Aku mendesah kecewa sambil memandangi peta di tanganku. Tempat yang paling ingin kutuju, tapi tak terjangkau walau sudah di depan mata. Place du Jardin aux Fleurs Bloemenhofplein, aku pernah memimpikannya. Mama punya foto taman bunga indah dan memberitahuku namanya adalah Place du Jardin aux Fleurs Bloemienhofplein. Tempat favoritnya, yang entah bagaimana sepertinya menjadi obsesiku juga tempat yang paling ingin kukunjungi suatu hari nanti. Taman indah dengan bunga bermekaran di tengah kota. Aku juga bermimpi melukis pemandangannya di tengah musim panas. Pasti cantik sekali. Sayang, tempat ini sekarang tertutup salju tebal. Bodohnya aku yang tidak mempertimbangkan hal ini. Tentu saja, ini musim salju!
Mungkin memang sudah saatnya pulang, batinku. Berat rasanya kaki ini harus melangkah menuju suatu tempat yang disebut rumah, tapi sama sekali tidak mirip rumah. Hanya tempat beberapa orang asing berkumpul, tapi tak pernah bertegursapa. It’s cold. I do really miss my hometown so much. My Mom…. My Granny….Di dalam taxi yang mengantarku pulang, untuk pertama kalinya selama di Belgia, aku menangis untuk diriku sendiri, bukan karena rasa sakit yang terus - menerus mendera tubuhku. Untuk alasanku sendiri. Aku rindu keluargaku. Keluargaku yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya aku toh hanya gadis kecil yang menyembunyikan kelemahannya di balik segala sifat arogannya. Terlebih, gadis itu takut merasa sendirian di negeri yang asing ini.Aku sampai di rumah hampir jam 8. Belum larut memang, tapi karena musim dingin, jadi empat kali lipat lebih gelap di luar. Daddy, Tante Millgueta, Brigitte dan Richard sedang berkumpul di ruang tengah menghadap perapian dengan wajah frustasi. Aku agak percaya diri, kalau sebagian besar dikarenakan kelakuanku hari ini, tapi aku menolak percaya kalau mereka SEMUA berkumpul disana hanya untukku.“Mira.” Suara Brigitte yang bergetar menyambutku saat masuk ke ruang tengah.“Cherie….” Daddy langsung berhambur memelukku erat, membuatku seketika membeku. Bagaimanapun panggilannya, dia tetap orang asing bagiku. Hanya sebentar, dia melepaskan pelukannya dan membawaku ke sofa di depan perapian untuk mengecek keadaanku. “Brigitte, apapun untuk menghangatkannya, please.” Pintanya bahkan tanpa menoleh.Setelah itu barulah pertanyaan beruntun diluncurkan bertubi - tubi padaku. Enggan untuk membalas, aku hanya diam sambil mengelak setiap kali Daddy mengambil inisiatif untuk membersihkan diriku ataupun berusaha membuatku lebih hangat.“Cherie, minum teh ini untuk menghangatkan badanmu.” Tante Millgueta yang sedari tadi duduk di sampingku setelah menyampirkan blanket di bahuku, akhirnya menawariku minum setelah Brigitte kembali dari dapur membawa minuman hangat. Aku menggumam terimakasih sebelum menyeruputnya pelan. “Dia harus mandi sebelum terkena hipotermia. Aku akan mengantarnya ke kamar.”Hendak terjadi adu mulut saat Tante Millgueta memaksa membawaku ke kamar, sementara Daddy masih ingin memeriksa keadaanku. Dengan amat terpaksa akhirnya dia melepaskanku dan beralih pada Richard yang masih setia berdiri dalam diam di ujung ruangan.“Mon Bureau. Maintenant. Ke kantorku, sekarang.”Richard sempat melirikku sebentar sebelum menghilang bersama bayangan Daddy di balik pintu ruang kerjanya. Uh oh, apakah itu pertanda buruk? Ah, apakah aku peduli? Dan jawabannya tentu saja, tidak sama sekali.***Richard’s“Mon Bureau. Maintenant.”Suasana di ruang tengah sangat tegang. Walaupun semua orang akhirnya bernafas lega setelah dia pulang. Kami masih saling menatap sebelum aku menutup pintu ruang kerja Monsieur Guireille.Malam ini akan menjadi malam yang panjang. Batinku kecut.Dan biang keroknya adalah si Nona Kecil sok berani Mira Guireille. Lama kelamaan dia akan membuatku kehilangan pekerjaan. dasar wanita rubah licik!