Seekor cecak menempel di dinding kamar Atma selama lebih dari satu jam, dan sudah selama itu juga dia sudah memandanginya. Nyaris tak berkedip. Melamun, membiarkan pikirannya diisi berbagai narasi. Dari mulai kenapa sikap Bhaga tadi begitu aneh sampai kenapa dia setuju untuk menikahi Salman. Belum ada jawabannya. Jarum pendek jam sudah menunjuk angka 12, sudah waktunya bagi Atma untuk tidur, mengistirahatkan otaknya dari segala prahara yang ada. Rasa takut terhadap hantu harus dihadapi, tubuh yang lelah akhirnya pasti akan kalah juga.
Kelopak mata Atma tesentak ketika telinganya menangkap sebuah suara dari luar. Seperti ada suara langkah di teras. Atma mempertajam indera pendengarannya. Terdengar suara jendela diketuk sekarang.
Salman?! Nggak mungkin! pekik Atma dalam hati. Sekilas dia denial dan memutuskan untuk tetap membawa dirinya tidur. Namun, sebuah bayangan besar yang lewat di luar jendela menyentak Atma lagi. Dirinya langsung bangkit dengan pani
Atma terjaga dengan kepala berat dan juga tubuh hanya terbalut selimut di atas tempat tidur hangat milik Bhaga. Sejenak dirinya tak sadar apa yang terjadi semalam, dan sedang di manakah dia sekarang. Dalam keadaan masih setengah tidur, sebuah tangan menyentuh lembut kening Atma. Reflek mata Atma terbelalak, dan dia menarik selimut sampai menutupi lehernya. Rupanya tangan itu milik Bhaga. Senyum manis Bhaga mengembang, dia duduk di tepi tempat tidur sambil sesekali mengusap puncak kepala Atma dengan lembut. "Kamu udah bangun? Mau sarapan? Aku bikin bubur ayam tadi," ucap Bhaga lembut. Belum pernah Atma melihat senyumnya merekah seperti ini, begitu semringah dan berseri-seri secerah warna tomat yang baru dipetik dari kebun. Sementara itu sikap Atma kembali bimbang. Tak semudah membalik tangan baginya untuk menerima Bhaga sebagai "kekasihnya". Dia terlihat gugup, berusaha menghindar dan menolak bubur buatan Bhaga. Sepertinya untuk berhadapan dengan Bu Sona pun, Atma tak
Suasana di rumah masih suram, mendung seperti cuaca yang belakangan sering turun hujan dengan angin kencang. Bhaga dan Atma masih saling membisu, tak ada yang mau untuk berinisiatif untuk meluruskan segala yang terjadi. Sementara Bu Sona telanjur kecewa dengan Atma, dan hal itu dinilai Atma amat wajar, bahkan kalau dirinya berakhir dipecat dan diusir dari rumah, dia pun tak akan protes. Selain menjauhkan Bhaga dan Atma, Bu Sona punya tugas lainnya, yaitu mendekatkan Atma dengan Salman. Meski Atma geli setengah mampus, tapi apa mau dikata, inilah yang harus dia terima akibat perbuatannya sendiri. "Atma, isi kulkas udah mau habis. Kamu belanja kebutuhan untuk seminggu ya, ke pasar besar. Ini udah Ibu buatkan daftar belanjaannya." Bu Sona menyerahkan secarik kertas panjang kepada Atma, berikut beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu. "Baik, Bu. Aku pergi sekarang ya, takut nggak ada ojek lagi kalau malam." "Nggak usah naik ojek, Salman yang akan
Suara kuah sop yang mendidih mengisi dapur yang hening. Bu Sona memotong daun bawang dengan hati yang remuk, matanya masih bengkak sisa tangis semalam. Jessica mendekat setengah tak yakin lalu duduk di salah satu kursi makan, memperhatikan gerak tangan Bu Sona yang begitu piawai mengendalikan pisau."Aku akan pulang, Bu," ucap Jessica pelan.Gerak Bu Sona otomatis terhenti, dia berbalik dan menatap Jessica lekat. "Kamu akan meninggalkan Ibu dan Bhaga dalam situasi kayak gini? Kamu akan meninggalkan kami? Atau ..., kamu putus sama dia?" selidik Bu Sona."Nggak. Kami nggak putus, kok. Cuma kan, bapak udah nggak ada, udah nggak ada artinya juga mempercepat pernikahan, cuti aku juga udah habis," jawab Jessica cuek.Bu Sona meninggalkan pantri dan ikut duduk di samping Jessica, meraih tangannya dengan lembut. "Jess, hubungan kamu dengan Bhaga baik-baik aja, kan?"Jessica mengangguk sekali. "Gimana dengan Ibu sendiri? Gimana dengan ...," Jessica tampak r
