.
---Chew Vha----
[Kamu mau buat aku mati kelaparan?]
Akhirnya sebuah pesan masuk dari Mas Reno membuat aku tertawa lebar. Selama ini aku sudah tahan dengan perlakuannya. Sekarang, kubuat kamu berpikir.
[Wid, kamu nggak sayang aku lagi sampai tega nggak buat sarapan?]
Cinta? Dia pikir selama ini karena cinta dia bisa buat aku menderita? Punya pikiran buntu sekali Mas Reno.
[Aduh, Mas, makanya cari Kerja.]
Pasti pas aku pulang nanti lebih parah marahnya. Tak masalah, biar kapok jadi laki-laki masa mau enaknya aja.
Waktu menunjukkan pukul 12.00. Perutku sudah terasa lapar, begitu juga Nina yang sudah menunggu di ambang pintu kantor.
"Makan siang apa?"
"Lihat aja nanti."
Aku dan Nina bergegas ke kantin kantor. Beberapa karyawan sudah memenuhi tempat ini, aku memindai sekeliling ruang mencari bangku kosong untuk kami duduk.
"Di sana," ajakku pada Nina saat melihat bangku kosong.
Nina mengikuti aku, sepertinya aku harus makan banyak untuk mengumpulkan tenaga untuk berdebat dengan Mas Reno.
Mumpung gajian tak ada salah memanjakan diri sendiri. Nanti lebih baik aku mampir ke salon, merelakskan otak kepala. Dari pada uangnya untuk mereka yang hanya menadah.
"Wid, ada lowongan buat OB. Suamimu mau nggak, tuh?"
"OB di mana?" tanyaku berbalik.
"Di lantai 10 CV Prima. Kalau mau aku punya kenalan di sana."
"Aku tanya Mas Reno dulu."
"Alah, urgen mah nggak usah tanya. Langsung suruh datang bawa CV aja. Dari pada kamu jadi tulang punggung suamimu dan keluarganya. Aku sih ogah."
"Iya."
Nafsu makanku jadi mendadak hilang mendengar penuturan Nina. Mau taruh di mana wajahku saat dia bicara menyedihkan seperti itu.
"Aku salah ngomong, Wid?"
"Eh--nggak, kok. Bener sih, tapi jangan gitu. Aku berasa jadi orang bodoh selama ini."
"Nah, itu tahu."
Nina memang hobi mengutarakan langsung apa yang ada di pikirannya. Akan tetapi, jangan seperti itu juga terus terang membuat aku merasa bodoh selama lima tahun menjalani pernikahan dengan Mas Reno.
Ah ... sudahlah, kuhabiskan makanan ini. Namun, bagaimana nasib suamiku? Apa aku tidak terlalu keras padanya? Apa dia makan sekarang?
"Jangan melamun, wanita itu diciptakan menjadi tulang rusuk, bukan tulang punggung. Aku sih kalau jadi kamu mending gugat cerai. Cari suami baru yang kaya."
Lagi, aku hanya bisa tersenyum miris mendengar penuturan Nina. Enak jadi dia, kalau ngomong asal jiplak tanpa pikir panjang dan pikir apa orang itu tersinggung atau tidak. Lihat, lahap sekali dia makan tak berpikir perubahan wajahku yang masam.
Aku merasa tertampar dua kali oleh temanku ini. Ibu satu anak itu memang selalu seperti itu, tapi apa yang diutarakannya selalu benar. Ya, contohnya kali ini.
"Iya, Nin, kalau aku cerai carikan aku jodoh kaya, ya."
"Siap. Tenang, mau model apa? Sama Pak Erlan juga bisa kucomblangi."
Pak Erlan? Mimpi saja aku. Dasar Nina kalau bicara tak berpikir panjang, bosku itu memang tampan. Ah ... jadi sekretarisnya saja sudah senang.
"Ngaco kamu."
Aku melanjutkan kembali makan siang yang begitu sulit untuk kutelan. Beribu pikiran tentang ucapan Nina yang nyelekit dalam, tapi sangat benar adanya.
Kelakuan Mas Reno seperti tak peduli dengan kelangsungan hidup rumah tangga kami. Semakin hari dia begitu cuek. Apa game Online membuat dirinya malas untuk bekerja?
Selama enam bulan dia menganggur, belum pernah aku melihat dia pergi mencari lowongan. Mas Reno selalu bicara kalau dia sudah melamar lewat Online.
Akan tetapi, nyatanya tak kunjung bekerja. Malah lebih sering nongkrong atau memegang ponsel. Bahkan, tidur malam hanya demi mencari kuota malam untuk game onlinenya.
Siapa yang tak kesal, bagaimana mau punya keturunan? Lebih baik tidak usah dari pada dia terus menjadi pemalas. Besok aku sepertinya harus ke Dokter Kandungan minta KB agar tak hamil saat ini.