“Duduklah.” Katanya tenang sembari menunjuk sofa di seberangnya. Aku menurut tanpa kata. “Vodka?” Aku mengangguk mengiyakan tawarannya. Sebentar kemudian aku meraih segelas vodka dari tangannya. “Hari ini… aku ketakutan setengah mati Richard.” Ini dia. Walaupun dia mengatakannya dengan tenang, itu mampu membuatku berjengit seolah dibentak. Dan ya, bukan hanya dia. Semua orang di rumah ini tadi ketakutan setengah mati. Cedric bahkan belum kembali dari misi pencariannya. Mungkin Brigitte atau Corrine sudah menghubunginya tentang keadaan Mira sekarang. “Hanya tinggal dia, Richard. Harapanku satu - satunya. Duniaku gelap saat Mamanya meninggal, yang paling pedih, aku bahkan tidak ada di sana di saat terakhirnya. Lalu kembali runtuh berkeping - keping saat Istriku dan Arlaine juga meninggal. Hanya dia penguatku satu - satunya. Dan kau tau itu.” Tatapannya yang tajam terarah kepadaku di akhir kalimat.Aku mengangguk. Ya tentu saja aku tau. Aku tau betapa terpuruknya pria tua ini saat hal itu beruntun terjadi padanya. Mengurung diri berduka hampir satu bulan sebelum akhirnya bisa berfungsi kembali. Menolak bertemu orang - orang bahkan Ratu sekalipun, nyaris tidak makan. Kami semua nyaris mengadakan pesta besar - besaran saat dia akhirnya keluar dari kamarnya.“Aku tau dia… belum terbiasa di sini. Dia masih marah akan banyak hal. Terutama padaku.” Pak Tua itu melanjutkan. “Tapi bersabarlah dengannya. Aku mohon padamu. Dia adalah gadis yang penurut.” Aku mendengus dalam hati. Penurut? Yang benar saja! “Dia akan memberimu kesulitan, tentu saja. Tapi aku tidak punya orang lain yang bisa kupercaya selain kau untuk menjaga putri-putriku. Terutama yang ini. Dia akan menanggung banyak hal. Jadi bantulah dia.”Kami saling bertatap lama, dan akhirnya aku mengangguk.Keluargaku berhutang terlalu banyak padanya. Tak mungkin kami bisa membalasnya walaupun mengabdi seumur hidup tujuh turunan. Dia memang bukan keturunan asli bangsawan, tapi jasanya untuk kerajaan dan orang - orang disekitarnya begitu besar. Dan walaupun aku sendiri sangat hancur atas kepergian Arlaine, aku tau orang di depanku ini lebih hancur dari siapapun.“Dia di sini bukan untuk menggantikan siapa-siapa. Kau harus tau itu. Dia disini karena memang seharusnya disinilah tempatnya. Sejak dulu.“***“Hai.” Corrine melangkah masuk setelah mengetuk pintu kamarku.Sehabis berendam air panas sesuai anjuran Tante Millgueta, Brigitte membawakan nampan makan malamku ke kamar dan aku diharuskan langsung istirahat. Kekanak - kanakan memang, tapi karena situasi yang menyertainya seperti ini, aku anggap itu sebagai sebuah keuntungan. Ya, keuntungan karena aku tidak harus keluar dan bertemu, apalagi kalau harus menjawab pertanyaan - pertanyaan, yang pasti akan diajukan Daddy.“Hai.” Balasku sambil menutup buku yang sedang kubaca.“Kudengar hari ini kau sukses melarikan diri dari Richard.” Godanya sambil tersenyum. Aku mengedikkan bahu, tak tahu harus bereaksi seperti apa. “kau hebat. Belum pernah ada yang bisa lolos dari penjagaannya selama ini. Kau yang pertama.”“Congratulate me, then.”“C’est absolument! Tentu saja!” Corrine tertawa mendengar gurauanku. “jadi, kemana saja kau seharian tadi?”“Hanya berputar-putar di sekitar ARBA. Aku masih asing dengan daerah ini.”“Ah, maaf. Seharusnya aku bisa menemanimu berkeliling. Karena kesibukanku belakangan ini….”“Tenang saja. Aku bisa sendiri kan.” Kataku, mencoba mengurangi rasa bersalahnya. “Apa kau juga dulu dijaga Richard?” tanyaku yang tiba-tiba penasaran.“Bukan aku, adik sepupuku.” Nadanya terdengar ringan dan acuh. Tapi aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Jadi aku terus bertanya.“Adik sepupu?”“Ya. Arlaine.”“Siapa Arlaine?”“Sudah kubilang adik sepupuku kan?” jawabnya masih dengan nada ringan.“Aku tidak boleh tau tentang dia?”