Dari kejauhan, Atma menangkap suara sepeda motor kumbang Salman. Seperti seekor anjing yang bisa membaui aroma ancaman, dia bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan halaman yang belum bersih disapu. Beberapa detik kemudian, benarlah sepeda motor kumbang milik Salman berhenti di depan rumah. Salman turun seperti tokoh pria utama dalam film heroik, bedanya, di sini dia lebih tepat mendapat peran sebagai penjahat yang kerap mengusik gadis-gadis belia seperti Atma. "E-hem! Atma?! Atma?! Aku tau kamu di dalam, manis!" Salman mengetuk pintu. Dalam hati Atma mengumpat, Bu Sona sedang pergi arisan, cuma ada dia di rumah. "Hei, Atma? Aku cuma mau nawarin antar-jemput ke sekolah kalau kamu mau, cantik!" Lantaran muak mendengar bujuk rayu Salman yang mirip sales obat, Atma memutuskan untuk membuka pintu. Dengan berkacak pinggang, dia melotot, "Aku nggak butuh, Salman! Aku bisa urus urusan aku sendiri. Bu Sona udah kasih tau kamu belum? Kalau sebelum menikah, kita ngg
Jam dinding menunjukkan telah pukul 9 malam, kelas belajar Atma berakhir sudah. Hanya terdapat beberapa murid saja yang akan mengikuti ujian paket C, dan rata-rata adalah dewasa diatas kepala empat. Atma memasukkan buku-buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas, waktunya untuk menunggu becak atau mencari ojek malam. Setelah melewati satu bulan masa sekolah susulan, dia menjadi lebih berani dan percaya diri, tak setakut saat pertama kali sekolah dulu. Teman sekelas Atma pun baik-baik kepadanya, tak jarang dia diantarkan pulang sampai ke bukit. Namun, malam ini sepertinya nasib Atma sedikit kurang beruntung, sampai tiga puluh menit berlalu, becak atau ojek belum ada juga yang lewat. Dan kalau tak dapat kendaraan untuk pulang juga, Atma akan nekad menghubungi Salman untuk menjemputnya. Untunglah sebelum pikiran nekad itu dia realisasikan, guru yang tadi mengajar Atma menghampirinya, dia pun hendak pulang. Guru muda itu tinggal satu kampung dengan Atma, cuma beda desa saja, rumah
Sejak kematian Pak Giring, Bu Sona seakan kehilangan separuh hidupnya, atau bisa dikatakan, seluruh hidupnya. Kepada siapa lagi dia berkeluh-kesah? Bertukar cerita? Atau menumpahkan kasih sayang? Bu Sona tak punya siapa-siapa selain suami dan putranya, namun suaminya telah tiada, putranya jauh di kota. Hari-hari menjadi lebih sepi dan tak berarti baginya, tiap detik dan menit ada untuk dibunuh, bukan untuk dinikmati. Atma yang menjadi satu-satunya teman bicara Bu Sona pun tak tahu bagaimana untuk mengembalikan senyum Bu Sona. Sebagai perempuan yang telah merasakan jatuh cinta, dia paham benar rasanya ditinggal oleh orang yang dicintai, terlebih bila itu untuk selamanya. Kesedihan dan duka Bu Sona seperti tak sudah-sudah, bahkan meski telah beberapa bulan berlalu. Belakangan justru dia pun rentan sakit karena menolak makan dan kurang tidur. Paling seringnya terserang batuk dan pilek. "Ibu mau aku hubungi Mas Bhaga?" Atma bertanya setelah menyeduh teh hangat un
Malam telah larut, Bhaga belum bisa juga memejamkan matanya. sekilas dilihatnya Jessica yang sejak tadi sudah terlelap dalam dunia mimpi di sampingnya. Dia putuskan untuk ke dapur, lalu menyeduh segelas teh. Sejak kemarin ponsel Atma tak bisa dihubungi, barangkali karena lemahnya jaringan, dia bisa mengerti soal itu, namun hatinya tak bisa berkompromi. Tak mungkin bisa tidur tenang bila dia belum tahu apakah Atma baik-baik saja atau tidak.Bolak-balik dia cek layar ponsel pintarnya, mengecek apakah ada pesan masuk, namun nihil.Apa kuotanya habis? Tapi nggak mungkin, baru minggu lalu diisi,batinnya gundah. Telepon tak diangkat, pesan whatsapp tak dibalas, bagaimana mungkin pikiran Bhaga tak gusar.Inilah yang paling dia benci dari jauhnya jarak mereka, mesti menghabiskan menit demi menit dalam kecemasan. Bhaga menyeruput tehnya di dekat pantri, sejenak melamun, menebak-nebak sedang apa Atma, barangkali dia sedang tidur di kamarnya saat ini, begitu p
Sebuah helaan napas yang begitu berat meluncur dari mulut Atma. Ujian memang berjalan lancar, namun tetap saja takut akan kegagalan masih mengintai ketenangannya. Sebagai bentuk apresiasi untuk kegigihan Atma, Bu Sona memasak makan siang khusus hari itu, karena dia berhasil melewati masa ujian paket C dengan baik.Usai makan bersama, Bu Sona pamit untuk tidur siang. Waktu yang tepat bagi Atma untuk menghubungi Bhaga, sejak kemarin dia belum mengangkat panggilan dari pria itu."Halo, Mas Bhaga?" sapa Atma setelah panggilannya diangkat."Ya ... halo,"balas Bhaga, pelan, setengah berbisik."Gimana ujiannya?""Lancar. Nggak terasa ya, waktu berjalan singkat, sebentar lagi udah pengumuman aja, aku deg-degan," beber Atma. Dia berjalan keluar untuk sekalian menikmati udara siang perbukitan yang lumayan panas siang itu. "Tadi aku sama ibu makan enak, ibu masak yang spesial, aku senang ibu akhirnya menerima soal paket C itu."