Ponselku berdering, terlihat nama Mas Reno di benda pipih ini. Segera aku angkat kalau tidak dia pasti terus mengomel.
"Halo, Dek, hari ini kamu gajian, kan? Mas jemput, ya? Sekalian kita belanja bulanan buat stok makanan."
Tiba-tiba kepalaku semakin pusing mendengar ucapan suamiku. Begitu antusiasnya dia saat aku gajian tanpa memedulikan rasa malu tak menafkahi aku.
"Dek, kamu masih dengar suaraku, kan?"
-- Chew Vha---
Awal bulan seperti ini, biasanya aku sudah berada di swalayan untuk berbelanja bulanan. Akan tetapi, kali ini uang gaji tak cukup untuk stok keperluan dapur.Kusimpan kembali dompet ke tas. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Berjalan dari depan membuat aku lelah. Punya suami tak berguna, benar kata Nina.Allahuakbar, rumahku seperti kapal pecah. Kulit kacang bertebaran di mana-mana. Belum lagi puntung rokok juga berserakan. Didiamkan mereka makin seenaknya aja. Dipikir ini rumah mereka apa?"Mas!"Kulangkahkan kaki mencari Mas Reno. Aku lelah, pulang kerja harus di hadapkan dengan semua ini. Sungguh aku tak bisa menahan emosi."Mas!"Mas Reno baru menoleh saat ponselnya aku tarik. Sengaja kupasang wajah jutek biar dia sadar istrinya sedang marah. Bisa-bisanya dia santai, sedangkan di luar rumah bagaikan kapal pecah."Kamu apa-apaan, sih?" tanya Mas Reno kesal.Pria di hadapanku mencoba mengambil
"Bu, aku belum punya anak karena memang Allah belum kasih keturunan saja. Lagian kalau saat seperti ini aku mending nggak punya anak dulu."Wajah ibu mertua semakin memerah menahan amarah. Belum lagi Mas Reno yang ikut menatapku tajam. Apa salah aku berucap seperti itu? Salah sendiri membangunkan macan tidur."Jaga omongan kamu sama Ibuku," ucap Mas Reno."Ibu yang mulai memancing amarahku, Mas. Dosaku nggak menjadi penghalang aku punya anak.""Ibu sudah bilang dari awal kamu mau nikah, perempuan ini nggak bagus jadi istri. Cuma menyusahi saja," cerca ibu mertuaku lagi."Ya Allah Ibu, yang menyusahi bukan aku. Tapi, Mas Reno sama Ibu. Juga Rena yang selalu minta uang terus sama aku. Kalian pikir aku sapi perah?"Pipiku terasa perih saat tangan Mas Reno menamparku. Dia tak terima aku bicara seperti itu. Wajah Ibu semakin sinis, begitu juga Rena. Gadis itu seperti mengejekku.Mereka membuat aku marah. Lupa apa mereka s
Aku termenung saat Mas Reno sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Penantian ini memang yang aku tunggu. Kehamilan yang selalu menjadi puncak masalah kami."De, ini teh hangat di minum. Kata teman-temanku kalau orang hamil itu suka mual. Di minum, ini."Mas Reno memberikan teh hangat itu padaku. Apa ini hanya topeng agar dia tak jadi di usir dari rumah ini? Begitu manis yang dia lakukan seolah mematahkan pertahanku.Aku menyesap teh hangat buatannya. Sempat curiga jangan-jangan dia menaruh macam-macam pada minumanku."Sudah hangat perutnya?""Sudah."Terasa aneh saat sikapnya berubah seperti ini, membuat aku menaruh curiga takut dia sedang merencanakan sesuatu. Sudah kuusir, dia tetap mau tinggal di sini.Aku memperhatikan Mas Reno merapikan tempat tidur, lalu meletakkan bantal dengan rapi. Aku mengernyitkan kening keheranan dengan sikap yang berbeda kali ini. Apa dia takut kuusir?"De, istirahat dulu. Besok kamu mau izin ap
POV ibu mertuaKurang ajar sekali si Widya. Bisa-bisanya dia menyuruh aku ke luar dari rumahnya. Dia pikir hebat apa? Masih untung anakku mau menikahi dia yang cuma orang biasa.Kalau saja Reno tak kekeh menikah dengan Widya, mungkin Reno sekarang sudah memiliki anak dari Ningrum anak juragan kontrakan. Gara-gara si Widya, Reno tak mendengar ucapan aku. Dasar anak durhaka.Pantas saja hidupnya tak pernah bahagia. Si Widya banyak dosa kayanya, sampe Tuhan saja tak memberinya keturunan. Kasihan Reno, harus memiliki istri seperti Widya.Baguslah dia mengusir Reno. Jadi, aku bisa menjodohkan Ningrum lagi. Untung saja dia baru menjanda. Tak masalah tak dapat gadisnya. Sama-sama pernah menikah kok."Ibu Mas Reno kok nggak pulang ke rumah?" tanya Rena padaku."Lagi kemas baju mungkin."Benar juga kata Rena, sudah hampir dua jam setelah dari rumah Widya, Reno tak kunjung datang. Kucoba menelepon berkali-kali pun tak dia