“Untuk apa? Kau juga tidak mengenalnya.” Oke. Kali ini, aku yang terdengar agak aneh dan memaksa. Tapi perasaanku merasakan ada hal aneh di sekeliling Arlaine ini. “Sudahlah. Kau harus istirahat. Aku juga harus tidur. Ada acara yang membuatku harus bangun ekstra pagi besok. Selamat malam.”“Malam….”Arlaine? Hm, menarik. Seperti ada sesuatu yang melintas saat nama itu disebut. Tapi aku tidak tahu apa. Aku merebahkan diriku, menarik selimut dan bersiap untuk tidur.Tunggu! Sepupu? Mungkinkah itu…. Bukankah anak Daddy yang meninggal juga perempuan? Dan hubungan saudara antara Corrine dan anak Daddy juga hubungan sepupu kan? Dan aku tentu saja tidak mengenalnya. Dan tiba-tiba aku teringat tentang kamar yang kutempati sekarang beserta isinya. Mungkinkah….Dan seandainya benar, semua itu masih belum menjawab pertanyaan kenapa aku harus berada di sini.Jadi, apa yang membuat pagi ini terasa janggal, hening dan canggung daripada sebelumnya saat bersama Richard? Yeah, insiden kaburku kemarin. Aku mengharapkan reaksi yang menggebu - gebu dan heboh dari dia, jujur saja. Tapi yang kudapat pagi ini adalah sebaliknya. Dia mengetuk pintu kamarku dengan sopan, menungguku sarapan dalam diam, dan masih diam hingga sekarang. Aneh? Tentu saja untuk seorang Richard yang tidak pernah melewatkan sedikit kesempatan untuk merecokiku. Mungkin semalam dia berbicara banyak dengan Daddy?Richard menghentikan mobilnya di gerbang masuk ARBA. Karena terlalu canggung, aku hanya diam dan melepas seatbelt - ku, bersiap untuk turun, saat tiba - tiba dia mencengkeram pergelangan tanganku erat.“Hng?”“Anda tidak akan kabur lagi Mademoiselle. Aku pastikan itu.”Ha? Hanya itu? “Well…”“Aku tidak akan menganggap remeh anda lagi.”Sepercik kebahagiaan karena t
Cuaca di Belgia kian hari semakin tidak bersahabat. February sudah hampir lewat. Itu tandanya, aku sudah 6 minggu berada di sini. Tapi musim semi belum menampakkan cirinya.Tunggu! 6 minggu? Sudah selama itu kah? Dan aku masih hidup? Itu suatu keajaiban yang patut dirayakan! Pertanyaannya, dengan siapa aku merayakannya?Daddy? Aku nyaris tidak melihatnya di rumah ini sejak 2 minggu yang lalu. Kangen? Yang benar saja. Aku hanya tidak melihatnya, bukan berarti aku mencari - carinya di sekeliling rumah. Tapi Brigitte selalu rutin menyampaikan pesan Dadyy padaku. Dia bilang, Daddy sedang di Prancis menemani ratu melakukan kunjungan resmi Negara. Jangan capek - capek, jangan berada di luar terlalu lama, harus makan tepat waktu. Seriously, aku bukan balita. I’m good at taking care of myself!Tante Millgueta? Tentu saja sibuk dengan urusan istana. Pergi pagi dan pulang malam nyaris seperti bukan manusia. Maksudku, apa dia tidak capek
Malam ini Granny Louisa berkunjung menggantikan absennya Daddy dan Tante Millgueta yang masih dinas di luar negeri untuk merayakan ulang tahun Corrine. Ya, Richard juga di sana karena Corrine ingin semuanya hadir merayakan hari jadinya. Malam itu, untuk pertama kalinya meja makan yang muat hingg 20 kursi itu penuh tanpa terkecuali. Bukan perayaan besar memang, tapi Corrine mengundang teman dekat dan seluruh pekerja mansion untuk libur dan merayakan ulang tahunnya di sana.Corrine duduk di kursi utama. Di sebelah kanannya Granny Louisa dan aku di sebelah kirinya. Aku nyaris menarik Brigitte duduk di sebelahku saat tersisa hanya dua kursi kosong dan Richard baru saja masuk membawa wine.“Mira, anda tidak boleh seperti itu.” Brigitte menasehati dengan geli karena tahu alasanku ingin dia duduk di sampingku.
Back to Normal POV – Mira POV-“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau berceri
Richard’sShe surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya
Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih m
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.Brugh!Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.