Mungkin karena aku mengabaikan perintah dokter untuk bedrest, jadinya seperti ini. Perut terasa keram kembali, susah bangun dan hanya bisa merebahkan tubuh di kasur.Setelah mengantarku, Mas Reno izin mengantar Ibu, lalu langsung melamar ke kantor ojek Online. Semoga saja apa yang dia katakan benar adanya. Dia berubah tak seperti dulu.Tak menyangka Allah begitu baik padaku. Akhirnya sesuatu yang kami tunggu kini hadir di perutku. Rasanya tak percaya kalau aku mengandung buah cinta kami.Sungguh kuasa Allah tak ada duanya. Saat Ibu mertua mencemooh diriku yang tak kunjung hamil karena banyak berdosa, Allah titipkan langsung dan membuktikan jika memang sesuatu itu jika sudah waktunya pasti akan terjadi.Baru mau memejamkan mata, suara gedoran pintu membuat aku terkesiap. Perlahan aku bangkit dan melangkah dengan rasa nyeri di perut menghampiri pintu.Ah, ternyata Rena datang bersama teman-temannya. Aku sedikit memincingkan mata mel
Aku harus bagaimana menghadapi dua orang wanita berharga dalam hidup ini. Satu Ibu yang melahirkan aku, satu lagi istri yang aku cinta. Bahagia kini menyelimuti hati saat Widya dinyatakan hamil.Keadaan ini menguntungkan aku karena tadi Widya mengusirku ke luar rumah karena perdebatan dengan Ibu. Sejujurnya ingin sekali mencari kerja, tapi bingung dengan Ibu yang selalu ingin meminta gajiku semua.Widya sudah uring-uringan selama aku menganggur, bukan salah dia karena memang aku membebankan semua kebutuhan rumah tangga padanya. Belum lagi kebutuhan Ibu dan Rena.Aku pikir dengan cara ini, Ibu akan mengerti jika Widya bukan wanita matre yang hanya ingin uangku. Aku berdosa, selama menikah dengannya tak pernah menafkahi Widya.Akan tetapi, aku salah. Ibu semakin membenci Widya, sedangkan Widya sekarang menjadi cepat emosi dan berani melawan Ibu seperti tadi. Kuakui memang salah Ibuku, tapi jujur harus membela yang mana?Aku mencari
"Mas akan berubah, asal kamu mau ingatkan, jika Mas lalai lagi.""Semua tergantung niat kamu. Sejak awal menikah, aku harus membanting tulang sendiri. Kalau memang kamu masih mau memperbaiki, semua dengan niat."Pelukan hangat ini membuat aku merasa rindu saat pertama kali Mas Reno mengungkapkan kalimat cinta. Namun, aku mengira dia akan memberikan aku kebahagiaan, tapi malah penderitaan yang aku rasakan.Apa bisa dia berubah sesuai dengan janjinya padaku? Atau akan sama saja seperti dahulu. Janji manis itu terulang kembali.Aku tak pernah menuntut untuk membeli apa pun. Asalkan dia berlaku adil padaku. Kegelisahan selama ini membuat aku berniat untuk berpisah.Sepertinya Allah tak mendukung keinginanku. Dia menghadirkan anak diantara kami untuk mempertahankan rumah tangga ini."Mas, mau makan?""Kamu bisa masak lauk buat Mas?""Kalau hanya telur dadar aku bisa. Atau mau pesan makanan Online saja?""Ada
"Ningrum?" "Iya, wanita kaya di desaku dulu. Ibu marah karena aku tidak mau menikah dengan Ningrum, dan lebih memilih kamu." Aku mengerti sekarang, mengapa Ibu membenci aku. Bahkan, sebelum kami menikah, dia sudah menyiapkan calon istri kaya untuk Mas Reno. Aku menghela napas panjang, lalu tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Rasa mual kini menghampiri. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam perutku. Mas Reno gegas menghampiriku, dia mengelus lembut pundakku. Apa pikiran ini mempengaruhi kehamilanku? "Sudah Mas bilang, jangan bertanya hal yang membuat kamu berpikir keras. Jadinya beginikan," oceh Mas Reno. "Aku penasaran, Mas." "Dasar bandel, kamu." Mas Reno membantuku merebahkan diri di kasur. Lalu, dia bergegas ke dapur membuat teh hangat untuk aku. Beberapa menit, Mas Reno menghampiriku bersama secangkir teh hangat. "Kalau Ibu tahu, aku pasti dibilang manja." "Manja